Showing posts with label Fiksi03. Show all posts
Showing posts with label Fiksi03. Show all posts

Wednesday, April 24, 2013

CERBUNG


Cerita Bersambung


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


Prilaku buruk yang semakin mewabah, jauh lebih membahayakan dari penyakit kanker, atau dari jenis penyakit gana lainnya yang paling membahayakan.
Lihat saja, misalnya, suporter sepakbola. Mereka bisa tak rela jika stelah bertanding tim idolanya kalah dari tim lawan. Padahal, setiap pertandingan, hasilnya ya, bisa kalah atau malah menang. Malah di babak final, jika skor seri ujungnya pasti adu pinalti. Jadi, layak jika ada yang kalah dan tak layak jika keduanya dinyatakan menang.
Seperti halnya Ghana, yang dilibas Paraguay dalam adu pinalti.Mereka rela menerima kekala han, ikhlas pulang kandang dan sama sekali tak merasa sebagai pecundang. Toh, mereka sudah berjuang di even dunia. Kalah pun tetap senang.
Tapi sangat beda dengan di Indonesia. Ketika tim favorit bonek, Jakmania, atau Persita di taklukkan tim lawan, para suporter tak ikhlas menerima kekalahan. Mereka rela mendadak jadi banteng ketaton yang siap menyeruduk siap menanduk. Lebih siap ngamuk dan letupkan amarah, timbang berlapang dada dan meredam emosi, hanya karena fanatisme terhadap tim idola begitu tinggi. Padahal, setinggi tingginya fanatisme, sepokbala adalah permainan kalah menang. Setiap yang menang pasti pernah kalah, dan yang pernah kalah satu ketika bisa menang
Suporter lebih siap memamerkan tindakan yang membabi dan membanteng buta. Tidak hanya sanggup merusak fasilitas umum yang dibangun oleh pemerintah dari dana APBD dan AP B`N, tapi juga sangat siap perang tanding dengan suporter lawan. Padahal, pihak pihak yang bisa berseteru secara mendadak lantaran membela tim kesayangan, sesama anak bangsa. Anak anak Indonesia juga. Mereka gak cuma rela benjut dihajar musuh. Tapi, berani dan rela mati, demi kesebelasan kesayangannya.
Jika terus dan selalu seperti ini, kan aneh. Masa, cuma lantaran tim kalah, ada yang harus berdarah darah
Nah, di mana tidak anehnya?
Prilaku buruk juga tumbuh dan berkembang di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tujuan utama, menuntut ilmu, rela diabaikan. Demi hobi terbaru yang dianggap relevan dengan perkembangan zaman, bukan lagi ilmu dan kebajikan yang diutamakan dan ditumbuh-kembangkan
Tapi, justru budaya tawuran. Saling gasak, saling gebrak, saling tendang, saling jitak, saling merangsek, saling lempar batu, dan saling saling lain pertanda sudah sulit eling.
Tas tak lagi jadi tempat untuk buku dan alat tulis. Tapi, untuk j menyimpan pisau, mister kapak dan senjata lainnya yang sengaja disiapkan untuk memperindah tawuran yang diinginkan. Senjata-senjata digunakan untuk satu tujuan yang sesungguhnya saling mengancam keselamatan. Padahall, agama mengajarkan untuk saling sayang. Bukan untuk saling mencelakakan.
Hal yang di tahun enam puluh sampai tujuh puluhan tak pernah terjadi, kini malah jadi berita sehari hari, di media cetak maupun di media elektronik bernama pop : televisi
Masyarakat semakin prihatin karena dampak negatif prilaku buruk tumbuh dan terus berkem bang. Seperti tak terkendali atau memang tak bisa lagi dikendalikan. Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengurut dada. Nelangsa tak berdaya. Tak mampu mengatasi. Pemerintah seperti melakukan pembiaran. Artinya, fenomena yang muncul di kalangan masyarakat, tak segera diantisipasi dan tidak segera dicarikan solusi agar hal yang menggelisahkan itu, tak ada lagi atau terlupakan karena aparat memiliki kemampuan mencegah sejak dini dan setelahnya tak akan pernah lagi terjadi.
Prilaku buruk berjangkit dan menjalar ke mana-mana. Lebih dari penyakit yang tak bisa disembuhkan, karena ahli kesehatan paling ternama sekalipun, tak mampu menciptakan formulasi yang tepat untuk dijadikan obat agar penyakit tawuran, penyakit korupsi, penyakit a sosial lainnya koit secepatnya dan pejabat atau rakyat biasa , langsung sembuh, sadar dan kembali ke jati diri sebagai manusia Indonesia, yang setelah kemerdekaan dikumadangkan ke penjuru dunia, berkewajiban membangun Indonesia untuk rakyat – dan bukan untuk kesejahteraan para pejabat semata
Prilaku buruk, tiap kali berjangkit di satu tempat, dalam waktu relatif singkat, sudah menjalar ke wilayah lain. Begitu cepatnya menyebar dan sekaligus mengancam keselamatan siapa saja. Virus ganas dan mematikan, tak terhalau oleh canggihnya, ilmu kedokteran dan kefarmasian. Tak terbendung oleh kekuatan dan kekuasaan politik karena para politisi lebih hobi berkreasi untuk meraih materi dan untuk membangun prilaku buruk itu sendiri
Banyak yang bilang, fenomena yang mengkhawatirkan itu, bermunculan karena ketauladanan sudah menghilang. Lenyapnya entah ditelan kemunafikan religius entah gejolak duniawi yang memang kian mampu membius. Juga tak diketahui dengan pasti, apakah lenyapnya karena ditelan bumi atau ditelan oleh kekuasaan yang arogan. Sepertinya, tak ada lagi cara baik untuk mendapatkan solusi maupun mengantisipasi.
Menurut para pakar, pengamat, pemimpin yang mestinya jadi idola, telah raib, entah ditelan oleh mahluk bernama apa. Ketauladanan sepertinya sudah pupus dengan sendirinya. Tergerus oleh arus yang memberangus kepribadian, kejujuran dan sekaligus ketauladanan itu sendiri.
Kalaupun pemimpin itu ada, hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tindak tanduk dan kiprah kepemimpinannya, langsung menyempit ke pribadi dan kelompok dan tak pernah meluas ke semua rakyat. Tak berimbas pada tumbuh dan berkembangnya kesejahteraan rakyat. Tapi sebatas hinggap di kalangan pribadi dan kelompok. Sebatas kepentingan sesaat. Selebihnya, tindakan dan kiprah para elite justru menyengsarakan rakyat.
Perubahan, sulit diharapkan, karena bersama kiprahnya para elite tetap mengusung ambisi pri badi dan kelompok. Yang kemudian bermunculan cuma sebatas keserakahan, egoisme kekuasaan yang diselewengkan dan kemunafikan religius
Benarkah karena pemimpin sudah tak lagi menyimpan dan menyisakan ketauladanan? En tahlah. Yang jelas, realitas hidup dan kehidupan semakin tak terjaga. Jika sebaliknya, tak akan muncul Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, Indonesia sudah lama mendirikan lembaga bernama kejaksaan dan kepolisian.
Tak heran jika Gayus yang hanya staf dan baru lima tahun bekerja, bisa cepat kaya raya. Atasannya yang sudah lama bekerja dan dengan ketinggian pangkatnya, boleh jadi, bisa lebih Gayus dari Gayus? Dan, gayus tak cuma ada di instansi pajak saja. Di Bea cukai dan instansi pemerintah lain nya, juga banyak Gayusnya.
Soalnya, budaya korup bukan baru berkembang belakangan. Tapi, sejak era orba. Jadi, bila metode pembuktian terbalik diberlakukan, tak bakal ada lagi yang percaya, jika seorang pns bisa hidup mewah dan dengan harta yang ber limpah ruah. Meski pun tugasnya di instansi pajak atau pun bea cukai, yang sangat dikenal sebagai tempat paling basah
“Huuuh..jadi pns bukan memuliakan martabat, malah ngerampok uang negara dan membuat rakyat sengsara?”
Bondan yang menikmati dialog tentang In donesia di salah satu teve swasta, mulai kesal dan hanya bisa menggerutu. Dia segera mematikan pesawat tv yang belakangan memang semakin gencar mengurai berbagai masalah tentang Indonesia, yang ternyata, dipenuhi oleh manusia, yang dari wajahnya seperti malaikat tapi yang menggeliat di hatinya, justeru hawa naf su merampok uang rakyat
Tapi, Bondan tak mau lagi berpikir tentang hal itu Nggak mau lagi mikirin soal polisi, jaksa dan hakim, yang diberi amanah mulia, menangani kasus Gayus, malah diselewengkan untuk ke pentingan pribadi dan kelompok. Terlebih, diri nya sendiri bukan termasuk orang bersih
Memang, Bondan merasa tidak lebih buruk dari para koruptor. Tapi, ia bukan orang suci. Bukan malaikat. Prilakunya juga buruk. Bukan koruptor tapi suka teller.Bukan markus dan tidak berkomplot dengan mafia hukum, tapi suka tawuran, sering ngencanin abg dan main judi. Bu kan raja pungli, tapi suka malakin para pedagang di terminal
Prilaku buruk Bondan memang tidak merugikan negara. Makanya Bondan merasa lebih pantas bercermin sendiri dan untuk dirinya sendiri, timbang menyesali kebobrokan di luar dirinya. Bondan lebih tertarik menginventarisir berbagai keburukan pribadi nya, timbang menelaah dan mengkaji prilaku buruk orang lain. Masa’ kuman di ujung samudra atlantik kelihatan, kerbau yang berduka karena mau dipotong dan ada di pelupuk mata, tidak kelihatan?


Bersambung.......