MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
LIMA
Saking senangnya, Mbok
Sinem jadi terharu. Bagaimana tidak, jika melaksanakan tugas yang
begitu ringan saja , dibayar kontan dengan tujuh lembar ratusan ribu.
Malah Bondan berjanji akan menggenapkannya jadi sejuta.
Bondan begitu
sulit melupakan hari itu. Hari yang menurutnya sangat bersejarah.
Hari di mana ia jadi bisa menilai, siapa dan bagaimana
rekan-rekannya. Kalau saja ia tidak mengalami, Bondan yakin, suatu
saat dirinya bisa celaka. Jika Bondan tak punya tekad yang kuat untuk
mengubah kebiasaan buruknya dengan sengaja melupakan kawan-kawan
yang selama ini dianggap kawan--tapi sebenarnya bukan kawan, boleh
jadi, Bondan masih berada dan tetap bersama Marbun dan teman Bondan
lainnya.
Di lintas
kehidupan yang sepanjang malam kelayapan, mabuk mabukan, menikmati
kehangatan memeluk dan dipeluk para abg dan tak kenal berhenti
menyeruak malam, ternyata hanya geliat tak terkendali dari jiwa yang
kekeringan perhatian dan kasih sayang.
Toh, ujungnya tetap
hampa. Tetap tak mendapatkan apapun, selain lelah dan lelah.
Kalau pun ada nikmat,
hampa manfaat. Kalau pun ada kepuasaan, hanya seketika dan yang
kemudian kembali dirasakan tak lebih dari hampa. Sama sekali tak
bermakna. Buahnya bukan kebahagiaan hakiki. Tapi kebahagiaan semu.
Kebahagiaan yang di dalamnya sama sekali tak melekat hakekat.
Ujungnya, sia sia.
Kesia-siaan yang jika
berulang dan terus berulang dan tanpa berusaha menghalang, ketika
semakin meluas boleh jadi hanya membuat diri terhempas.
Bondan tak cuma ingin
menjauhi kebiasaan buruknya. Bondan yakin, dirinya bisa melupakan
semua yang pernah disentuh dan dirasakan. Bondan tak ingin sampai ke
titik sesal tak berguna. Kalau akhirnya ia merasa menyesal, karena
dirinya merasa masih sangat berguna. Bukan berarti Bondan merasa
telah benar-benar berhasil menyelesaikan masalahnya.
Ia baru bisa
membebaskan diri dari ruang pergaulan yang sama sekali tak tertata.
Belum bebas dari berbagai ruang yang siap mencengkram siapa saja
termasuk dirinya
Bondan sadar,
masalah yang dihadapinya sangat berat. Lebih berat dari para pejuang
Pa lestina, yang kalau pun mereka harus berperang, sangat mengerti
dan paham untuk apa mengorbankan harta dan nyawa. Lebih berat dari
beban yang dipikul oleh Presiden dan para menterinya, yang kalau pun
menyatakan siap berjuang untuk mensejahhterakan rakyat, dan bukan
untuk mensejahterakan kelompok dan pribadinya.
Berjuang agar mengenal
dan memahami diri sendiri, suangguh jauh lebih berat dari perang itu
sendiri. Sebab, perang di medan lagi tahu siapa musuh dan apa target
yang akan dicapai. Sedangkan Bondan, sama sekali belum paham siapa
musuh yang sebenarnya dan bagaimana cara dirinya memenangkan
pertarungan
“ Tuhan…jika
hamba tak sanggup mengubah prilaku buruk, hamba serahkan dan hamba
pasrahkan segalanya hanya kepadaMu. Jika hamba sanggup, berikanlah
kemudahan agar hamba selalu bisa melihat jalan kebaikan itu semakin
terang benderang. Sehingga, langkah hamba hanya mengarah ke jalanMU.
Hamba ingin berubah. Tuhanku…Beri hamba kemamuan yang penuh dan
menyeluruh“
Bondan mulai ingat
manusia hidup harus gemar berdo’a.
Harus membasuh
tubuhnya dengan air wudhu
Seberat apapun
harus membangun kebiasaan bersujud dengan ikhlas dan rasa syukur yang
mendalam, karena seorang hamba seperti dirinya punya kewajiban yang
sama, menyembah dan mengesakan Sang Pincipta Siiang dan Malam.
Memang terasa berat
saat mulai berusaha mensucikan tubuh dengan air wudhu dan mensucikan
hati dengan ruku' dan sujud, dan bacaan shalat yang telah sekian
lama malah ditinggalkan. Dan ketika hasrat berserah diri kepada Sang
pencipta mulai kembali dilakukan, Bondan berusaha menghimpun
kemampuan agar keinginan yang mulai dirindukan bisa dilaksanakan.
Bondan yakin, jika sudah bisa mengawali yang selama ini dirasakan
sulit, ia akan terbiasa. Bondan mulai merasakan air matanya
berjatuhan. Linangan air mata yang mengucur dengan sendirinya dari
kedua pelupuk mata, seperti magnit. Kekuatan dan daya sedotnya yang
sedemikian tinggi, seperti mengajak Bondan mengingat semua yang telah
dilakukan.
Di saat saat
seperti itu, Bondan mulai merasakan, betapa banyak manfaat yang
didapat ketika dirinya mengingat masa lalu, masa dimana dirinya
hanya larut dalam lakon indah yang menjebaknya. Masa di mana
kebodohan demi kebodohan dilaluinya karena hawa nafsu yang
sedemikian kuat memperdaya, membuat dirnya tak mampu mengingat apa
yang lebih pantas dan lebih layak diingat.
Dalam kondisi
seperti itu, Bondan malah menganggap lebih penting mengingat apa
yang patut dan layak dia ingat dan dia kehendaki, seperti yang
dikehendaki geliat hawa nafsu yang hanya mengajaknya mengejar
kepuasan demi kepuasan yang sesungguhnya tak hanya seketika. Tapi
juga abstrud. Begitu mudahnya Bondan terbawa dan kalau saja ia tak
kuasa mendeteksi dengan apa yang terjadi, ia mungkin akan hanyut dan
akhirnya tenggelam. Tak seorang pun yang peduli untuk menyeamatan.
Mengingat semua yang
masih terlihat jelas di pelupuk mata, Bondan tak sanggup menepis
rasa bersalah yang terbit seketika. Terbaca jelas, karena bak bak
berita di koran atau majalah, menguraikan aneka peristiwa. Bondan
membacanya dengan begitu seksama
Bondan sesenggukan
sendirian, di kamarnya yang mulai terhampar sajadah. Di kamar pribadi
Bondan yang sekian lama tak menggema doa, mulai terdengar lantun doa
saat Bondan bersujud dan setelah Bondan menutup shalatnya dengan
salam.
Bersambung.....