MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
oleh : Oesman Doblank
ENAM
Yang juga dirasakan
Bondan di balik sesalnya yang mendalam, setitik ketenangan dan rasa
tentram. Selama ini rasa seperti itu malah menjauh.
Hal baru yang belakangan dirasakan, membuatnya terharu. Membuatnya bertekad menguatkan dirinya untuk menjadi Bondan yang Bondan, yang beda dengan Bondan di masa silam
Hal baru yang belakangan dirasakan, membuatnya terharu. Membuatnya bertekad menguatkan dirinya untuk menjadi Bondan yang Bondan, yang beda dengan Bondan di masa silam
Langkah yang semula
dipacu hawa nafsu, akan kembali dipacu. Namun, arahnya tidak lagi
rancu, tapi fokus dan diarahkan ke satu titik – menjinakkan hawa
nafsu. Bondan yakin, langkah barunya menciptakan sesuatu yang
dirindu, di mana ketenangan senantiasa melambai dan mengurai arti
penting ketentraman bagi siapapaun yang menginginkan.
Bondan bersyukur,
lantaran selama masa labil, Bondan tak pernah bersentuhan dengan
obat-obat terlarang. Ia tidak menyentuh opium, sabu, ganja, ekstasy
atau jenis obat terlarang lainnya. Kalau saja Bondan sempat kepincut
dan kerap bersentuhan dengan dunia sakaw yang melemahkan tubuh dan
memporak-porandakan pikiran, Bondan yakin, kesadarannya justeru
menghilang. Betapa sulitnya membebaskan diri dari pengaruh obat
terlarang ketika tubuh dan pikiran sudah rapuh oleh narkoba yang
daya rusaknya lebih dahsyat dari perusak lainnya
Bondan bersyukur
karena dirinya merasa, Tuhan Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia,
memberinya hidayah dan karunia. Jika kemudian Bondan berjanji,
akan menjadikan yang serasa diperolehnya menjadi hikmah, apa yang
terkandung di dalam hidayah dan karunia - yang entah benar atau tidak
telah diperolehnya-namun diyakininya, Bondan bertekad untuk
mengkonkritkan janjinya
Yang pasti, Bondan
sudah sangat ingin menjadi Bondan yang bukan dirinya di masa lalu.
Bondan yang tak lagi menyeruak malam dengan kesewenang wenangan
jiwanya yang tak terkendali ketika hawa nafsunya menzolimi
Bagaimana caranya,
memang tidak semudah mengurai kata.
Namun, Bondan yakin,
jika dirinya bisa melihat dengan begitu jelas betapa banyak jalan
menuju keterpurukan, Tuhan akan memperlihatkan kepadanya jalan menuju
keselamatan. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Di dalamnya juga
banyak petunjuk yang membuat hati siapapun jadi sejuk. Tak membuat
siapapun berkehendak merajuk kecuali ingin kembali terpuruk. Tekad
Bondan yang tak ingin kembali terpuruk, sudah barang tentu hanya akan
mengkonkritkan yang terbaik dan mengeyahkan yang buruk.
Bagaimana kebangkitan
kesadaran menjadi cahaya yang senantiasa menghidupkan hidup seorang
anak muda yang kepingin berubah, memang sulit diterjemahkan. Sebab,
untuk mulai kesana, jika tak ada niat, malah jadi beban berat.
Terlebih, cukup lama Bondan tak menjadikan rumahnya sebagai istana.
Rumah mewah yang hanya berpenghuni Bondan dan mbok Sinem, tak pernah
menjadi rumahku istanaku.
Tapi ketika sudah
mulai melaksanakan, dan keinginan kuat membangun langkah baru
dijadikan dasar, boleh jadi, kesulitan justeru menepi dengan
sendirinya. Jika kemudian terbiasa dan kebiasaan berbuat baik
semakin dibudayakan, tentu akan membuat Bondan beda. Bukan lagi
Bondan di masa lalu. Tapi Bondan yang sudah menjadi Bondan dengan
segala perubahannya
Apa yang harus
diperjuangkan Bondanm, memang berat. Untuk itulah, setiap hari Bondan
pasti menyisihkan waktu untuk menyendiri dan di kamarnya Bondan tak
memikirkan bagaimana asyiknya menyeruak malam. Tapi, Bondan terus
merenung dan merenung
“Sanggupkah
aku melangkah ke hari esok dan selamat dalam perjalanan?”
Bondon menatap
wajahnya. Dia tersenyum. Lalu merapatkan wajahnya ke cermin
.
ooooooooooooo
“Saya bukan tak
ingin terus menerus jadi pemabuk mbok. Sebab, ketika mabuk, pasti
ada yang saya dapatkan. Hanya, tidak seperti yang saya harapkan.
Bukan tak pernah bahagia. Tapi selalu hanya sesaat. Setelah itu,
mabuk lagi, begadang lagi, nguber abg lagi. Nggak ada habis-habisnya.
Hanya dari itu ke itu. Saya jadi seperti manusia yang tidak punya
tujuan hidup, mbok. Makanya, tolong do’akan saya,ya, mbok. “
“ Si mbok pasti
mendoakan, den, “ sahut Mbok Sinem yang malah merasa dibelenggu
perasaan haru. “ Dan, “ lanjut mbok Sinem yang tanpa sadar, malah
sesenggukan
“Tentu saja si mbok
bersyukur, den, apalagi den Bondan sudah mulai berjuang, artinya den
Bondan sayang pada diri aden sendiri. Sayang pada keluarga dan …...”
mbok Sinem tak mampu melanjutkan kalimatnya. Karena saat itu mbok
Sinem menangis, sesenggukan
“ Huhuhuhuhu ….
“
Bondan tak jadi
mereguk kopinya. Bukan merasa terganggu oleh sesenggukan si mbok.
Ia hanya merasakan sesuatu yang ujudnya bukan gangguan. Ia tak bisa
menyebutkan. Hanya, sama sekali tak mengira, jika mbok Sinem yang
lugu, yang hanya bersatatus pembantu, yang kerap ia suruh
membohongi kedua orangtuanya, justeru paham apa yang sebenarnya
dibutuhkan Bondan.
Bondan bangkit dari
kursinya. Menghampiri mbok Si nem. Tanpa ragu, tanpa jengah dan tanpa
merasa posisinya berbeda, Bondan memeluk mbok Sinem
“ Mbok nggak
boleh nangis. Menangis itu cengeng Saya paling nggak suka, lho,
melihat air mata yang tumpah karena kecengengan,” ujar Bondan.
Kalimat yang
mengalir dari bibir Bondan sangat beda dengan suara hatinya. Yang
terucap di bibir hanya untuk membujuk agar mbok Sinem malah
menangis. Apalagi samai sesenggukan. Sedangkan suara yang bergemuruh
di batinnya adalah kejujuran. Suara yang sama sekali tak pernah
terucap dari bibir Bondan, memang tak terdengar mbok Sinem.
Bondan tak kuat
menahan air mata yang mengalir dengan begitu saja. Menetes dan jatuh
di kedua pipinya. Bondan juga tak bisa menahan rasa haru yang
membelai dirinya. Keharuan yang indah. Baru kali ini ia menikmatinya.
Bukan karena ayah-ibunya. Tapi, karena tulusnya perhatian mbok Sinem.
Bondan membiarkan dirinya ikut menangis, sesenggukan
“ Si mbok bukan
cengeng, den. Tapi, jangan larang si mbok menangis, jika aden
sendiri, malah ikut-ikutan si mbok menangis. Dan, kalau perempuan tak
boleh cengeng, lelaki lebih tak boleh cengeng, den. Karena memang tak
pantas, lelaki menangis “
“Saya tidak
sedang menangis, mbok. Saya hanya meniru sesenggukan mbok, Soalnya,
selama ini, saya tidak pernah memberi perhatian pada si mbok.
Kalaupun suka kasih bonus hanya karena si mbok bersedia cipoain
ayah dan ibu saya. Sedangkan si mbok tak sekedar melaksanakan
intruksi saya, tapi juga sayang sama saya. Selalu memperhatikan
saya “
“Si mbok juga
hanya menggoda den Bondan karena semula malah menyangka den Bondan
tidak bakal mau berubah“
Lantas sang pembantu
menatap dalam dalam putra majikannya. Kemudian si mbok mempererat
pelukannya. Tanpa kikuk tanpa jengah. Malah si mbok merasa seperti
memeluk anak kandungnya. Padahal, Bondan anak majikannya.
“ Ternyata…”
ujar si mbok kemudian “ Oooh Tuhan, den Bondan tak lagi seperti
kemarin-kemarin. Mbok bangga, den. Senang karena aden bisa”.
Bondan membiarkan
si mbok Sinem memeluk dirinya begitu erat. Membiarkan si mbok tetap
sesenggukan. Tapi, Bondan tak ingin larut dalam keharuan. Meski
Bondan membiarkan mbok Sinem menangis, dia tak ingin membiarkan
dirinya terus dan kian larut dalam tangis
Seketika ia
merasakan, pelukan erat dan tulus si mbok Sinem,mengalirkan sesuatu
yang dia tak tahu apa, tapi membuatnya merasa tentram. Ada degup
dalam diri mbok Sinem, dan degup yang bunyi detaknya terasa cepat,
membuat Bondan terkesiap.
“ Aaah, kalau
saja ia ibuku dan selalu memeluk seperti ini, betapa indahnya
hari-hari yang telah dan akan kulalui. Tuhan dimana dan mengapa ibuku
ada tapi tak pernah membuka aliran kasih sayangnya ” Batin Bondan
bergemuruh.
Tanda tanya
berhamburan. Tapi tak ada jawaban
Tiba-tiba, Bondan
jadi mendadak rindu pada ibu. Ibu yang tak pernah berbincang, tak
pernah membangunkan, tak pernah marah atau menasihatinya. Tapi, rindu
yang bergemuruh di dada pada ibunda, lupa pada apa yang tak pernah
diberikan pada dirinya.
Bondan hanya
melihat ada senyum ibunya yang indah. Senyum tulus untuk Bondan, yang
memang sangat ingin menikmatinya. Bersamaan dengan itu, Bondan juga
menikmati indahnya pelukan erat ibu, yang menghangatkan. Kalau saja
kerinduan yang tiba-tiba menelisik ke hati Bondan, jadi kenyataan,
barangkali ia akan bertambah kuat.
Aah, mengapa yang
kini ia rasakan hanya sebatas pelukan hangat si mbok, bukan pelukan
ibunya. Mengapa degup yang menenangkan, mengalir dari tubuh si mbok,
bukan dari ibunya.
Bondan jadi
kepingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Ibu Susilawati, yang selama
sembilan bulan mengandung.Yang saat melahirkan Bondan berjuang antara
hidup dan mati, demi buah hati yang sesungguhnya pasti dicintai..
Dimanakah ibu, dan
mengapa ia membiarkan saya sendirian di rumah besar dan mewah,
tanpa tatapan mata indahnya yang sebening air pegunungan, tanpa peluk
mesranya yang menghangatkan, tanpa wejangan mulianya yang
menyejukkan.
“ Ibuuuuuu “
Teriakan Bondan,
mengejutkan mbok Sinem yang sedang mengisi botol bekas sirup yang
dilapisi handuk dengan air panas dari kran air. Mbok Sinem segera
mematikan kran, dan dengan cemas ia ke luar dari kamar mandi.
Menghampiri Bondan yang tadi tertidur sudah terduduk di ranjangnya
dengan nafas tersengal-sengal.
“ Aden kenapa ?”
“ Saya kepingin
ketemu, ibu, mbok ?”
Mendengar jawaban Bondan, si mbok Sinem bingung. Tak tahu bagaimana cara memenuhi keinginan Bondan, yang selama ini memang sudah sangat jarang bertemu ibunya. Namun, si mbok tak ingin putra majikannya makin sedih.
“ Yaa, nanti si
Mbok pasti berusaha lagi. Mudah-mudahan, ibu aden mau menerima
pnggilan si mbok, seperti biasanya. Sekarang, aden tidur lagi aja.
Istirahat dan biar si mbok kompresin aden dengan air panas “
Bersambung......