MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
DUA
Kan, lebih bego dari
Gayus Tambunan. Lebih tolol dari oknum polisi, oknum jaksa, dan oknum
hakim yang bersekongkol dengan Gayus. Demi uang dan angan-angan
mewujudkan impian hidup mewah, malah rela menggadaikan harga diri.
Akhirnya, harus menanggung malu, Kehilangan reputasi dan kehilangan harga
diri. Isteri dan anak-anaknya, boleh jadi dirundung malu.
Mulanya, Bondan
yang berulang kali mengaca hanya melihat wajah gantengnya. Tapi akhir
nya, Bondan mulai melihat satu demi satu keburukan dirinya. Bahkan,
Bondan semakin mampu mengurai, keburukan-keburukannya. Satu demi
satu, keburukan pribadi, seperti menjelaskan pada dirinya sendiri.
“ Jika yang kamu
tanam bibit kebaikan, yang lahir dari perbuatan kamu bukan aku, sang
keburukan. Tapi musuhku, sang kebaikan. Dan, yang kelak akan kamu
tuai bukan aku, tapi sang kebaikan “
Bondan
ternganga.
Sadar, selama ini,
ia keliru. Salah jalan. Saat itu, kekeliruan, sengaja atau tanpa
rencana, me mang dirasa nikmat dan memuaskan. Membuat nya terlena.
Terbuai. Tiap kali dikonkritkan, me mang hanya nikmat dan kepuasan
yang saat itu didapat dan dirasakan.
Hanya, semuanya
seketika. Sekejap mata Setelah itu, dirinya kembali terperangkap
dalam jeratan hawa nafsu, dalam sunyi yang terasa sedemikian
panjang. Sunyi yang membuatnya malah tak mampu mengandalikan diri.
Dan, ia pun seperti terperangkap di ruang gelap yang paling pengap.
Terjebak dalam sepi yang meresahkan. Dalam resah yang paling
menggelisahkan. Membuatnya jemu dan kerap terseret ke dalam arus yang
penuh tanda tanya. Arus yang tak lagi diketahui, di mana ujung dan
dimana pangkalnya
Tentu saja semua
itu, tak pernah menentram kan jiwanya. Tak pernah mendatangkan ketena
ngan batin. Di balik nikmat dan kepuasan yang direguk Bondan, tak ada
apapun kecuali seonggok jiwa yang hampa dalam gulana. Kering ke
rontang dilanda nestapa.
Jiwa yang tak
pernah dibasahi oleh perha tian, kasih sayang dan cinta. Jiwa yang
hanya di hidupkan, dan digerakkan oleh materi, membuat Bondan tak
mampu menjadi seseorang yang berjiwa atau berhati. Jiwanya malah
selalu lunglai dalam belai kemewahan. Hatinya cenderung rapuh, oleh
materi yang berlebihan.
Apa yang harus
kulakukan agar jiwa tent ram, batin tenang tapi aku tetap leluasa
mereguk nikmat yang memuaskan, dan buahnya adalah kebahagiaan yang
hakiki seperti yang kumaui?
Bondan nyaris
senewen.Tiap kali bergulat dan bergelut dengan batinnya, ia merasa
tersiksa. Tersiksa karena betapa sulitnya meninggalkan kebiasaan
buruknya. Begitu mudah ia melakukan Tapi, begitu sulitnya, saat ingin
meninggalkan. Apakah karena aku tak biasa berbuat baik, lalu kekuatan
buruk dalam diri ini malah mampu memelorotkan hasrat berbuat baik?
Bondan tak tahu
harus bicara dan bertanya pada siapa. Ibunya, entah di mana. Sejak
rahasia ayahnya terkuak, ibunya memang tak minta cerai. Tapi, juga
menolak ketika ayahnya bersedia dan siap menceraikan.
Ibunya memilih
tetap terikat dalam tali perkawinan, dan tinggal bersama Bondan.
Tapi, bukan untuk mengurus Bondan. Saat itu, Bondan hanya
dimanfaatkan agar kebutuhan hidup ibu nya yang memang materialistis,
selalu dan tetap terpenuhi
Status
orangtuanya memang tetap sebagai suami-isteri. Secara fisik, mereka
tidak bercerai. Tapi batin, mereka sudah terpisah. Sejak lama.
Sesekali, ayahnya memang datang. Setelah berte mu sesaat dengan
Bondan, usai mensuplai uang, bergegas pulang, hilang. Ayahnya,
seperti tak pe duli, bagaimana Bondan tumbuh dan berkembang.
Malah, ketika
ayahnya tahu, ibunya bermesraan dengan lelaki lain, pak Sadewa tidak
marah. Ayahnya juga hanya tersenyum, saat tak lama berselang, ia
mengetahui isterinya sudah jarang pulang. Pak Sadewa hanya berpesan,
agar mbok Sinem merawat Bondan dengan baik, benar dan dengan segenap
ketulusan. Ayahnya beralasan, ia tak mungkin bisa mengajak Bondan
tinggal ber sama di rumah salah satu dari dua orang isteri lainnya
Meski begitu,
ayahnya tetap memenuhi berbagai kebutuhan Bondan dan ibunya. Tapi,
ayahnya sama sekali tak mempersoalkan, di mana sebenarnya ibu
Bondan, apa yang dilakukan dan siapa lelaki yang mendampinginya.
Tapi, akhirnya
Bondan tahu, mengapa ayahnya, malah menikah dengan dua perempuan
lain. Menurut mbok Sinem, saat ekonomi ayahnya masih morat-marit,
ibunya lebih sering menjerit. Kerap kecewa, marah, dan tak
henti-hentinya mengecilkan dan menyudutkan suaminya. Ayah Bondan yang
hanya sanggup membelai isterinya dengan kemiskinan, tak pernah
dihargai terlebih dihormati
Ibunya sering
memaki, mencibir, mengecilkan.menghina dan menyebut ayahnya sebagai
lelaki yang hanya mampu memberi kepuasan batiniah. Sama sekali tak
sanggup memenuhi ke puasaan lahiriah, yang juga sangat didambakan dan
diinginkan ibunya. Jika saat seperti itu Bondan belum lahir, mungkin
sudah lama mereka bercerai.
Itu sebabnya
ayahnya menikah dengan pe rempuan lain. Hanya, si mbok Sinem sama
sekali tak mengerti, mengapa sampai menikah dengan dua perempuan.
Jika hanya dengan satu perempuan, mungkin karena ingin ada yang
mengurus, merawat, menyayangi, memperhatikan dan masih punya tempat
yang nyaman untuk saling berbagi. Saling menautkan mimpi
Ingin dipijat
isteri karena capek atau lelah usai mencari nafkah. Ingin dimanja.
Ingin tenang dan damai bersama isteri yang mencintainya. Keinginan
seperti itu, selama bersama ibu Bondan hanya jadi angan. Hanya
menjadi keinginan yang mau tidak mau lebih baik dipendam tim bang
diungkapkan.
Hal seperti diimpikan
oleh siapapun lelaki yang sudah jadi seorang suami, cuma jadi
kerinduan yang paling nisbi. Saat ayahnya masih dalam kemiskinan,
ibu Bondan, tak pernah mau mengurus – terlebih memperhatikan dan
mamahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan suaminya
Tak mungkin
mencurahkan kegelisahan jiwa, pada Ibu yang tak mengurus dan tak
bersahabat dengan putranya. Juga tak mungkin berkeluh kesah pada
ayah, yang datang hanya sesekali, dan kunjungannya yang hanya sesaat,
sebatas memenuhi kewajiban, memberi uang.
Bondan bukan tak
pernah mengungkap, menyoal atau menggugat. Hasilnya? Ia malah memi
lih droup out di akhir semester lima
Ratih, wanita
yang dicintainya, lebih rela meninggalkan dirinya. Ratih, memilih
menikah dengan pria mapan. Memang ia mengaku tak mencintai pria itu.
Tapi ia tahu dan melihat ke nyataan, pria mapan pilihannya, lebih
punya masa depan.
Prilakunya, tak seperti Bondan, yang makin lama --
dengan alasan kecewa pada orang tua, bukan memperbaiki dan jadi lebih
baik tapi malah makin berantakan
Makin akrab
dengan minuman keras. Dekat dengan wanita yang kemesraan dan dekapan
ha ngatnya hanya sebatas untuk uang. Bukan untuk hatinya yang kering
kerontang. Juga bukan untuk hal lain, yang paling didambakan. Di
setiap dekapan mereka, Bondan hanya merasakan nikmat dan kepuasan
sesaat. Bondan tak pernah merasakan ketentraman paling nyata. Semua
benar-benar hanya sesaat. Setelah itu, lenyap.
Bondan memang
telah keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan.
Karena ia merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang,
perhatian, dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya
dicekoki materi dan berbagai fasilitas. Ia memang leluasa melakukan
apa pun yang diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan kepuasan,
setiap kali itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga di jiwanya.
Setelahnya, melihat kenyataan yang di da lamnya hanya ada sepi.
Kesunyian yang mengoyak-ngoyak hati
Jika saat ini
ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah
senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa memang sangat
berharap agar Bondan kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika
memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak
Sadewa, sangat mendukung
Bondan bukan tak
pernah menggugat.
Hasilnya? Hanya
tanda tanya tanpa jawab.
Menjenuhkan .
Membuatnya
frustrasi
Bondan malah terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak
terkendali. Meski masih bisa tersenyum manis tapi nasibnya
begitu miris
Bersambung.......
0 komentar:
Post a Comment