Friday, June 28, 2013

CERITA BERSAMBUNG (56)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH ENAM


(11)

BONDAN harus bisa dan ikhlas memaklumi, segala sesuatu yang telah dan terlanjur terjadi. Baik untuk hal yang membuatnya pernah merasa kehilangan kasih sayang, maupun yang membuat dirinya harus kehilangan seorang ayah, dimana untuk keinginan pribadinya yang sebatas mengurus memandikan dan memakamkan jenazah almarhum, saja justeru tak mendapatkan peluang melaksanakannya.
Begitu pun hilangnya peluang untuk membuktikan kalau dirinya bisa menerima, memaklumi dan sekaligus mampu memenej kekecewaan menjadi hal berguna yang membuahkan kedamaian , ketenangan dan kebahagiaan. Bondan juga harus rela kehilangan peluang untuk membalas kebaikan ayahnya yang bagaimana pun konkritnya memperlakukan Bondan, tetap saja harus dihormati dan Bondan harus menganggapnya sebagai sosok yang bagaimana pun telah sangat berjasa, karena almarhum ayahnya sudah membesarkan putranya dengan cara dan dalam kondisi yang dihadapinya .
Ia pun benar-benar harus memaklumi, mengapa Sumirah, ibu tirinya, baru mengabarkan kematian ayahnya, setelah acara pemakaman dan bukan saat jenazah disemayamkan.
Bondan yakin, Sumirah bicara apa adanya dan memang begitu kondisinya. Artinya, Sumi rah yang sama sekali tak mengira suaminya me ninggal dunia, tak bisa berbuat banyak. Selain ka rena saat kejadian ia di rumah dan ayahnya se dang mengantar ibu tiri Bondan yang lain, saat peristiwa, juga ada yang memanfaatkan kesem patan dalam kesempitan.
Membuat pihak rumah sakit tak bisa me ngontak atau menghubungi keluarga korban, ka rena dompet semua penumpang sedan hilang. Ta ngan-tangan jahil yang tega memenggal orang yang dalam kondisi duka nestapa, membuat se mua korban kehilangan identitas. Kalau saja peristiwa tabrakan itu tak muncul di media cetak, Sumirah tak akan pernah tahu jika tak saja pak Sadewa yang wafat. Marina dan juga supir setia mereka, juga wafat.
Itu sebabnya, menurut Sumirah, ia tak bi sa berbuat banyak. Jangankan langung mengabar kan, membawa jenazah pulang untuk disemayam kan saja, Sumirah tak memiliki peluang. Saat dia datang ke rumah sakit, ketiga jenazah sudah siap dimakamkan. Sumirah hanya bisa meneteskan se senggukan. Akhirnya ia lebih memilih turut me ngantar jenazah ke pemakaman, timbang harus membawa pulang untuk disemayamkan, karena jenazah pak Sadewa, Marina dan supirnya, lebih pantas secepatnya dimakamkan timbang harus di bawa pulang ke rumah Sumirah untuk disema yamkan
Begitu pun untuk hal lainnya.
Bondan yakin, sekecil apapun tak akan datang dan tak akan menimpa dirinya jika bukan lantaran kehendak sang Khalik. Tapi lantaran telah diatur dan merupakah kehendak Illahi Rab bi, segala sesuatunya harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Ikhlas itu akan bermagma di jiwa, bila mau, bisa mengerti, bisa memahami dan sanggup menerima segala kehendak Sang Penga sih dan Penyayang,
Itu sebabnya Bondan tetap kuat, tegar dan ia sama sekali tidak shock
Dulu, berbagai peristiwa yang menimpa dirinya, selalu dianggap malapetaka. Bondan tak pernah bisa mengerti dan memahaminya. Malah, pernah mengira Tuhan tidak sayang padanya. Untuk itulah ia kecewa dan frustrasi. Larut da lam kekecewaan dan hanya melakukan hal yang dianggapnya menyenangkan.
Kini, Bondan yang pernah merasa kecewa dan frustrasi, justeru memahami mengapa semua bisa terjadi. Mengapa ia harus mengalami nasib malang dan mengapa semua yang datang dan menerpa dirinya, ia hadapi dan ia terima dengan lapang dada dan kebesaran jiwa.
Hikmah yang kemudian dapat ia petik dari sikapnya yang berubah total dan kedewasaannya yang mulai mengental, benar-benar dahsyat. Bondan sama sekali tak menyangka, jika ia sang at disayang ayahnya. Bondan baru tahu, jika ayahnya sangat memperhatikan. Tak mengira ji ka apapun yang dimiliki ayahnya – kecuali isteri, dijadikan sebagai milik Bondan.



Bersambung...............

Thursday, June 27, 2013

CERITA BERSAMBUNG (55)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH LIMA


Pada akhirnya, Sumirah benar-benar me rasakan betapa indahnya nikmat berdoa dan sela lu bersyukur pada Sang Khalik. Sumirah, kini sudah merasa lega dan ia bisa pasrah, karena te lah menyampaikan hal yang sebelumnya tak hanya tidak diketahui oleh Bondan. Tapi, juga hal lain yang tak sekedar untuk diketahui. Bon dan justeru harus mengapresiasi dengan sebaik baiknya. Bahkan, dengan kebijakan, kearifan dan kedewasaan berfikir, bersikap dan bertindak.
Dan, sejak segalanya diungkapkan, Su mirah hanya tinggal menunggu reaksi dan sekali gus apresiasi dari Bondan. Jika dari aspek perka winan ayahnya dengan dua wanita lain, dijadikan alasan kuat oleh Bondan untuk bersikap dan ber tindak tegas karena alasan itulah yang membuat diri nya menderita, dan atas penderitaannya selama ini, Bondan lantas ingin membalas sakit hatinya, tak seorang pun yang berhak mencegah Bondan untuk mengambil keputusan dalam bentuk apapun, meski dampaknya sangat tidak mengenakkan bagi Sumirah
Jika pun sebaliknya – dalam arti Bondan melupakan masa silam, dan akhirnya ia mengap resiasi soal warisan pak Sadewa yang semua dikhususkan untuknya dan untuk itu, Bondan yang diwasiatkan sebagai pemilik seluruh harta keka yaan pak Sadewa, bersikap arif dan bijak dalam mengambil keputusan, bukan berarti Sumi rah merasakan hal sebaliknya.
Bagi Sumirah, yang terpenting ia telah menjelaskan segalanya dan menyampaikan ama nah almarhum suaminya, Amanah paling penting yang harus ia sampaikan kepada Bondan, adalah target paling utama. Makanya setelah target dicapai, semua terasa melegakan Tak ada lagi beban. Selebihnya, benar-benar ia serahkan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dan keputusan serta kebijakan apapun yang setelah itu akan ditentukan oleh anak kan dung suaminya, yang oleh pak Sadewa ditempat kan sebagai akhli waris paling utama dan untuk itu, Bondan berhak atas berbagai jenis kekayaan milik pak Sadewa, Sumirah tak akan berusaha untuk mempengaruhi Bondan, agar dia diperha tikan dan anak-anaknya diberi bagian
Sumirah juga tak mau melakukan pro tes atau hal apapun. Sebab, jika hal itu ia laku kan, sama artinya ia bodoh. Mengapa? Jika ia protes, untuk apa ia melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Jelas tidak lucu, jika pasca penyampaian amanah, Sumirah malah protes karena merasa berhak atas kekayaan pak Sadewa.
Timbang setelah itu ia protes, kan jauh lebih baik amanah pak Sadewa ia selewengkan. Ia yakin, sangat mudah memanipulasi surat-surat berharga yang kesemuanya sudah ia serahkan dan kini sudah berada di tangan Bondan. Terlebih, saat ini, begitu banyak orang yang ber sedia membantu siapa pun – asal bayarannya sesuai dengan permintaan, meski harus melaku kan perbuatan yang melanggar hukum dunia dan hukum Allah
Tapi, buat apa jika malah mencelakakan dan hanya membuat jiwa yang tenang jadi nestapa. Jadi kehilangan magnit imani, yang selama ini melekat dengan begitu kuat dan dijaga sebaik-baiknya agar tidak cacat.
Sumirah yang sudah merasa sedemikian plong, merebahkan dirinya di kasur. Ia tatap kedua anaknya yang sudah sedemikian lelap dalam tidur. Setelah menciumi kedua anaknya, Sumirah yang selalu melakukan hal itu dikala anaknya sudah lelap dalam tidur, barulah Sumirah bangkit dan dari ranjang dan dia melangkah ke kamar mandi.
Sumirah yang meski pun merasa lelah, tetap bergegas berwudhu.
Dia berharap, malamnya habis untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik, yang teah memberinya kelapangan sehingga setelah bertemu dengan Bondan, dia merasa wajib bersyukur karena Sumirah yakin, yang dia dapatkan bisa terjadi karena izin dan pertolongan dariNYA.


Bersambung.......


Wednesday, June 26, 2013

CERITA BERSAMBUNG (54)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH EMPAT


Buktnya, Sumirah segera berdiri dari du duknya. Ia lebih dahulu melangkah ke luar rumah. Sumirah juga bertekad, dirinya tak saja ingin membuktikan siap menemani dan meman du Bondan ke pemakaman agar di sana tidak kesulitan mencari makam pak Sadewa. Tapi, juga siap menjelaskan berbagai hal dengan trans paran. Tentu saja tanpa keinginan memanfaat kan situasi untuk menggunting dalam lipatan
Artinya, jika sepanjang jalan pergi ke ma kam pak Sadewa, atau sekembalinya dari sana, ada momen yang baik untuk menjelaskan, Sumi rah akan segera memanfaatkan dengan sebaik-ba iknya. Sumirah akan bicara apa adanya. Dari A sampai Z.
Alhamdulillah.
Apa yang diinginkan Sumirah, terkabul. Saat kemacetan lalu lintas di Jakarta seperti ingin menghambat kepergian Bondan, saat itulah, Su mirah yang belum berani membuka pembicaraan karena merasa belum melihat dan belum punya peluang untuk menangkap momen yang pas, mendengar Bondan yang sejak berangkat dari rumah belum bersuara sepatah kata pun, setelah mengover kovling dan ngerem kendaraan yang dibawanya, bersuara
“ Dulu, saya sempat membenci ayah. Ta pi, kemudian saya sadar, yang terjadi adalah sebu ah lakon kehidupan yang harus dimengerti dan di pahami dengan sebaik-baiknya.
Kesiapan menerima semua yang terjadi de ngan terbuka dan dengan lapang dada, membuat saya sadar, percuma saya membenci. Untuk itu lah, saya hapus kebencian pada ayah, memaaf kan jika beliau bersalah pada anaknya, lalu meng ganti kebencian pada almarhum dengan berusaha untuk tetap menghormati karena bagaimana pun beliau adalah ayah saya.
Saya merasa lega. Karena sudah memaaf kan beliau sebelum wafat, dan saya lebih siap me nikmati kehidupan pribadi saya timbang berku tat dengan masalah yang bisa saja tak akan per nah kunjung selesai“
“Duh, Tuhan. Engkau memang segala nya. Kau telah membuka pintu hati putra suami ku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah mengabulkan doaku.”
Sumirah serasa ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
Sumirah juga menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
Itu sebabnya, Sumirah lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
“ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali apa adanya.
Sumirah tahu, Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
“ Ya, secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
Bondan spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal wanita sholehah
Sumirah yang di saat bersamaan sedang menatap ke arah Bondan, sangat tak menyangka jika perkataannya membuat Bondan menoleh se ketika dengan tatapan yang membuatnya terpera ngah. Meski Sumirah tahu, di dalamnya tak ada muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat Sumirah tak luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak. Mengingatkan Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga ayah kandung Bondan.
Untung Sumirah yang menyadari situasi tak ingin momen yang paling diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk menjinakkan hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak mengapresiasinya dengan keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah kuatir ia akan kehilangan peluang yang paling ditunggu.
Meski awalnya kendala terasa menyulitkan dan membuat Sumirah harus bersikap hati-hati, agar yang sudah direncanakan tidak beranta kan, ujung-ujungnya, yang kemudian dirasakan Sumirah adalah kemudahan.
Sumirah akhirnya mendapat peluang dan ia bisa menjelaskan berbagai hal yang perlu dije laskan. Sumirah yang leluasa mengungkap per masalahan -- yang boleh jadi membuat Bondan merasa pengap karena sejauh ini Bondan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal yang menimpa keluarga mereka, bisa terjadi, me narik nafas lega .


Bersambung.....


Sunday, June 23, 2013

CERITA BERSAMBUNG (53)

MASIH ADA JALAN
oleh :Oesman Doblank


LIMA PULUH TIGA

“Saya lebih suka dipanggil bu. Sebab, saya isteri pak Sadewa. Tapi, terserah Bondan mau memanggil saya dengan sebutan apa. Yang jelas, saya datang bukan sebatas ingin mengabarkan tentang berita duka. Tapi, juga ingin membiarakan banyak hal. Saya akan menjelaskan semua, jika memang diberi kesempatan untuk melakukannya “
Bondan menarik nafas. Memandang sesaat ke Sumirah. Tanpa bermaksud menikmati paras cantik Sumirah, yang meski tertutup rapat namun siapapun akan mengatakan kalau Sumirah cantik. Sebagai wanita, sangat wajahnya dibalut kerudung, me mang sangat menawan, untuk maksud yang tidak baik. Bondan sadar, wanita cantik di depan mata nya, meski masih terbilang muda dan penuh peso na, adalah isteri ayahnya.
“ Bagaimana kalau ibu duduk dulu,” kata Bondan, yang mulai nampak tenang dan kuat..
Bondan sudah tidak gugup lagi. Pipinya pun sudah kering dari air mata yang sempat mem basahi pipinya. Bondan sudah menyeka air mata duka. Dan, Bondan yang sudah melihat Sumirah, ibu tirinya, duduk di sofa sambil sesekali mena tap ke arah Bondan, kembali bersuara
“Saat ini, saya hanya ingin melakukan sa tu hal, pergi berkunjung ke makam ayah. Jika ibu bersedia mengantar, terima kasih. Tapi, jika ibu lelah atau tidak bersedia karena hal lain, tolong berikan alamat makam tempat ayah saya dikebu mikan, karena saya ingin secepatnya ke sana“
Sumirah sadar, ia tidak boleh kecewa karena Bondan yang ingin diajaknya membicarakan masalaj keluarga, malah minta alamat dan akan ziarah ke makam ayahnya. Berarti Sumirah harus bersa bar. Namun, Sumirah yang belum melihat peluang untuk menjelaskan permasalahan.tetap yakin, ia akan memperoleh kesempatan untuk menjelaskan permasalahan dan semua hal yang perlu dia ungkapkan agar Bondan mengerti dan memahami semuanya.
Selain agar Bondan tidak lagi berteka-teki, mengapa ayahnya menikah lagi dengan Sumirah dan seorang wanita lainnya yang sudah wafat beberapa hari silam bersama pak Sadewa, juga agar bisa menyelesaikan permasalahan yang harus siap dihadapi oleh keluarga pak Sadewa, pasca wafatnya beliau akibat kecelakaan lalu lintas
Banyak yang akan dijelaskan, tapi harus menanti dengan sabar, memang membuat Sumi rah harus menghadapinya dengan hati berdebar. Dikatakan demikian, karena kesempatan untuk menjelaskan, bisa saja malah tidak diperolehnya. Dan jika hal itu yang terjadi, Sumirah belum da pat menentukan apa yang harus dilakukan, agar tetap dapat peluang untuk menjelaskan.
Dan Sumirah yang mau tak mau harus memilih lebih baik bersabar, segera memberita nama, alamat pemakaman dan sekaligus letak makam pak Sadewa yang telah beristirahat deng an tenang di tempat peristirahatan terakhirnya
“Jika memang Bondan butuh teman, Ibu bersedia kok, mengantarkan, “ tambah Sumirah
“Tapi, hanya jika ibu tidak lelah. Jika ca pek, silahkan istirahat dan nanti kita bicara pan jang lebar “
“ Ibu memang perlu istirahat. Tapi, bukan berarti lelah,” jawab Sumirah
Ibu tiri Bondan, tak sekedar mem perlihat kan semangat menemani Bondan pergi ke pema kaman, tapi juga memperlihatkan sikapnya yang diwarnai keikhlasan. .


Bersambung...........


CERITA BERSAMBUNG (52)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH DUA


Setelah menyeka air mata di sudut matanya, Sumirah kembali meneruskan kalimatnya
“Mestinya, kabar itu saya sampaikan ketika bapak wafat atau sebelum dimakamkan. Hanya, tak mungkin saya lakukan, karena saya sendiri baru tahu kalau bapak sudah pergi menjelang almarhum dikebumikan.
Ssetelah mendapat kabar dari rumah sakit, saya tak tak tahu harus berbuat apa. Sebab, pihak rumah sakit yang baru bisa menghubungi saya, menjelaskan, jenazah bapak sudah akan di makamkan, setelah dua hari disemayamkan dan pihak rumah sakit sebelumnya tak tahu kemana harus mengabarkan.
Apa sebab dan mengapa bisa terjadi se perti itu, baru saya ketahui setelah saya tiba di sana. Mereka menjelaskan, tak menemukan tanda pengenal korban. Saya yakin, dokumen bapak seperti ktp dan sim, tak mungkin tertinggal. Lebih mungkin diambil orang saat terjadi kecelakaan, “ tutur Sumirah, meski membiarkan air matanya menetes, tapi berusaha untuk tidak menangis, meski akhirnya ia tetap sesenggukan..
Dan, Sumirah tak mampu lagi menjelaskan lebih banyak, karena setelah itu ia terkulai lemas. Sumirah hanya bisa pasrah. Semisal Bondan menuding ia sengaja tidak mengabarkan karena punya maksud tertentu, Sumirah tak akan tersinggung atau marah. Ia ikhlas, karena tak salah jika Bondan yang sangat kecewa, berpendapat dan lalu dengan kesal atau sambil marah, menilai dirinya sebagai wanita brengsek, yang setelah merebut ayahnya, malah tak segera mengabarkan tentang ayahnya yang telah meninggal dunia
Tapi, sama sekali Sumirah tak menyangka, jika Bondan, yang mendengar dan menyimak penjelasan Sumirah, tak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Malah, melihat Sumirah lunglai, Bondan memanggil Mbok Sinem dan ia meminta tolong kepada mbok Sinem agar mengambilkan obat gosok atau minyak kayu putih
Begitu telatennya Bondan menggosok-gosokkan minyak kayu putih di atas bibir Sumirah. Apa yang dilakukan Bondan, membuat Sumirah yang sesungguhnya sedang dalam keadaan shock, membuat Sumirah tenang dan ia menjadi kuat nenangkannya. karena kepergiaan pak Sadewa yang terjadi dengan begitu saja sangat mengejutkannya, ditinggal pergi oleh pak Sadewa poermukaan membantu Su mirah agar ibu tirinya yang nampak begitu lemas karena keletihan, tidak lantas pingsan
Kenyataan yang nampak begitu jelas di pelupuk mata Sumirah, benar-benar di luar duga annya. Jadinya, tak saja membuat Sumirah lega. Tapi sekaligus membuatnya leluasa untuk bicara banyak hal. Sumirah mencoba memanfaatkan pe luang yang dianggapnya sangat terbuka. Tujuan Sumirah bukan untuk mengambil hati atau mera ih simpati. Sebatas menjelaskan dan berharap Bondan mengerti dan memahami apa yang se sungguhnya telah terjadi.
Boleh jadi, sampai saat ini Bondan masih membenci, tak saja pada ayahnya. Tapi juga membenci dirinya, atas tudingan merebut pak Sadewa dari sisi ibu Bondan. Juga boleh jadi, Bondan pun tidak simpatik pada isteri ketiga ayahnya yang telah tewas bersama pak Sadewa, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, beberapa hari silam.
“Di mana bapak dimakamkan, tante…eh, maksud saya, bu ?” tanya Bondan, yang tak bisa menyembunyikan kegugupan, karena ia memang baru pertama kali bertemu dan belum tahu, harus memanggil apa pada Sumirah.
Terlebih usia Sumirah, ibu tirinya hanya bertaut sekitar lima tahunan, dengan Bondan. Jadi, bisa dimaklumi jika Bondan gugup.




Bersambung.......

Friday, June 21, 2013

CERITA BERSAMBUNG (51)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH SATU


Si mbok Sinem, jadi lega. Karena Bondan tak menyalahkannya. Ia segera membantu mengangkat tubuh Bondan, yang masih dalam kondusi lunglai.
“ Den, ayo bangun, den. Temui isteri bapak den Bondan. Beliau menunggu sejak tadi pagi, den. Bersama kedua anaknya “
“ Jadi..isteri bapak saya ada di dalam, mbok?”
Mbok Sinem mengangguk. Ia lalu memapah Bondan, ke dalam rumah. Membawanya ke ruang keluarga. Di sana, isteri pak Sadewa, yang tengah duduk bersama duka, yang pipinya masih sembab, melihat mbok Sinem. Ia berdiri. Menatap mbok Sinem yang memapah Bondan, anak tirinya. Memang Sumirah, terlihat sangat kikuk. Tapi, sesaat kemudian, ia menghampiri Bondan, yang menatapnya dengan pandangan lesu.
Bondan menjawab ucapan salam ibu tirinya, yang tubuhnya tertutup rapat karena dia mengenakan busana muslim. Jilbabnya, panjang, sampai ke pinggul.
Tanpa ragu, Sumirah yang menguatkan diri, yang sudah berani datang ke rumah putra suaminya, menghampiri anak tirinya dan menyalami putra suaminya, Bondan.
Sumirah tak menyangka, jika Bondan tak hanya meraih tangannya. Tapi, juga mencium tangannya dengan takzim.
“Maafkan saya…saya tak mengurus pemakaman bapak, “ kata Bondan, sambil melepas genggaman tangan Sumirah
“ Saya yang harus berminat meminta maaf. Sebab, baru bisa datang, baru bisa menyam paikan kabar duka. Mestinya, tidak seperti ini. Hanya, saya sendiri tak tahu harus berbuat apa, ketika semua terjadi dengan begitu saja.
Saat kejadian, saya sedang di rumah. Sehari sebelumnya, bapak memang pamit dan pergi bersama supir, karena ditelpon oleh isterinya yang lain, dan bapak diminta untuk mengantarnya ke rumah sakit karena usia kandungannya yang sudah lebih dari sembilan bulan, sangat butuh perhatian bapak. Alasan itulah, bapak yang mestinya memenuhi jadwal bersama saya di rumah, bergegas meninggalkan rumah.
Saya hanya berpikir tak akan terjadi apa pun. Toh, mengantar isteri yang akan melahirkan merupakan hal yang lazim. Hal yang tak akan pernah terpikir oleh siapa pun, kalau dalam perjalanan ke rumah akit selalu ada resiko yang harus siap ditanggung, yaitu risiko kedatangan maut. Nyatanya, dalam perjalanan itulah, hal yang tak pernah diperkirakan terjadi, dan…,” Sumirah, yang berusaha menjelaskan dengan gamblang mengapa ia baru sempat datang pagi ini dan baru bisa mengabarkan langsung kepada Bondan, terdiam sejenak.


Bersambung.......



Thursday, June 20, 2013

CERITA BERSAMBUNG (50)


MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH




                (10)


            MBOK Sinem menyambut Bondan de ngan isak tangis. Bondan mengira, ia kecewa de ngan menantunya, yang malah tak mau diajak tinggal bersama mbok Sinem, di rumah Bondan, meski gratis. Malah sekalian bisa ikut kerja deng an gaji yang jumlahnya lumayan.
            “ Si mbok, kok kayak anak kecil ? Kalau menantu si mbok tidak bersedia tinggal di sini, kan, no problem, mbok. Tokh, kita bisa cari yang lain. Siapa orangnya, terserah si mbok. Yang pen ting, cocok sama si mbok “
           “Ndoro Sadewa, den. Ndoro, Sade wa...Huhuhu “
           “ Ooh, bapak datang ? Ngirim duit, ya mbok? Asyiiik. Sekarang saya tahu, si mbok ter haru karena sebentar lagi dapat tips dari saya? Iya, kan? Hahahaha, Mbok..mbok..mau dapat tips, kok, malah sesenggukan. Mestinya, si mbok bersyukur pada Allah. Lalu, tersenyum. Mau ngakan seperti saya, juga nggak bakal saya larang, kok Mbok . Hahahahahaha”
           Mbok Sinem bukan tidak kesal. Tapi, kare na sangat hafal siapa dan bagaimana Bondan, ke kesalan mbok Sinem hanya dimakamkan di hati nya. Yang kemudian dilakukan mbok Sinem, se telah melupakan kesalnya, berusaha untuk me nyampaikan kabar duka. Meski mbok Sinem me rasa kesulitan menyampaikan, toh, bisa juga mbok Sinem berkata.
       “Ayah aden…ndoro Sadewa…wafat, den. Meninggal…”
       Bondan sungguh sangat terkejut. Ia tak percaya, kalimat si mbok yang terucap dengan terbata-bata, merupakan berita duka.
       “Apa mbok bilang ?” Tanya Bondan, yang tanpa sadar, meraih bahu si mbok, dan dengan reflek mengguncang tubuh pembantunya        
       “Ayah den Bondan meninggal,” sahut si Mbok dengan suara lemah
            “Apa? Bapak saya…meninggal ? “
            “ Iya, den. Dalam kecelakaan lalu lintas “
            “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…”
            Bondan melepaskan kedua tangannya da ri bahu si mbok. Ia terkulai. Tersungkur ke bumi. Tubuhnya  lemas. Bondan lalu seperti anak kecil, ia tak cuma sekedar kelihatan menangis. Tapi,  meraung raung. Meletupkan kesedihan ditinggal bapak
            “Huhuhuhuhuhuhuuuhuu, Ya Allah, Tu hanku Yang Maha Pengampun,  maafkan bapak saya. Jika bapak saya berdosa karena menelan tarkan saya, ampuni beliau, Tuhan. Ampuni ba pak  saya, Tuhan. Saya ikhlas. Saya rela…saya memaafkannya. Bapak, semoga Tuhan mengam puni semua dosa-dosa bapak, baik yang sengaja atau tidak disengaja. Baik dosa bapak yang nyata maupun dosa bapak yang tersembunyi dari manu sia…huhuhuhu
           Mbok… kapan terjadinya, mbok. Mana je nazah bapak saya, mbok. Saya ingin memandi kan jenazah bapak, mbok ”
Mbok Sinem menghampiri Bondan. Ia merunduk. Maraih kedua bahu Bondan.
             “ Ndoro meninggal dua hari lalu, den. Jenazahnya, dimakamkan kemarin pagi. Si mbok baru dapat kabar hari ini. Tadi pagi, isteri Ndoro datang. Si Mbok  tidak tahu kemana harus meng hubungi aden. “
             Bondan tertegun. 
             Tapi, sesaat berselang ia kelihatan beru saha untuk bersikap tetang. Informasi dari si mbok Sinem yang begitu singkat, dianggap seba gai info yang padat.  Membuat Bondan  maklum dan Bondan ikhlas mendapatkan kenyataan tidak bisa ikut memandikan jenazah ayahnya yang te lah dikebumikan, seperti yang dikatakan mbok Sinem.
            “Maafkan saya, mbok. Saya memang sa lah. Saya menyesal karena sejak Tari menikah, saya jadi malas membawa hape  “





Bersambung…………..

Wednesday, June 19, 2013

CERITA BERSAMBUNG (49)

MASIH ADA JALAN
Oleh:  Oesman Doblank

EMPAT PULUH SEMBILAN


                    “Qorun? Kok boss jadi bilang kayak Qorun. Qorun artinya apa , boss? Memang, orang kikir, bahasa arabnya, Qorun, boss?”
                    “Yaa, elu, bang. Masa’ sudah tua nggak tau Qorun, sih ?”
                    “Boss, saya memang nggak tau. Ka lau saya nggak tau tapi ngaku tau, kan, jadinya saya gak beda sama manusia yang sok tau tapi sebenarnya malah nggak tau, boss ?”
                    “Benar juga, lu. Tapi, sudah apa belum nih, ngerik badan gue? “
         “Kayaknya sih, sudah boss. Tapi, jangan pulang dulu, boss. Kecuali, setelah menjelaskan qorun.Boleh,kan,  kalau saya kepingin tahu ?”
         Sabar membereskan alat kerik dan menaruh di tempatnya. Bondan kembali menge nakan bajunya. Menghela nafas panjang. Ia merasa agak sehat. Setelah menyeruput kopinya, Bondan menjawab keingin-tahuan bang Sabar
tentang Qorun.
           Bondan berharap, bang Sabar yang usai ia jelaskan tentang Qorun lalu manggut-manggut benar - benar memahami, mengapa orang kikir alias pelit diidentikan dengan qorun.
           “Kok, bisa, ya, boss, Qorun berubah jadi orang pelit dan menganggap kekayaannya bukan dari Allah ?”
            “ Bang, manusia itu mahluk yang maha tidak sempurna. Jiwanya, seperti cuaca. Selalu berubah. Waktu miskin Qorun memang taat pada Allah. Tapi, ketaatannya sangat tradisional. Arti nya, tidak diperkuat oleh ilmu agama dan akhlak mulia.
            Makanya, yang kemudian terpikir setelah ia kaya raya, kekayaannya itu dianggap bukan datang dari Allah. Tapi, dari kerja kerasnya semata. Jadi, wajar jika ia, lantas kikir, pelit. Mengapa? Karena ia membenarkan pola pikir nya, dan mengabaikan kebenaran yang datang dari Allah.
             Padahal, kerja keras dan manajemen ke kayaannya sudah benar. Tapi, karena ia tidak me nerima kebenaran yang datang dari Allah, mem buat dirinya jatuh ke lembah takabur. Allah, kan,  nggak suka sama hambanya yang takabur. Deng an kekuasaannya, teramat mudah bagi Allah un tuk kembali memiskinkan Qorun “
             “Mudah-mudahan saya sanggup menja di orang yang suka beramal, boss. Meski cuma jadi tukang ojek. Nggap apa-apa, kan, boss?”.
             “Siapa pun kita, apapun pangkat dan ke dudukan kita, nggak pernah dipersoalkan oleh Allah, bang. Yang dinilai oleh Allah, hanya satu Apakah kita bertaqwa apa cuma ngaku bertaqwa
Kalau bertaqwa, gemar beramal ibadah. Kalau cu ma ngaku bertaqwa, sama saja bohong. Sebab, pasti nggak suka beramal dan merasa berat da lam melaksanakan ibadah “
              “Oke, boss. Sekarang. Terserah, boss. Mau nginap lagi di rumah kontrakan saya yang begini adanya, silahkan. Kalau mau pulang, juga terserah, boss saja. Sekali lagi, nggak bosan saya mengucapkan terima kasih. Semoga Allah selalu memberi rahmat pada boss dan juga pada saya “
              “Amin.Gue pamit pulang saja, bang. Oh, iya, pakain kotor gue tinggal saja, yaa. Kalau nanti abang  ada waktu, nanti antar ke rumah kontrakkan gue. Oke ? Tapi kalo gak sempat, gue rela kok dipakai sama abang ”
              “Oke, boss. Saya siap antar boss sampai ke rumah “
              “ Bang…gue kan baru masuk angin. Ka lau pulang pakai motor, malah bisa makin sakit
Kalau sakit gue makin gawat, abang mau tangung jawab? Jadi, lebih baik lu nggak usah pusing. Gue, kan bisa pulang naik  taksi. “
              Sabar bukan tidak merasa kecewa. Perasaan kecewa menyelinap di hatinya
              Hanya, tak lama. Sabar  lantas sadar, kalau Bondan memang punya alasan kuat untuk tidak merepotkan dirinya. Juga kondisinya yang memang bisa merepotkan jika kembali diajak menerabas kota besar seperti Jakarta, dengan memakai sepeda motor                      
            


Bersambung………

CERITA BERSAMBUNG (48)

MASIH ADA JALAN.
Oleh : Oesman Doblank


EMPAT PULUH DELAPAN



               Jadi, orang pintar yang sholeh dan shale hah itu, saat mereka jadi pemimpin, benar-benar hanya untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah. Bukan di mulut doang. Tapi, juga di kela kuan dan perbuatan.  Dia tidak akan mau menca ri kesempatan dalam kesempitan buat korupsi. Sebab, meski punya kesempatan seluas-luasnya buat korupsi, hatinya sudah mengharamkan per buatan korupsi “
                “Wow, asyik juga tuh, boss, kalau para orangtua bisa mendidik anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Saya bisa apa nggak, ya ?”
                “Bisa itu karena biasa, bang Sabar. Sia papun, kalau memang niat dan tekadnya bukan cuma di mulut atau di hati nggak akan bisa. Tapi, bila niat dan tekad itu  dilaksanakan, dibuktikan, pasti bisa. Kalau cuma niat doang, sama saja bo hong. Sebab, niat itu rencana. Sekarang ini, semi sal abang niat mau ke Bandung, kalau nggak di laksanakan dan dibuktikan dengan cara pergi ke Bandung, sampai presiden ganti tujuh kali, abang nggak pernah ke Bandung. Iya, kan?”
                 “ Jadi, yang penting bukan cuma niat doang, dong, boss?”
                 “Bang…niat memang penting. Tapi, menjadi tidak penting dan bohong punya niat ba ik, jika tidak dilaksanakan. Terlebih tanpa alasan yang kuat dan rasional.
                Contoh lainnya, mudah dimengerti, kok. Misalnya, saat abang lapar. Kan, bang Sabar ingin makan dan lantas niat mau makan. Meski isteri di rumah sudah masak, sudah menyiapkan lauk pauk, lengkap sama sambel, dan peralatan makan. Tapi bang Sabar cuma duduk di kursi meja makan. Seharian cuma menatap sambil terus ngucapin niat, mau makan-mau makan Sampai sejuta kali pun, bang, kalau nggak ambil piring, nyendok nasi dan lauk pauk, lalu nyuap tuh makanan ke mulut, ngunyah dan nelan, yang terjadi, abang bukannya kenyang. Tapi, langsung pingsan.
                  Kenapa? Karena cuma niat mau ma kan, tapi bang Sabar nggak pernah melaksanakan makan. Semisal abang mau pipis. Terus niat mau ke kamar mandi, supaya bisa pipis. Tapi, abang tetap saja di warung janda. Akhirnya, abang pipis di kamar mandi apa di celana ?”
                   “ Pastinya, pipis di celana dan akhir nya, saya bukan di sayang tapi malah diketawain sama tuh janda, boss. Tapi, benar, juga yang boss bilang. Salah besar, kalau niat itu dianggap pen ting, jika tidak dilaksanakan terlebih tanpa alasan yang rasional,” kata Sabar, yang usai ngerok lantas mengurut-ngurut punggung Bondan.
                   “Tapi, kalau niat mau beramal, tapi kitanya nggak punya duit, pastinya, jadi susah melaksanakannya, boss ?”

                   “ Niat beramal, menurut saya, justeru paling gampang, bang. Sebab, beramal itu harus dilaksanakan kapan saja. Baik saat lapang mau pun ketika dalam sempit. Jadi, saat niat, begitu punya seribu rupiah, langsung laksanakan. Kalau nunggu sampai punya sejuta rupiah, begitu dapat sejuta rupiah, yang kemudian terpikir, sayang ba nget kalau dikasih orang lain. Jadi, aplikasinya bukan mau di amalkan, tapi malah dibawa pergi ke mall. Habis buat shoping. Niat jadi terlupa kan. Akhirnya, jadi orang kikir, kaya Qorun “



Bersambung....

Monday, June 17, 2013

CERITA BERSAMBUNG (47)

MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank

EMPAT PULUH TUJUH



           “Kok bisa begitu, boss?” Tanya Sabar, yang dengan seksama mendengarkan opini Bon dan, sambil terus mengerik punggung Bondan, yang sebagian sudah bergaris merah.
           Bondan memang merasa nggak enak ba dan. Ia tahu, jika tubuhnya masuk angin. Untuk itulah, ia mempertimbangkan akan ke dokter, la lu pulang ke rumahnya. Tapi, Sabar yang melihat kondisi Bondan, menahan dan berinisiatif mengerik tubuh Bondan yang menurut Sabar, masuk angin.
          Meski tak biasa, Bondan tak merasa terpak sa untuk dikerik. Ia memenuhi saran Sabar, karena menghargainya dan sekaligus ingin men coba bagaimana rasanya dikerik saat tubuh dise rang penyakit masuk angin
          Bondan yang membiarkan tubuhnya dike rik, kembali meneruskan ocehannya.
           “ Menurut buku yang gue baca, lebih baik punya anak sholeh dan sholehah daripada punya anak pintar. Sebab, anak pintar akhlaknya belum tentu baik. Kepintarannya, kapan saja bisa disa lah-gunakan. Itu sebabnya, banyak koruptor. Ba nyak maling krah putih. Mafia hukum, mafia pa jak. Mereka, kebanyakan orang pintar. Bertitel. Berpangkat. Tapi, akhlaknya di bawah titik nol.
           Nah, anak sholeh dan sholehah, sejak ke cil hidupnya sudah penuh adab. Penuh tata kra ma. Tahu bagaimana cara menghargai dan meng hormati orangtua. Juga tahu cara menghargai te man sebaya yang seiman, dan teman sebaya yang beda agama.
            Disiplinnya juga tinggi. Tahu aturan. Ja di, kapan waktu main dan kapan waktu belajar, sudah bisa ngatur sendiri. Mana baik dan mana tidak baik, juga sudah paham. Karena bisa dan jadi biasa, akhirnya mereka akan paham.
           Jika sudah paham, pasti memiliki kemam puan untuk membedakan mana yang hak dan ma na yang batil, mana yang boleh dan mana yang dilarang.
           Makanya, kalau abang mau punya anak sholeh dan sholehah, didik yang baik. Ajarkan sejak dini agar mereka ngerti, waktu belajar harus belajar dan waktu main baru dipersilahkan main. Kalau tidak begitu, repot, bang.
           Tapi kalau anak abang soleh dan shole hah?  Bakalan hepi sampai akhir menutup mata, bang. Mereka, tidak akan mengambil yang bu kan haknya. Tidak usil, tidak iri, tidak suka mem fitnah, tidak ingin menguasai milik orang lain. Nah, ketika akhirnya tumbuh dewasa dan jadi orang pintar, yang dipikirkan bukan kepentingan pribadi. Tapi, kepentingan sesama.
             Waktu kerja, misinya ibadah, bukan men cari harta. Tapi, ketika rezekinya berlimpah, yang dipentingkan bukan foya-foya dan berme wah-mewah di jalan setan.
             Tapi, foya-foya dan bermewah mewah di jalan Allah. Nggak bakalan kepincut mau ke dis kotik atau nite club. Nggak bakalan keranjingan shoping. Sebab, sejak kecil, paham, semua itu bukan kegiatan amal ibadah. Jadi, hartanya di pa kai buat beramaliah. Membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan.
              Yang diutamakan, tentu saja, saudara kandungnya terlebih dahulu. Baru saudara dekat yang bukan kandung. Kemudian, meluas ke orang lain yang dikenal maupun yang tidak di kenal. Tapi, dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas itu, artinya kayak orang buang air. Nah, kotoran,  kan, kalau sudah kita buang, nggak pernah mau kita ambil lagi.

               Jadi, ikhlas itu artinya semua dilakukan hanya karena Allah. Kalau sudah begitu, ya, cuma berharap keridhoan dari Allah. Nggak mau di puji orang lain. Nggak ngungkit dan nggak ngarepin apa pun dari orang lain. Apapun namanya, kalau masih mau dapat  pujian, dapat balasan dari sesama, yaa, belum full ikhlas.


Bersambung........





Sunday, June 16, 2013

CERITA BERSAMBUNG (46)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


                                          EMPAT PULUH ENAM


              Sabar mengambil keputusan untuk tidak mau meladeni ocehan lelaki brewok itu lagi.
              “Pak..bilang betul, dong, pak. Waah, bapak belum pernah nonton Ipin dan Upin, ya?”
              Sabar segera  menjalankan motornya de ngan hati-hati. Setelah lepas dari ruang setapak di antara motor yang di parkir di kanan kiri, ia bergegas. Tak berminat menoleh dan melihat, apa yang sedang dilakukan oleh lelaki brewok berpakaian necis, yang mengaku baru saja diting galkan isteri selama-lamanya             .
             Bondan celingak celinguk. Tapi, belum juga melihat sosok si tukang ojek. Ia bertanya ke seorang satpam
               “Memang, tempat parkir motor di sebe lah mana,  pak ?”
               “Tuuuh, di sana. Di halaman belakang Duduk dulu aja, dik ?”
               “ Ma kasih, pak “
               Bondan sudah ingin duduk.
               Terdengar bunyi klakson motor 
               Bondan menoleh. Dengan santun, Bon dan pamit ke pak Satpam rumah sakit. Lalu menghampiri Sabar. Mengambil helm.
               “Kalau tau  lama, saya ikut abang ke tempat parkir,” kata Bondan yang bergegas me makai helm dan naik ke motor.
               “Nanti, abang jangan sampai lupa. Ka lau ada rumah makan, kita singgah. Perut saya su dah lapar lagi “
               “Siap boss,” sahut Bondan, yang begitu melihat plang  di tempat bayar parkir terangkat, segera meluncur.
                                  *******              
            MALAM kedua, rencana tetap nginap di rumah bang Sabar, terpaksa harus kembali diper timbangkan. Bukan lantaran rumah petakan yang dikontrak bang Sabar pengap. Juga bukan karena suasananya, bising oleh suara anak-anak yang umumnya lebih betah bermain  di luar rumah tim bang kumpul bersama orangtua mereka di rumah
          Pada hal, jika para orangtua dan anak-anak nya membiasakan diri untuk tetap betah berada di rumah – meski hanya rumah kontrakan, anak-anak tak menjadi liar. Liar dalam arti, saat bela jar mereka belajar dan orangtuanya menuntun anaknya agar lebih semangat dalam  belajar. Ti dak malah lebih semangat bermain, seolah-olah, seluruh waktu mereka hanya untuk bermain
            Jika hal pertama yang dilakukan, betah dan enjoi di rumah, yang kelak akan  terbangun, tak hanya indahnya kebiasaan bercengkrama. Ta pi, juga berbagai hal lain yang membuat hubu ngan orangtua—anak, makin harmonis. Makin dekat dan mesra. Makin saling mengerti dan memahami, di mana posisi anak dan dimana po sisi orang tua, yang memang berkewajiban dan senantiasa harus mengasuh, membimbing dan mendidik anaknya, agar tumbuh dan berkembang bersama kodrat kebaikan, seperti yang diajarkan Rasulullah SAW
            Jika para orangtua bisa mendidik dengan baik, mampu mengarahkan dengan benar, dan memotivasi dengan tepat, anak-anak mereka ak an tumbuh dan berkembang  menjadi anak anak yang sejak dini, akhirnya akan lebih mengenal dan terbiasa mengutamakan dan melaksanakan  berbagai kebaikan
           Pada akhirnya, yang tertanam di jiwanya adalah akhlak mulia. Budi pekerti yang membuat anak-anak, berjiwa sholeh dan sholehah. Tak malah sebaliknya, liar dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang tidak orientatif pada ilmu dunia maupun ilmu akhirat
            Kalau saja kesadaran ke arah itu menjiwa di setiap orangtua, akan bermunculan anak-anak sholeh dan sholehah, yang duapuluh lima tahun mendatang, mampu memakmurkan dan menjadi kan Indonesia sebagai negara adi kuasa. Dan, anak seperti itu, bisa berasal dari mana saja. Tak terkecuali dari rumah petak yang sempit, panas dan pengap


Bersambung.......

Saturday, June 15, 2013

CERITA BERSAMBUNG (45)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank

EMPAT PULUH LIMA



                  Sabar buru buru menyeka air mata dan berusaha hentikan sesenggukannya. Baru kemudian dia menoleh ke arah suara. Melihat lelaki brewok berpakaian necis, Sabar tak peduli
                  “Jangan banyak tanya, lu? Gue mau nangis, kek. Mau ngakak, kek. Kenapa lu pake mau tau urusan orang”
                  Brengseknya, lelaki brewok malah tidak merasa tersinggung. Malah, dengan sangat bersahaja dia menyahut
            “Maafin saya, pak. Soalnya, saya nggak bisa nangis. Padahal, isteri saya, baru saja me ninggal dunia  “
            Sabar yang malah kesal, membentak.
            “ Terserah bapak. Toh, bapak bisa segera cari isteri lagi. Tapi, kalau kehilangan orang ba ik, kehilangan manusia berhati malaekat, kemana saya bisa nyari gantinya?”
            “Oooh, berarti kita sama-sama kehila ngan, ya, pak?”
            “Mau sama, kek, mau beda, kek, itu uru san masing-masing  !”
            Sabar yang merasa terganggu, jadi nggak bisa nahan sabar. Ia jadi lupa kalau dirinya masih tetap sesenggukan. .
            “Iya, pak. Tadi, pak dokter juga bilang, masing-masing ada jalannya. Jadi, saya disaran kan untuk tidak menangis. Sebab,  isteri mening gal karena sudah waktunya. Atas kehendak NYA, lho, pak. Sama sekali bukan atas kehendak saya. Tapi, tadi, sesaat saya sempat sedih. Bener, pak.
             Sekarang saya sudah kembali senang. Ka yaknya, sudah plong. Bebas merdeka, pak.
             Mudah mudahan, saya dapat kemudahan cari isteri pengganti Tapi,sekarang ini, kok susah ya, pak, cari perempuan yang nggak matre.
             Isteri saya itu, matre banget, pak. Nggak taunye, ibunya juga matre. Teman-teman ngerum pinya juga pada matre pak. Padahal, saya kepe ngeeen banget, cari isteri yang sholehah. Nggak matre. Sayang sama dua anak saya. Tapi, pasti su lit, ya, pak. Memang, sekarang ini zamannya zaman matre, ya, pak ?”
             “Maaf, saya sudah harus pulang. Jangan ganggu saya lagi ! “
             Sentak Sabar sambil berusaha mengelu arkan sepeda motornya .
             “Oh, bapak mau pulang? Pulang ke ma na? Saya ikut, dong , pak ?”
             “Kata bapak, isterinya baru saja  mening gal? Dari pada ikut saya pulang, kan, lebih baik bapak urus pemakaman isteri bapak. Bagaimana juga, sih ?” Sabar makin sewot
             “ Oh iya, ya, saya ini, kok bagaimana ju ga yaa? Tadi,maksudnya, kan saya mau ambil ha pe yang tertinggal di bagasi motor. Mau telpon mertua. Ngabarin anaknya sudah meninggal. Ta di, waktu saya mau bawa ke rumah sakit, sudah saya kabarkan akan membawa isteri saya ke ru mah sakit. Sekarang ini, kira-kira, menurut perki raan bapak, mertua saya masih di rumah atau ma sih dalam perjalanan ke rumah sakit, ya, pak ?”
               Sabar sudah bisa menghidupkan motor nya. Sudah bisa jalankan motornya. Namun, harus perlahan. Karena jalan  di sela sela  yang memenuhi tempat parkir, sangat sempit. Setelah  melap air matanya, ia berkata.
               “ Sebaiknya, bapak tanya kembali saja ke dokter. Saya pulang dulu. Assalammualai kum,”
               “Walaikum salam, pak. Hati-hati, pak. Jangan nerobos lampu merah. Tapi, kalau terlan jur nerobos karena bapak tidak disiplin, saat ke tangkap polisi, jangan mau diajak damai, pak Bapak bilang minta langsung ditilang saja, pak

              Kan, lebih baik uangnya disetor lang sung dan masuk ke kas negara. Buat bayar utang negara kita, pak. Kalau tidak lunas lunas, apa ka ta dunia, dan bagaimana nasib anak cucu kita nan ti, pak. Betul, kan, pak ? ” 



Bersambung.........

SILAHKAN SENYUM

TIPS MEMIKAT  SUAMI THE BEST.
oleh : Oesman Doblank

WANITA berhak berkeinginan punya suami yang paling diinginkan. Yaitu, yang baik hatinya, baik kantong dan dompetnya, baik kelakuan dan juga baik kesehatannya
Jika hal itu yang didambakan, maka hal pertama yang hrs dilakukan, perhatikan kepribadian yang paling khas dari pria yang kamu rindukan mulai dari bangun tidur sampai kepingin tidur maning. Lalu, tanya langsung dengan  sikap gentlegirl, apakah ia punya 5 syarat minimal kepribadian yang terdiri sbb :
1. Apakah kang mas punya rekening pribadi yang sehat dan gendut, di beberapa bank ?
2. Berapa hektar sawah dan kebun pribadi yang sudah disiapkan buat masa depan?
3. Apakah beberapa kendaraan yang kerap dipakai sah sebagai milik pribadi dan tidak bakal disita KPK?
4. Sudah berapa buah rumah pribadi yang dimiliki dan bebas dari incaran penegak hokum yang siap menyita?
5. Apakah tanah hasil serobotan sepuluh tahun silam sudah jadi milik pribadi dan uang hasil penjualan tanah serobotan sudah dimasukkan ke laundry?

6. Berapa juta gaji pribadi perbulan dan berapa milyar hasil korupsi berjamaah yang tersisa untuk pribadi?

Friday, June 14, 2013

CERITA HUMOR

DICIPOAIN CEWEK IDAMAN
oleh : Oesman Doblank
      KOMENG udeh janji, kagak bakal maenin Nurlela. Sebab, Nurlela lebih cakep dari Mumun, pacar ketiga, nyang sengaja die putusin, lantaran keteknye yang cuma ngejamin  bau asem, kagak juga mau dioba tin. Padahal, Komeng udeh kasih biaya buat ngobatin ketek Mumun nyang bau asem. Eeh, nyang namanye Mumun, bukan buru-buru ngerenovasi keteknye, malah gunain duit dari Komeng buat ngobatin enyaknye nyang pantatnye bisulan, lantaran ngedudukin bantal warisan kakeknye.
            Lantaran ngorup duit buat biaya ngerenovasi ketek, mau kagak mau, Komeng outin Mumun. Begitu dapet Nurlela, Komeng langsung janji, kagak bakal lagi kepincut sama cewek lain.            “ Ogud cuman kepengen nyandarin cinta di pelabuhan hati dikau, Nurlela “
  1.             Komeng kagak bakal lupa sama kalimat nyang diucapin sepenuh hati, saat Nurlela dan Komeng saling berjanji, buat ngejalin cinta tanpa ada dusta atau cipoa di antara mereka.
  2.             Tentu aje, Nurlela percaya setengah koit.
  3.             Komeng juga begitu.
  4.             Cuma, entah setan dari mane nyang ngebujuk Komeng, supaya die ngelesin cewek becelana jeans nyang kaosnye warna pink. Waktu entu, emang lagi hujan gerimis. Waktu sama-sama neduh dan masih gerimis, Komeng emang cuwek bebek. Tapi, waktu hujan mulai deres, dan tuh cewek nanyain waktu, Komeng nyang seudeh ngeliat jam, lantas ngejawab baru jam empat, tuh cewek keliatan kuatir.
  5.             “ Emang mau ke mane?” Kate Komeng nyang langsung nanya. Lantaran kepingin tau kenapa tuh cewek keliatan kuatir. Tujuannye sih nggak lebih dari basa basi alias timbang kagak nanya.
  6.             “ Mau ke rumah mpo,” kata tuh cewek, nyang keliatan makin kuatir, sambil sesekali ngeliat ke sebelah kanan. Boleh jadi, ngira ada metro mini nyang emang paling diarepin.
  7.             “ Aduuuh, mana acaranye jam empat. Mati deh, gue,” si cewek  ngegerundel.
  8.             Kalo aje gerundelannye Cuma di ati, nggak bakal kedenger orang. Lantaran kenceng, Komeng nyang jelas ngedenger nyoba nawarin jasa. Emang nggak langsung nawarin.
  9.            “ Eeh, jangan mati dulu. Masa’ orang cakep mau cepet cepet mati, “ kate Komeng, nyang komennye spontan alias kagak perlu mikir
  10.            “ Soalnya, udeh telat. Ulang taon keponakan aye, mulainnye jem empat “
  11.            “ Waaah, mesti cepet-cepet nyari taksi, tuuh?”
  12.            “Jangan kate taksi. Metro mini aje belon ada nyang lewat ?”
  13.            “ Emangnye di mane, sih, rumah mpoknye?”
  14.            “ Yaa, lumayan jauh. Cuman, ape boleh buat deh, kalo emang nyatanye udeh telat “
  15.           “Terus, batal, dong ngehadirin ulang taon kepona kan ?”
  16.           “Iye, sih. Tapi, biar aje, deh. Mpok aye pasti maklum. Lagian, kalo sekarang aye belon sempet beli kado. Kalo besok, kan, bisa sekalian bawain kado “
  17.          “ Kalo gitu, seudeh ujan berenti,  langsung ke mall  aje ?” Komeng jadi ketarik buat lebih akrab.
  18.          “Ke mall? Ngapain ? Lagian, mana enak ke mall sendirian. Ntar, disangka abg nyang mau ngetem, lagi. Iiih, emangnye aye angkot, suka ngetem “
  19.          “ Kalo nggak enak sendirian, abang siap anterin ?”
  20.          “Belon kenal masa udeh mau nganterin. Enak aje,” kate si cewek nyang tentu aje cakepnye, kagak kalah sama Nurlela. Komeng, langsung nangkep peluang. Tanpa ragu, ia pun langsung bilang.
  21.          “ Oooh iyee, kite belon kenal, yee. Syet deh, kok abang jadi bloon, sih? Tapi, timbang terus bloon, gimana kalo kita kenalan ?“
  22.         Tanpa ragu, Komeng nyodorin tangan. Syet, deh, bener-bener pucuk dicinte uler pun nyampe. Die nyam but ajakan Komeng. Tanpa ragu nyodorin tangan. Lang sung aje Komeng nyamber. Komeng ngerasa ada nyang bedesir, waktu genggam tangan Zubaedah.
  23.          “ Komeng,” tanpa ragu, Komeng nyebut namanye
  24.          “ Zubaedah,” kata tuh cewek nyebut namanye .
  25.          Nggak lama, Komeng udeh beduaan di mall bareng Zubaedah. Mestinye, Komeng kagak perlu nra ktir Zubaedah. Sebab, kagak minta ape-ape. Tapi, lan taran mau enak ngobrol, Komeng ngajak ke es teller 987, nyang juga nyediain bakso .
  26.           Mestinye lagi, Komeng kagak perlu ngeluarin duit buat bayar kado. Sebab, Zubaedah nyang seudeh di traktir ngebakso ples ngembat es teller, ngajak ke toko maenan anak, udeh mau bayar harga mobil-mobilan nyang cuma  tiga ratus ribu perak. Tapi, Komeng malah berbisik mesra.
  27.           “ Bedah, nggak perlu ngeluarin duit. Biar aje abang yang bayar ?”
  28.           Zubaedah, bukan kagak kaget. Tapi, lantaran ngehargain niat baik Komeng, die ngebiarinin Komeng ngebayarin mobil-mobilan nyang lantas dibungkus rapi sama sang pelayan.
  29.           Cuman, keluar dari mall, Komeng kagak bisa maksain diri nganter Zubaedah, pake motor ke rumahnye. Sebab, ngedadak Nurlela ngebel. Komeng buru-buru ngelayanin panggilan Nurlela. Jadinye, Komeng ku atir. Takut ketauan udeh punya pacar. Makanye, waktu Zubaedah nanya, Komeng ngaku yang ngebel adiknye.
  30.          “ Ade ape ade ketemu seudeh gede ?”
  31.          “Kagak percaye? Telepon aje. Nih nomornye?” Komeng terpaksa berjibaku. Dia yakin, cewek nyang baru kenal, kagak bakal tau kalo dicipoain. Kalo pun nekad ngehubungin Nurlela pake HPnye, paling ketauan. Yaa, kalo udeh ketauan, kan bisa bilang, lebih cinta sama Zubaedah.
  32.          Bagusnye, Zubaedah lantas kagak ngotot. Die bilang, percaya. Makanye, tetap ngasih alamat meski Komeng kagak bisa nganterin pulang lantaran mesti jemput adenye di kampus. Padahal, Komeng mesti cepet-cepet nyamper Nurlela, yang lagi nganterin mpoknye ke rumah dukun beranak. Mpoknye nyang udeh hamil gede, ngedadak mules dan ngaku kepengen beranak.
  33.         Komeng lega, lantaran Zubaedah kagak marah dan udeh ngasih alamat. Komeng lantas janji bakal maen ke rumah Zubaedah.
  34.         “ Pokoknye, kalo diizinin, abang pasti maen ke rumah Bedah. Entu juga kalo diijinin. Kalo kagak diijinin, tolong maafin abang, semisal tiap malem abang sengaja ngimpiin Zubaedah “
  35.         “Iiiih abang. Mau maen, siapa nyang larang. Lagian, Bedah seneng, kok,  nerima kedatengan abang “:
  36.         Komeng makin kesengsem sama Zubaedah, nyang seudeh ngucapin “sampai jumpa” lantas ngesun pipi Komeng . Saat udeh di taksi, Zubaedah juga nyempetin ngedadahin, dengan gayanye nyang manja.
  37.         Makanye, Komeng berusaha cari dan curi kesempatan supaya bisa maen ke rumah Zubaedah. Sialnye, Komeng kagak bisa komunikasi jarak jauh, lantaran kelupaan minta nomor hpnye. Sialnye lagi, Nurlela terus minta dianter ke rumah mpoknye, nyang baru aje bera nak.
  38.         “ Abang sih, bukan, bosen, nih. Cuman, kalo setiap hari nganter ke rumah mpoknye Lela, kapan kita bisa asyik beduaan ?” akhirnye, Komeng ngomong terus terang
  39.         “Abang gimane, juga, sih?. Baru diminta tolong nganter segitu aje, udeh nggak rela ?”
  40.         “ Abang bukan kagak rela. Cuma, ape kagak bosen, tiap ari ngelongok bayi? “
  41.         “ Kenape Lela mesti bosen? “
  42.         Komeng kagak nyangka, kalo lagi ngambek, Nurlela ngeselin. Jadi galak kagak keruan.
  43.         “ Yee, udeh. Nggak usah emosi, gitu.”
  44.         “ Abang nggak usah belagak nyesel, deh. Kalo emang bosan nganter, gak ape-ape, kok. Bosen ama Lela, tapi nggak berani terus terang, juga kagak jadi soal. Pokoknye, mau lanjut silahkan. Mau putus silahkan “
  45.         Nurlela, malah tambah galak. Pake nantangin lagi. Bikin Komeng nyang lagi kesengsem sama Zubaedah, cepet sewot.
  46.         “ Yee, emangnye abang kagak bisa mutusin, Lela.
  47.         Emangnye, abang kagak bisa dapetin cewek nyang lebih kece dari Lela. Bisa, kok. Cuman, kan, abang udeh janji nggak bakalan ninggalin dan nggak bakalan nyimpen dusta diantare kita ?”
  48.        “ Aaaah, hari gini malah ngegombal. Bilang terus terang, sekarang mau tetap anter Lela dan tetap ngerajut hubungan, ape sebaliknye ?”
  49.        Komeng, akhirnye milih emosi. Tanpa ragu, lantas nyeplosin kata, die lebih siap pisah dan ninggalin Nurle la.Sebab, sebagai lelaki kagak mau dibudakin cewek, nyang tiap harinye cuma hobi nengokin nyang baru aje lahir ke dunia.
  50.        Nyesel kagak nyesel, Komeng berani ambil keputusan. Soalnye, saat berantem, wajah Zubaedah nyang juga kece, muncul, muncul dan muncul sambil ngelemparin senyuman manisnye.
  51.        Duuh, putus, deh.
  52.        Tapi, Komeng kagak lagi mikirin Nurlela. Nyang sekarang ada di pikiran Komeng, cuman Zubaedah. Besok sorenye, Komeng ngeluncurin motornye ke Jalan Rindu Dendam gang Cinta Buta. Begitu ngeliat nomor empat tiga, Komeng ngerem motornye.
  53.        Komeng langsung nyabut kunci kontak seudeh stan darin motornye. Tanpa ragu, mencet bel. Hatinye dag dig dug. Ngarepin buanget, cinta Zubaedah langsung nyeruduk.
  54.        Komeng sempet kesel, lantaran nyang nongol dari dalem rumah, lelaki berambut cepak, badannye beotot kayak Ade Ray.
  55.        “ Bokapnye, kali.” Kata Komeng dalem ati.
  56.        Komeng yakin, cowok nyang ngebukain pager masih keluarga Zubaedah. Kalo kagak bokapnye, pasti abang atawa encangnye. Buktinye, dia kagak nanya tapi langsung bukain pager. Komeng buru-buru ambil motor Langsung masukin ke halaman rumah Zubaedah.
  57.        “ Katanye mau dateng pagi, kok, sore baru muncul?” Tanya lelaki berambut cepak, begitu Komeng kelar markirin motor di halaman rumah Zubaedah.
  58.        “ Kayaknye, saya nggak janji mau dateng pagi, deh ?” kata Komeng. Tentu aje dia pake ngerasa bingung. Sebab, nggak pernah janji, kok, disangka mau dateng pagi?
  59.        “ Anda petugas dealer motor yang mau nagih cicilan motor, kan?” Tanya lelaki cepak, yang kagak nyoalin jawaban Komeng.
  60.        “ Saya bukan tukang tagih, oom. “ Komeng buru-buru ngejelasin. “ Saya Komeng. Minggu kemaren, udeh jalan bareng sama Zubaedah ke mall. Biasa, oom, anak muda. Naah, sekarang, saye nepatin janji mau ngapelin. Nggak ape-ape, kan, oom ?”
  61.        “ Nggak apa-apa. Cuma, jangan-jangan kamu salah alamat,” kata cowok rambut cepak.
  62.       “ Salah alamat? “ Komeng bergumam. Lantas, cepet-cepet ngeluarin secarik kertas. “ Rasa-rasanye saya nggak salah alamat, deh, oom “ kata Komeng, sambil nyodorin kertas ke lelaki cepak.
  63.      Lelaki cepak membaca tulisan di kertas. Kagak ada yang salah. Memang, tamunya sudah berada di jalan Rindu Dendam Gang Cinta Buta nomor empat tiga.
  64.      “ Bedaaah. Zubaedaah “ Lelaki cepak langsung berte riak, memanggil Zubaedah. Komeng kagak curiga, tapi ngerasa lega lantaran bentar lagi ketemu cewek nyang bi kin dia kesengsem.
  65.      Komeng baru kaget, setelah yang dipanggil Zubaedah nongol dari dalam rumah.
  66.      “ Papi sayaang. Ada apa sih, manggil manggil Bedah,” tanyanya. Dan begitu ngeh ada orang laen, Zubaedah  kaget. Gak nyangka kalau ada tamu. Komeng lebih kaget. Nggak nyangka kalo Zubaedah nyang keluar dari dalam rumah, bukan Zubaedah nyang nongol terus di pelupuk mata Komeng.
  67.      “Benar, minggu kemaren mami jalan berduaan ke mall sama dia ?”
  68.      “Waaah, enak aja. Kenal aja nggak, sudah berani Vietnam, eeh, fitnah saya ?”
  69.      “ Benar kamu minta sama dia supaya diapelin?”
  70.      “Idiiiih, sembarangan. Ngeliat mukanye aja baru detik ini, lantas kapan sempatnya bilang minta diapelin?” Sahut Zubaedah yang kesal lantaran merasa difitnah secara beruntun
  71.     Sebenarnya, Komeng pengen buru-buru ngejelasin. Pengen klarifikasi agar semua jadi jelas. Maksudnya, agar tuan rumah tau, ngerti dan paham, telah terjadi salah sasaran dan salah paham. Tapi, berhubung Komeng terlanjur gugup saat bertemu Zubaedah yang bukan Zubaedah yang ia kenal dan sempat ngesun pipi nya, dan lelaki cepak juga sudah terlanjur emosi karena isterinya telah difitnah secara membabi buta.
  72.     Yang kemudian terjadi, bak bik buk bek bok. Komeng nggak sempat nangkis, lantaran nangkis tonjokan tangan kanan lelaki cepak, nggak taunya, tendangan kakinya yang begitu cepat melaju ke perut sulit dihindarin. Akhir nya, yaaaa, Komeng babak belur. Mukanye bonyok kagak keruan.
  73.     Untung, Zubaedah, meski sambil ngejerit-jerit berhasil ngejinekin emosi suaminya. Sehingga, Komeng masih bisa diselamatkan. Juga untung, Zubaedah yang bukan Zubaedah, bergegas menjelaskan dengan baik ke hadapan massa yang ngedadak bermunculan. Kalo nggak, Komeng, pasti makin babak belur digebukin oleh massa yang mendadak berdatangan, bersama emosinya nyang mesti kagak disetel sinyalnye langsung naik ke ubun ubun
  74.       Komeng kagak sempet ngeliat Zubaedah asli nyang sebenarnya bernama Marlina, nyang senyam-senyum sendirian, di satu tempat, nggak jauh dari rumah nomor empat tiga
  75.      .“ Rasain, lu. Emang enak, gue kerjain “ Gumam Marlina, nyang kagak berani ngakak. Sebab kalo ada nyang nanya “ Kenapa ngeliat orang apes malah ngakak?” Dia pasti kesulitan menjawab. Timbang ketauan abis cipoain orang, kan, lebih baek senyam senyum sendirian. Kalau ada yang sempat melihat dan mengira ia gokil, nggak apa-apa. Yang penting, sukses ngerjain cowok mata keranjang
  76.       Komeng nyang pulang dengan sejuta sesal, sembari ati-ati bawa motornye, cuma bisa ngegerutu
  77.      “ Gue pikir cewek idaman,nggak taunye cewek sialan.Nasiib, nasib.....Nurlela yang cantik dan kayaknya cukup setia, sudah lepas dari pelukan.  Zubaedah yang diharapkan jatuh ke dalam pelukannya pun, ternyata melayang.terbang dan hanya jadi bayang bayang. Entah kemana sosok yang membuat Komeng babak belur itu menghilang..