Showing posts with label Fiksi001. Show all posts
Showing posts with label Fiksi001. Show all posts

Sunday, April 28, 2013

CERBUNG (2)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

DUA

 

         Kan, lebih bego dari Gayus Tambunan. Lebih tolol dari oknum polisi, oknum jaksa, dan oknum hakim yang bersekongkol dengan Gayus. Demi uang dan angan-angan mewujudkan impian hidup mewah, malah rela menggadaikan harga diri. Akhirnya, harus menanggung malu, Kehilangan reputasi dan kehilangan harga diri. Isteri dan anak-anaknya, boleh jadi dirundung malu.

       Mulanya, Bondan yang berulang kali mengaca hanya melihat wajah gantengnya. Tapi akhir nya, Bondan mulai melihat satu demi satu keburukan dirinya. Bahkan, Bondan semakin mampu mengurai, keburukan-keburukannya. Satu demi satu, keburukan pribadi, seperti menjelaskan pada dirinya sendiri.
       “ Jika yang kamu tanam bibit kebaikan, yang lahir dari perbuatan kamu bukan aku, sang keburukan. Tapi musuhku, sang kebaikan. Dan, yang kelak akan kamu tuai bukan aku, tapi sang kebaikan “
        Bondan ternganga.
       Sadar, selama ini, ia keliru. Salah jalan. Saat itu, kekeliruan, sengaja atau tanpa rencana, me mang dirasa nikmat dan memuaskan. Membuat nya terlena. Terbuai. Tiap kali dikonkritkan, me mang hanya nikmat dan kepuasan yang saat itu didapat dan dirasakan.
     Hanya, semuanya seketika. Sekejap mata Setelah itu, dirinya kembali terperangkap dalam jeratan hawa nafsu, dalam sunyi yang terasa sedemikian panjang. Sunyi yang membuatnya malah tak mampu mengandalikan diri. Dan, ia pun seperti terperangkap di ruang gelap yang paling pengap. Terjebak dalam sepi yang meresahkan. Dalam resah yang paling menggelisahkan. Membuatnya jemu dan kerap terseret ke dalam arus yang penuh tanda tanya. Arus yang tak lagi diketahui, di mana ujung dan dimana pangkalnya
      Tentu saja semua itu, tak pernah menentram kan jiwanya. Tak pernah mendatangkan ketena ngan batin. Di balik nikmat dan kepuasan yang direguk Bondan, tak ada apapun kecuali seonggok jiwa yang hampa dalam gulana. Kering ke rontang dilanda nestapa.
Jiwa yang tak pernah dibasahi oleh perha tian, kasih sayang dan cinta. Jiwa yang hanya di hidupkan, dan digerakkan oleh materi, membuat Bondan tak mampu menjadi seseorang yang berjiwa atau berhati. Jiwanya malah selalu lunglai dalam belai kemewahan. Hatinya cenderung rapuh, oleh materi yang berlebihan.
       Apa yang harus kulakukan agar jiwa tent ram, batin tenang tapi aku tetap leluasa mereguk nikmat yang memuaskan, dan buahnya adalah kebahagiaan yang hakiki seperti yang kumaui?
Bondan nyaris senewen.Tiap kali bergulat dan bergelut dengan batinnya, ia merasa tersiksa. Tersiksa karena betapa sulitnya meninggalkan kebiasaan buruknya. Begitu mudah ia melakukan Tapi, begitu sulitnya, saat ingin meninggalkan. Apakah karena aku tak biasa berbuat baik, lalu kekuatan buruk dalam diri ini malah mampu memelorotkan hasrat berbuat baik?
       Bondan tak tahu harus bicara dan bertanya pada siapa. Ibunya, entah di mana. Sejak rahasia ayahnya terkuak, ibunya memang tak minta cerai. Tapi, juga menolak ketika ayahnya bersedia dan siap menceraikan.
Ibunya memilih tetap terikat dalam tali perkawinan, dan tinggal bersama Bondan. Tapi, bukan untuk mengurus Bondan. Saat itu, Bondan hanya dimanfaatkan agar kebutuhan hidup ibu nya yang memang materialistis, selalu dan tetap terpenuhi
       Status orangtuanya memang tetap sebagai suami-isteri. Secara fisik, mereka tidak bercerai. Tapi batin, mereka sudah terpisah. Sejak lama. Sesekali, ayahnya memang datang. Setelah berte mu sesaat dengan Bondan, usai mensuplai uang, bergegas pulang, hilang. Ayahnya, seperti tak pe duli, bagaimana Bondan tumbuh dan berkembang.
        Malah, ketika ayahnya tahu, ibunya bermesraan dengan lelaki lain, pak Sadewa tidak marah. Ayahnya juga hanya tersenyum, saat tak lama berselang, ia mengetahui isterinya sudah jarang pulang. Pak Sadewa hanya berpesan, agar mbok Sinem merawat Bondan dengan baik, benar dan dengan segenap ketulusan. Ayahnya beralasan, ia tak mungkin bisa mengajak Bondan tinggal ber sama di rumah salah satu dari dua orang isteri lainnya
        Meski begitu, ayahnya tetap memenuhi berbagai kebutuhan Bondan dan ibunya. Tapi, ayahnya sama sekali tak mempersoalkan, di mana sebenarnya ibu Bondan, apa yang dilakukan dan siapa lelaki yang mendampinginya.
        Tapi, akhirnya Bondan tahu, mengapa ayahnya, malah menikah dengan dua perempuan lain. Menurut mbok Sinem, saat ekonomi ayahnya masih morat-marit, ibunya lebih sering menjerit. Kerap kecewa, marah, dan tak henti-hentinya mengecilkan dan menyudutkan suaminya. Ayah Bondan yang hanya sanggup membelai isterinya dengan kemiskinan, tak pernah dihargai terlebih dihormati
      Ibunya sering memaki, mencibir, mengecilkan.menghina dan menyebut ayahnya sebagai lelaki yang hanya mampu memberi kepuasan batiniah. Sama sekali tak sanggup memenuhi ke puasaan lahiriah, yang juga sangat didambakan dan diinginkan ibunya. Jika saat seperti itu Bondan belum lahir, mungkin sudah lama mereka bercerai.
        Itu sebabnya ayahnya menikah dengan pe rempuan lain. Hanya, si mbok Sinem sama sekali tak mengerti, mengapa sampai menikah dengan dua perempuan. Jika hanya dengan satu perempuan, mungkin karena ingin ada yang mengurus, merawat, menyayangi, memperhatikan dan masih punya tempat yang nyaman untuk saling berbagi. Saling menautkan mimpi
      Ingin dipijat isteri karena capek atau lelah usai mencari nafkah. Ingin dimanja. Ingin tenang dan damai bersama isteri yang mencintainya. Keinginan seperti itu, selama bersama ibu Bondan hanya jadi angan. Hanya menjadi keinginan yang mau tidak mau lebih baik dipendam tim bang diungkapkan.
       Hal seperti diimpikan oleh siapapun lelaki yang sudah jadi seorang suami, cuma jadi kerinduan yang paling nisbi. Saat ayahnya masih dalam kemiskinan, ibu Bondan, tak pernah mau mengurus – terlebih memperhatikan dan mamahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan suaminya
     Tak mungkin mencurahkan kegelisahan jiwa, pada Ibu yang tak mengurus dan tak bersahabat dengan putranya. Juga tak mungkin berkeluh kesah pada ayah, yang datang hanya sesekali, dan kunjungannya yang hanya sesaat, sebatas memenuhi kewajiban, memberi uang.
     Bondan bukan tak pernah mengungkap, menyoal atau menggugat. Hasilnya? Ia malah memi lih droup out di akhir semester lima
Ratih, wanita yang dicintainya, lebih rela meninggalkan dirinya. Ratih, memilih menikah dengan pria mapan. Memang ia mengaku tak mencintai pria itu. Tapi ia tahu dan melihat ke nyataan, pria mapan pilihannya, lebih punya masa depan.    
      Prilakunya, tak seperti Bondan, yang makin lama -- dengan alasan kecewa pada orang tua, bukan memperbaiki dan jadi lebih baik tapi malah makin berantakan
     Makin akrab dengan minuman keras. Dekat dengan wanita yang kemesraan dan dekapan ha ngatnya hanya sebatas untuk uang. Bukan untuk hatinya yang kering kerontang. Juga bukan untuk hal lain, yang paling didambakan. Di setiap dekapan mereka, Bondan hanya merasakan nikmat dan kepuasan sesaat.         Bondan tak pernah merasakan ketentraman paling nyata. Semua benar-benar hanya sesaat. Setelah itu, lenyap.
Bondan memang telah keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan. Karena ia merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya dicekoki materi dan berbagai fasilitas. Ia memang leluasa melakukan apa pun yang diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan kepuasan, setiap kali itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga di jiwanya. Setelahnya, melihat kenyataan yang di da lamnya hanya ada sepi. Kesunyian yang mengoyak-ngoyak hati
Jika saat ini ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa memang sangat berharap agar Bondan kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak Sadewa, sangat mendukung
Bondan bukan tak pernah menggugat.
Hasilnya? Hanya tanda tanya tanpa jawab.
Menjenuhkan .
Membuatnya frustrasi
Bondan malah terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak terkendali. Meski masih bisa tersenyum manis tapi nasibnya begitu miris

Bersambung.......