NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank
DUA PULUH
Saat meminta agar Mirna tidak mengulangi lagi
kekeliruannya, Marwan terpaksa mengatakannya dengan agak keras. Dia juga
mengingatkan agar isterinya tidak berakrab-akrab lagi dengan ibu-ibu, yang di
saat suami pergi ke kantor, malah memanfaatkan waktu luang untuk bergibah. Kekeliruan
semacam itu harus berakhir setelah Marwan mendapatkan Mirna tengah asyik
bersama ibu ibu di rumah orang lain
Namun
Marwan menekankan kalau yang diinginkan sama sekali tidak berarti melarang
isterinya bergaul. Dia justeru mendorong isterinya bersosialisasi dengan siapa
saja, karena bergaul bukan hanya hak setiap insan. Tapi sekaligus kewajiban,
agar satu sama lain saling mengenal dengan siapa saja dan berakrab akrab pun
sangat tak salah, asal paham bahwa dalam bergaul, unsur saling memetik manfaat
harus melekat dan satu sama lain dengan sadar harus saling mencerdaskan, saling
mengajak ke jalan benar dan bukan malah mengajak ke jalan yang kelak membawa
masalah. Bahkan, bisa membawa malapetaka.
Jika
proporsional karena cerdas dalam memilah dan memilih tentu yang kemudian
dipetik dari pergaulan adalah manfaat bukan hal hal mudarat. Jadi, kalau dalam
bergaul harus ada yang dikalahkan, tentu saja yang dimenangkan bukan keburukan.
Tapi jika yang dimenangkan adalah kebenaran dan kebaikan, maka esensi bergaul
jadi indah.
Malah
bisa jadi jalan untuk membangun akhlak terpuji dan menyingkirkan berbagai
tipikal akhlak tercela.
Marwan sangat berharap, agar Mirna menjadi isteri dan ibu serta
perempuan yang tak hanya bisa dan pandai memilih Tapi juga bisa
menginventarisir mana hal hal yang dipenuhi kebaikan yang benar dan mana hal
hal yang di dalamnya hanya diwarnai oleh keburukan yang sampai kapan tetap
mengandung ketidak-benaran.
Dalam
memilih, harus diketahui dan dipahami, mana pilihan yang seirama, senada,
sepemikiran dan satu visi dan satu misi. Dan, kata Marwan, itulah hak setiap hamba karena setiap orang yang
mengaku beriman, harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan yang
dianjurkan dan bukan perbuatan yang jelas jelas sangat dilarang.
Ia
tak berhak gaul dan berteman dengan siapa pun, yang beda dalam sikap dan beda
dalam mengaplikasikan keimanan. Bukan karena dianggap salah atau keliru. Tapi,
sangat tidak tepat, mengingat hati setiap orang yang beriman harus selalu
terjaga dan terpelihari dari berbagai macam keburukan.
Terlebih, sama-sama mengaku beriman dan mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, konsekwensi logisnya bukan
membangun akhlak tercela. Tapi melaksanakan seluruh perintah Allah dan mentaulagani
Rasulullah, yang diutus ke dunia untuk memperbaiki akhlak manusia.
Padahal,
hukum dan larangan Allah sudah sangat jelas dan semua difirmankan dalam Al Qur’an.
Bahkan, begitu tegas. Dan aturan Islam, tak satu pun yang keras. Dan kita tak
boleh salah kaprah dalam menafsirkan. Pasalnya, yang
sebenarnya keras bukan aturan agama.
Tapi hati manusia. Ketika hati manusia sudah dikendalikan oleh hawa nafsu, maka
saat itu yang dia lakukan adalah apa yang diinginkan dan bukan apa yang
dibolehkan.
Ketika dorongan hawa nafsu semakin tak bisa dikendalikan, kebanyakan manusia tak lagi menggubris mana
yang boleh dan mana yang dilarang. Hal ini dengan mudah bisa terjadi karena
semakin banyak manusia yang malah enggan melaksanakan perintah Allah. Meski
tahu semua kebenaran itu datang dari
Allah dan telah ditetapkan oleh Allah sejak ribuan tahun silam, malah dianggap
sebagai aturan yang membuat dirinya tidak leluasa melakukan yang diinginkan
berdasarkan hawa nafsu.
Bersambung…….