Showing posts with label Fiksi006. Show all posts
Showing posts with label Fiksi006. Show all posts

Sunday, April 28, 2013

CERBUNG (6)


MASIH ADA JALAN 
oleh : Oesman Doblank


ENAM


Yang juga dirasakan Bondan di balik sesalnya yang mendalam, setitik ketenangan dan rasa tentram. Selama ini rasa seperti itu malah menjauh.
Hal baru yang belakangan dirasakan, membuatnya terharu. Membuatnya bertekad  menguatkan dirinya untuk menjadi Bondan yang Bondan, yang beda dengan Bondan di masa silam
Langkah yang semula dipacu hawa nafsu, akan kembali dipacu. Namun, arahnya tidak lagi rancu, tapi fokus dan diarahkan ke satu titik – menjinakkan hawa nafsu. Bondan yakin, langkah barunya menciptakan sesuatu yang dirindu, di mana ketenangan senantiasa melambai dan mengurai arti penting ketentraman bagi siapapaun yang menginginkan.
Bondan bersyukur, lantaran selama masa labil, Bondan tak pernah bersentuhan dengan obat-obat terlarang. Ia tidak menyentuh opium, sabu, ganja, ekstasy atau jenis obat terlarang lainnya. Kalau saja Bondan sempat kepincut dan kerap bersentuhan dengan dunia sakaw yang melemahkan tubuh dan memporak-porandakan pikiran, Bondan yakin, kesadarannya justeru menghilang. Betapa sulitnya membebaskan diri dari pengaruh obat terlarang ketika tubuh dan pikiran sudah rapuh oleh narkoba yang daya rusaknya lebih dahsyat dari perusak lainnya
Bondan bersyukur karena dirinya merasa, Tuhan Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, memberinya hidayah dan karunia. Jika kemudian Bondan berjanji, akan menjadikan yang serasa diperolehnya menjadi hikmah, apa yang terkandung di dalam hidayah dan karunia - yang entah benar atau tidak telah diperolehnya-namun diyakininya, Bondan bertekad untuk mengkonkritkan janjinya
Yang pasti, Bondan sudah sangat ingin menjadi Bondan yang bukan dirinya di masa lalu. Bondan yang tak lagi menyeruak malam dengan kesewenang wenangan jiwanya yang tak terkendali ketika hawa nafsunya menzolimi
Bagaimana caranya, memang tidak semudah mengurai kata.
Namun, Bondan yakin, jika dirinya bisa melihat dengan begitu jelas betapa banyak jalan menuju keterpurukan, Tuhan akan memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Di dalamnya juga banyak petunjuk yang membuat hati siapapun jadi sejuk. Tak membuat siapapun berkehendak merajuk kecuali ingin kembali terpuruk. Tekad Bondan yang tak ingin kembali terpuruk, sudah barang tentu hanya akan mengkonkritkan yang terbaik dan mengeyahkan yang buruk.
Bagaimana kebangkitan kesadaran menjadi cahaya yang senantiasa menghidupkan hidup seorang anak muda yang kepingin berubah, memang sulit diterjemahkan. Sebab, untuk mulai kesana, jika tak ada niat, malah jadi beban berat. Terlebih, cukup lama Bondan tak menjadikan rumahnya sebagai istana. Rumah mewah yang hanya berpenghuni Bondan dan mbok Sinem, tak pernah menjadi rumahku istanaku.
Tapi ketika sudah mulai melaksanakan, dan keinginan kuat membangun langkah baru dijadikan dasar, boleh jadi, kesulitan justeru menepi dengan sendirinya. Jika kemudian terbiasa dan kebiasaan berbuat baik semakin dibudayakan, tentu akan membuat Bondan beda. Bukan lagi Bondan di masa lalu. Tapi Bondan yang sudah menjadi Bondan dengan segala perubahannya
Apa yang harus diperjuangkan Bondanm, memang berat. Untuk itulah, setiap hari Bondan pasti menyisihkan waktu untuk menyendiri dan di kamarnya Bondan tak memikirkan bagaimana asyiknya menyeruak malam. Tapi, Bondan terus merenung dan merenung
“Sanggupkah aku melangkah ke hari esok dan selamat dalam perjalanan?”
Bondon menatap wajahnya. Dia tersenyum. Lalu merapatkan wajahnya ke cermin
.
ooooooooooooo

“Saya bukan tak ingin terus menerus jadi pemabuk mbok. Sebab, ketika mabuk, pasti ada yang saya dapatkan. Hanya, tidak seperti yang saya harapkan. Bukan tak pernah bahagia. Tapi selalu hanya sesaat. Setelah itu, mabuk lagi, begadang lagi, nguber abg lagi. Nggak ada habis-habisnya. Hanya dari itu ke itu. Saya jadi seperti manusia yang tidak punya tujuan hidup, mbok. Makanya, tolong do’akan saya,ya, mbok. “
“ Si mbok pasti mendoakan, den, “ sahut Mbok Sinem yang malah merasa dibelenggu perasaan haru. “ Dan, “ lanjut mbok Sinem yang tanpa sadar, malah sesenggukan
“Tentu saja si mbok bersyukur, den, apalagi den Bondan sudah mulai berjuang, artinya den Bondan sayang pada diri aden sendiri. Sayang pada keluarga dan …...” mbok Sinem tak mampu melanjutkan kalimatnya. Karena saat itu mbok Sinem menangis, sesenggukan
“ Huhuhuhuhu …. “
Bondan tak jadi mereguk kopinya. Bukan merasa terganggu oleh sesenggukan si mbok. Ia hanya merasakan sesuatu yang ujudnya bukan gangguan. Ia tak bisa menyebutkan. Hanya, sama sekali tak mengira, jika mbok Sinem yang lugu, yang hanya bersatatus pembantu, yang kerap ia suruh membohongi kedua orangtuanya, justeru paham apa yang sebenarnya dibutuhkan Bondan.
Bondan bangkit dari kursinya. Menghampiri mbok Si nem. Tanpa ragu, tanpa jengah dan tanpa merasa posisinya berbeda, Bondan memeluk mbok Sinem
“ Mbok nggak boleh nangis. Menangis itu cengeng Saya paling nggak suka, lho, melihat air mata yang tumpah karena kecengengan,” ujar Bondan.
Kalimat yang mengalir dari bibir Bondan sangat beda dengan suara hatinya. Yang terucap di bibir hanya untuk membujuk agar mbok Sinem malah menangis. Apalagi samai sesenggukan. Sedangkan suara yang bergemuruh di batinnya adalah kejujuran. Suara yang sama sekali tak pernah terucap dari bibir Bondan, memang tak terdengar mbok Sinem.
Bondan tak kuat menahan air mata yang mengalir dengan begitu saja. Menetes dan jatuh di kedua pipinya. Bondan juga tak bisa menahan rasa haru yang membelai dirinya. Keharuan yang indah. Baru kali ini ia menikmatinya. Bukan karena ayah-ibunya. Tapi, karena tulusnya perhatian mbok Sinem. Bondan membiarkan dirinya ikut menangis, sesenggukan
“ Si mbok bukan cengeng, den. Tapi, jangan larang si mbok menangis, jika aden sendiri, malah ikut-ikutan si mbok menangis. Dan, kalau perempuan tak boleh cengeng, lelaki lebih tak boleh cengeng, den. Karena memang tak pantas, lelaki menangis “
“Saya tidak sedang menangis, mbok. Saya hanya meniru sesenggukan mbok, Soalnya, selama ini, saya tidak pernah memberi perhatian pada si mbok. Kalaupun suka kasih bonus hanya karena si mbok bersedia cipoain ayah dan ibu saya. Sedangkan si mbok tak sekedar melaksanakan intruksi saya, tapi juga sayang sama saya. Selalu memperhatikan saya “
“Si mbok juga hanya menggoda den Bondan karena semula malah menyangka den Bondan tidak bakal mau berubah“
Lantas sang pembantu menatap dalam dalam putra majikannya. Kemudian si mbok mempererat pelukannya. Tanpa kikuk tanpa jengah. Malah si mbok merasa seperti memeluk anak kandungnya. Padahal, Bondan anak majikannya.
“ Ternyata…” ujar si mbok kemudian “ Oooh Tuhan, den Bondan tak lagi seperti kemarin-kemarin. Mbok bangga, den. Senang karena aden bisa”.
Bondan membiarkan si mbok Sinem memeluk dirinya begitu erat. Membiarkan si mbok tetap sesenggukan. Tapi, Bondan tak ingin larut dalam keharuan. Meski Bondan membiarkan mbok Sinem menangis, dia tak ingin membiarkan dirinya terus dan kian larut dalam tangis
Seketika ia merasakan, pelukan erat dan tulus si mbok Sinem,mengalirkan sesuatu yang dia tak tahu apa, tapi membuatnya merasa tentram. Ada degup dalam diri mbok Sinem, dan degup yang bunyi detaknya terasa cepat, membuat Bondan terkesiap.
“ Aaah, kalau saja ia ibuku dan selalu memeluk seperti ini, betapa indahnya hari-hari yang telah dan akan kulalui. Tuhan dimana dan mengapa ibuku ada tapi tak pernah membuka aliran kasih sayangnya ” Batin Bondan bergemuruh.
Tanda tanya berhamburan. Tapi tak ada jawaban
Tiba-tiba, Bondan jadi mendadak rindu pada ibu. Ibu yang tak pernah berbincang, tak pernah membangunkan, tak pernah marah atau menasihatinya. Tapi, rindu yang bergemuruh di dada pada ibunda, lupa pada apa yang tak pernah diberikan pada dirinya.
Bondan hanya melihat ada senyum ibunya yang indah. Senyum tulus untuk Bondan, yang memang sangat ingin menikmatinya. Bersamaan dengan itu, Bondan juga menikmati indahnya pelukan erat ibu, yang menghangatkan. Kalau saja kerinduan yang tiba-tiba menelisik ke hati Bondan, jadi kenyataan, barangkali ia akan bertambah kuat.
Aah, mengapa yang kini ia rasakan hanya sebatas pelukan hangat si mbok, bukan pelukan ibunya. Mengapa degup yang menenangkan, mengalir dari tubuh si mbok, bukan dari ibunya.
Bondan jadi kepingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Ibu Susilawati, yang selama sembilan bulan mengandung.Yang saat melahirkan Bondan berjuang antara hidup dan mati, demi buah hati yang sesungguhnya pasti dicintai..
Dimanakah ibu, dan mengapa ia membiarkan saya sendirian di rumah besar dan mewah, tanpa tatapan mata indahnya yang sebening air pegunungan, tanpa peluk mesranya yang menghangatkan, tanpa wejangan mulianya yang menyejukkan.
“ Ibuuuuuu “
Teriakan Bondan, mengejutkan mbok Sinem yang sedang mengisi botol bekas sirup yang dilapisi handuk dengan air panas dari kran air. Mbok Sinem segera mematikan kran, dan dengan cemas ia ke luar dari kamar mandi. Menghampiri Bondan yang tadi tertidur sudah terduduk di ranjangnya dengan nafas tersengal-sengal.
“ Aden kenapa ?”
“ Saya kepingin ketemu, ibu, mbok ?”
Mendengar jawaban Bondan, si mbok Sinem bingung. Tak tahu bagaimana cara memenuhi keinginan Bondan, yang selama ini memang sudah sangat jarang bertemu ibunya. Namun, si mbok tak ingin putra majikannya makin sedih.
“ Yaa, nanti si Mbok pasti berusaha lagi. Mudah-mudahan, ibu aden mau menerima pnggilan si mbok, seperti biasanya. Sekarang, aden tidur lagi aja. Istirahat dan biar si mbok kompresin aden dengan air panas “


Bersambung......