MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank
DELAPAN
Di satu tempat yang tak diketahui baik oleh Bondan maupun Mbok Sinem,
Susilawati menutup hapenye. Dia ngedumel karena masih
belum bebas dari rasa kesal.
“ Baru demam, bukan ke dokter malah minta ibunya pulang. Kenapa
anak itu jadi mendadak cengeng, sih? Apa dia nggak tau , ka lau
ibunya lebih menderita? Apa dia nggak mi kir, aku bukan pembantu? “
Entah kenapa Susilawati jadi kelihatan begitu kesal. Entah kenapa
Susilawati tak suka mendengar kabar kalau Bondan, anak kandungnya,
yang sungguh sungguh sangat merindukan kehadiran ibunya yang
dikabarkan sedang demam, malah ditanggapi dengan emosi
“ Tante…mana kopi panas saya?”
Kalau saja Susilawati tak mendengar suara lelaki yang bernada
manja dari dalam rumah, ia tak bergegas beranjak dari kursi taman,
halaman rumahnya.
“Pagi-pagi, bukannya mempercantik wajah, lalu sediakan saya kopi
dan sarapan pagi untuk kita berdua, malah termangu dan cemberut. Ada
apa sih, tiba-tiba saja tante jadi seperti pemain lenong yang habis
mentas tapi honornya nggak dibayar ?”
Johan, anak muda sekitar 30 tahunan, yang hanya bercelana pendek,
langsung menegur Susilawati yang ba ru saja masuk ke ruang tamu.
“ Apa kamu bilang ? “
Johan, yang dadanya bidang, dengan bulu berham buran di sekujur
dadanya, tercengang. Ia tak menyangka, Susilawati yang belum lama
berselang menggelinjang tak ada habisnya, terus mengetatkan pelukan
dan tak habis ha bisnya mengumbar senyumannya yang merangsang, berka
li-kali melenguh tiap merasakan nikmat yang ia berikan , dan selalu
mengucapkan kalimat yang sama :
“Terima kasih, Johan. Hanya kamu yang cerdas dalam memberi
kepuasaan dan membahagiakan tante, “ dengan suara indah dan
sikapnya yang begitu mesra sam bil mengelap keringatnya yang
membanjiri tubuhnya, me nanggapi candanya dengan emosional.
“Kalau aku tanya, kamu harus cepat jawab. Jang an berlagak tidak
merasa bersalah ?”
“Maksud saya, kan, cuma kepingin bercanda, tan te. Tidak ada
maksud lain kecuali ingin membuat suasana lebih indah. Agar kita
tetap hepi “
Johan, segera menyahut. Tapi, kalimat yang ter ucap, jauh panggang
dari api. Sama sekali tidak asli. Jauh dari kejujuran. Terus terang,
jika melepas kata-kata yang terbersit dihati, bisa jadi bensin dan
membakar emosi Ia kuatir suasana jadi kisruh. Sebab, Johan melihat
emosi tan te Susilawati sudah tersulut. Entah karena apa dan oleh
siapa.
Johan memilih mengalah, karena kuatir, tante Susilawati
membatalkan kesediaannya memberi bayaran lebih. Johan tak ingin
permintaannya yang telah disanggupi malah lantas diingkari, karena
setelah berhasil memberi kepuasan di ranjang, dinilai gagal memberi
kepuasan diluar ranjang
Hal itu, yang memaksa Johan berkata tidak jujur, Mestinya, yang ia
bilang seperti ini.
“ Saya, kan, sudah kehabisan energi karena semua stock yang
ada, sudah saya salurkan untuk memba kar hasrat tante. Masa’ mau
ngopi dan sarapan agar dapat mengembalikan energi yang hilang, harus
minta. Mestinya, kan, seperti biasa, sudah tersedia. Urusan tante
yang meminta kepada pelayan villa “
“ Ingat, yaa, Johan. Lain kali, silahkan becanda. Tapi, jangan
ketika saya sedang kesal. Kalau kamu tidak suka saya ingatkan,
sekarang juga, kamu saya persilahkan pergi dari villa saya. Toh, saya
tidak pernah sulit mencari pengganti kamu. Kapan saja saya perlu
gigolo, hanya ting gal menelpon, dan yang jauh lebih hebat dari kamu
bisa saya dapatkan “
“ Sorri, tante. Saya tidak tau kalau tante sedang kesal. Saya
sungguh-sungguh minta maaf, tante “
Johan yang jadi kuatir kalau “honornya” tidak dibayar, ingat
kedua anaknya yang perlu biaya sekolah. Ingat isterinya yang kerap
didatangi tetangga untuk menagih hutang, dan ingat tukang kredit
barang yang juga datang untuk tujuan yang sama : menagih cicilan
barang yang diambil isterinya, dengan atau tanpa sepengetahuannya
Meski begitu, Johan tak kehilangan pikir. Ia segera bangkit dari
kursi.. Mendekat. Menatap tante Susi lawati yang bibir seksinya masih
cemberut. Tangan kanan Johan meraih pinggang Susilawati. Tangan
kirinya menyi bak daster tipis yang membalut tubuh tante Susi.
Menyentuh sela-sela strategis kakinya. Dan usapan tangan Johan terus
bergerak liar.
Susilawati terdiam. Matanya terpejam. Johan merapatkan bibirnya ke
leher Susilawati yang jenjang.
“ Johan…kamu jangan nakal. Saya nggak kuat,”
Emosi Susilawati, mendadak luluh.
Bersambung
…..........