MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank
TUJUH
Bondan kembali berbaring. Dengan penuh perhatian dan ketulusan si mbok Sinem
menekan dan menggerak-gerakan botol – berisi air panas, yang
dilapisi handuk. ke sekujur tubuh Bondan
“
Kita harus banyak beristighfar, den. Agar hati selalu terjaga, dari
segala keburukan. Dari segala hal yang bisa membuat kita lemah “
“Iya, mbok. Terima kasih, si mbok sudah memperhati kan dan
mengingatkan saya “
Bondan sudah kembali tenang. Air panas di botol yang
sebentar-sebentar bergerak dari dada ke perut dan sebaliknya,
benar-benar menghangatkan dan membuat demamnya cepat turun. Ketulusan
mbok Sinem merawat Bondan yang tiba-tiba terserang demam, membuat
Bondan akhirnya kembali tertidur lelap.
Mbok Sinem kembali ke kamar mandi. Menuang isi botol yang sudah
dingin, lalu meletakkanya di sisi wastafel. Setelah menjembreng
handuk kecil, ia membuka kran air panas. Si mbok menaruh handuk kecil
di wastafel. Mema tikan kran. Dengan hati-hati si mbok memeras handuk
kecil yang barus saja dibasahi dengan air panas.
Si
mbok kembali ke kamar. Sejenak, ia menatap Bon dan yang sudah lelap.
Ia lalu mendekat dan meletakkan handuk hangat ke kening Bondan.
“
Duh Gusti, hanya Engkau yang sanggup melindungi dan meneguhkan
jiwanya “ guman si mbok, yang seusai mendoakan bergegas
meninggalkan Bondan.
Mbok Sinem terus berharap agar bu Susilawati mende ngar nada
panggilan dari selulernya dan menjawab pang gilan si mbok yang
mengontaknya.
“
Duh Gusti…tolong buka pintu hati ndoro Susi.
Jangan
biarkan ndoro Susi jadi tuli “
Si
mbok tidak ingin kecewa, meski telah beberapa ka li memanggil, bu
Susilawati tak juga menjawab. Si Mbok meletakkan gagang telpon dan
bergegas kembali ke ka mar Bondan. Ia menarik nafas panjang. Merasa
lega meli hat Bondan semakin lelap.
Mbok Sinem hanya bisa merasa kasihan pada Bon dan. Ia punya orangtua
tapi lebih malang dari anak-anak yatim piatu, yang malah dapat
perhatian lebih dari para pengurus panti asuhan. Ia hanya diberi
materi berlebihn ta pi tak dilengkapi dengan kasih sayang. Diberi
payung ke mewahan tapi hanya membuatnya kehausan belaian kasih dan
lapar parhatian
Kalau saja pak Sadewa dan bu Sisilawati membe rinya tablet kasih
sayang, cinta dan perhatian yang tulus dan sepenuh hati, Bondan pasti
tak harus terus menerus menahan rasa haus dan lapar terhadap cinta
kasih.
“ Duh Gusti…hanya karunia dan hidayah Engkau yang menguatkan
jiwanya. Hamba hanya bisa membantu dengan kebodohan dan
ketidak-tahuan “
Tak cuma batin mbok Sinem yang menangis. Air ma ta mbok Sinem pun
meleleh di pipi. Mbok Sinem yang berdiri di ambang pintu kamar
Bondan, hanya bisa mena tap dan kalau pun ia melihat duka nestapa di
wajah anak majikannya, tak mampu berbuat apa-apa
Dulu, mbok Sinem tak pernah merasa seperti ini. Saat Bondan hanya
bermabuk mabukan, jarang di rumah kecuali bersenang-senang dengan
cewek abg dan teman-temannya, mbok Sinem tak pernah menangis. Juga
tak pernah merasa terganggu. Toh, ia ada hanya untuk kerja. Melayani
kebutuhan majikannya
Selama ia suka dan bisa melakoninya, tak berhak menegur terlebih
menasihati. Jika tak suka dan tak sang gup menjalani, tak ada
larangan untuk pergi secepatnya dari rumah majikannya. Mau kembali ke
kampung hala man, silahkan. Pindah ke maji kan lain, monggo wae.
Mbok Sinem bebas mengambil keputusan dan melakukan
Tiba-tiba mbok Sinem terkesiap.
Ia mendengar dering pesawat telepon.
Mbok Sinem melangkah tergopoh. Bergegas me ngangkat pesawat telepon.
Susilawati, tak menampakkan kecemasan apapun. Ia malah kelihatan
marah saat bicara lewat seluluernya.
“ Ada apa, sih, nelpon saya sampai berkali kali….maaf…maaf…
Apa si mok nggak tahu kalau saya jadi sangat terganggu,” kata suara
di sebrang sana yang penuh emosi.
“ A... a..anu ndoro. Den Bondan demam dan memanggil manggil
ndoro,” Mbok Sinem mencoba menjelaskan. Namun, ia kembali mendengar
suara yang mengandung amarah
“ Aaaah, baru demam saja sudah kepingin ngerepotin saya.
Mbok, ingat ya, Bondan tuh sudah besar. Dia kan bisa pergi ke
dokter. Kalau perlu dirawat, telpon ambulan dan bawa saja ke rumah
sakit ….
Apa ? Aaaah…bilang sama dia, buat apa manggil manggil saya.
Bapaknya, kan, ada dan tiap saat bisa dihu bungi…… Dengar
baik-baik, ya mbok. Sekarang, cepat si mbok hubungi ayahnya. Bilang
sama ndoro Sadewa, anak ndoro sakit karena rindu kasih sayang
ayahnya. Selama ia sakit, yang diinginkan hanya satu, ditemani dan
dijaga oleh ayahnya…..
Awas, si mbok jangan cuma bilang iya, iya dan iya. Hubungi
secepatnya dan tolong katakan, ndoro Susilawati akan menggugat jika
dia tak mau menemani dan menjaga anaknya yang sedang sakit……
Apa ? Si mbok jangan macam-macam, yaa?! Ingat... kalau si mbok tidak
berani sampaikan permintaan saya, harus siap tanggung risikonya…..
Aaaah..sudah. Pokoknya, jangan berani berani lagi nelepon, saat
saya sedang istirahat. Dan bilang sama Bondan, jangan jadi lelaki
cengeng. Anak lelaki itu harus kuat. Kalau mau hidup harus siap
menerima kenyataan dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa…..
Naah, begitu, dong. Si mbok memang harus nger ti. Orang yang
sudah tua itu, harus lebih mengerti. ….
Yaa, sudah. Syukur kalau si mbok maklum “
Bersambung.......