Sunday, April 28, 2013

CERBUNG (6)


MASIH ADA JALAN 
oleh : Oesman Doblank


ENAM


Yang juga dirasakan Bondan di balik sesalnya yang mendalam, setitik ketenangan dan rasa tentram. Selama ini rasa seperti itu malah menjauh.
Hal baru yang belakangan dirasakan, membuatnya terharu. Membuatnya bertekad  menguatkan dirinya untuk menjadi Bondan yang Bondan, yang beda dengan Bondan di masa silam
Langkah yang semula dipacu hawa nafsu, akan kembali dipacu. Namun, arahnya tidak lagi rancu, tapi fokus dan diarahkan ke satu titik – menjinakkan hawa nafsu. Bondan yakin, langkah barunya menciptakan sesuatu yang dirindu, di mana ketenangan senantiasa melambai dan mengurai arti penting ketentraman bagi siapapaun yang menginginkan.
Bondan bersyukur, lantaran selama masa labil, Bondan tak pernah bersentuhan dengan obat-obat terlarang. Ia tidak menyentuh opium, sabu, ganja, ekstasy atau jenis obat terlarang lainnya. Kalau saja Bondan sempat kepincut dan kerap bersentuhan dengan dunia sakaw yang melemahkan tubuh dan memporak-porandakan pikiran, Bondan yakin, kesadarannya justeru menghilang. Betapa sulitnya membebaskan diri dari pengaruh obat terlarang ketika tubuh dan pikiran sudah rapuh oleh narkoba yang daya rusaknya lebih dahsyat dari perusak lainnya
Bondan bersyukur karena dirinya merasa, Tuhan Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, memberinya hidayah dan karunia. Jika kemudian Bondan berjanji, akan menjadikan yang serasa diperolehnya menjadi hikmah, apa yang terkandung di dalam hidayah dan karunia - yang entah benar atau tidak telah diperolehnya-namun diyakininya, Bondan bertekad untuk mengkonkritkan janjinya
Yang pasti, Bondan sudah sangat ingin menjadi Bondan yang bukan dirinya di masa lalu. Bondan yang tak lagi menyeruak malam dengan kesewenang wenangan jiwanya yang tak terkendali ketika hawa nafsunya menzolimi
Bagaimana caranya, memang tidak semudah mengurai kata.
Namun, Bondan yakin, jika dirinya bisa melihat dengan begitu jelas betapa banyak jalan menuju keterpurukan, Tuhan akan memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Di dalamnya juga banyak petunjuk yang membuat hati siapapun jadi sejuk. Tak membuat siapapun berkehendak merajuk kecuali ingin kembali terpuruk. Tekad Bondan yang tak ingin kembali terpuruk, sudah barang tentu hanya akan mengkonkritkan yang terbaik dan mengeyahkan yang buruk.
Bagaimana kebangkitan kesadaran menjadi cahaya yang senantiasa menghidupkan hidup seorang anak muda yang kepingin berubah, memang sulit diterjemahkan. Sebab, untuk mulai kesana, jika tak ada niat, malah jadi beban berat. Terlebih, cukup lama Bondan tak menjadikan rumahnya sebagai istana. Rumah mewah yang hanya berpenghuni Bondan dan mbok Sinem, tak pernah menjadi rumahku istanaku.
Tapi ketika sudah mulai melaksanakan, dan keinginan kuat membangun langkah baru dijadikan dasar, boleh jadi, kesulitan justeru menepi dengan sendirinya. Jika kemudian terbiasa dan kebiasaan berbuat baik semakin dibudayakan, tentu akan membuat Bondan beda. Bukan lagi Bondan di masa lalu. Tapi Bondan yang sudah menjadi Bondan dengan segala perubahannya
Apa yang harus diperjuangkan Bondanm, memang berat. Untuk itulah, setiap hari Bondan pasti menyisihkan waktu untuk menyendiri dan di kamarnya Bondan tak memikirkan bagaimana asyiknya menyeruak malam. Tapi, Bondan terus merenung dan merenung
“Sanggupkah aku melangkah ke hari esok dan selamat dalam perjalanan?”
Bondon menatap wajahnya. Dia tersenyum. Lalu merapatkan wajahnya ke cermin
.
ooooooooooooo

“Saya bukan tak ingin terus menerus jadi pemabuk mbok. Sebab, ketika mabuk, pasti ada yang saya dapatkan. Hanya, tidak seperti yang saya harapkan. Bukan tak pernah bahagia. Tapi selalu hanya sesaat. Setelah itu, mabuk lagi, begadang lagi, nguber abg lagi. Nggak ada habis-habisnya. Hanya dari itu ke itu. Saya jadi seperti manusia yang tidak punya tujuan hidup, mbok. Makanya, tolong do’akan saya,ya, mbok. “
“ Si mbok pasti mendoakan, den, “ sahut Mbok Sinem yang malah merasa dibelenggu perasaan haru. “ Dan, “ lanjut mbok Sinem yang tanpa sadar, malah sesenggukan
“Tentu saja si mbok bersyukur, den, apalagi den Bondan sudah mulai berjuang, artinya den Bondan sayang pada diri aden sendiri. Sayang pada keluarga dan …...” mbok Sinem tak mampu melanjutkan kalimatnya. Karena saat itu mbok Sinem menangis, sesenggukan
“ Huhuhuhuhu …. “
Bondan tak jadi mereguk kopinya. Bukan merasa terganggu oleh sesenggukan si mbok. Ia hanya merasakan sesuatu yang ujudnya bukan gangguan. Ia tak bisa menyebutkan. Hanya, sama sekali tak mengira, jika mbok Sinem yang lugu, yang hanya bersatatus pembantu, yang kerap ia suruh membohongi kedua orangtuanya, justeru paham apa yang sebenarnya dibutuhkan Bondan.
Bondan bangkit dari kursinya. Menghampiri mbok Si nem. Tanpa ragu, tanpa jengah dan tanpa merasa posisinya berbeda, Bondan memeluk mbok Sinem
“ Mbok nggak boleh nangis. Menangis itu cengeng Saya paling nggak suka, lho, melihat air mata yang tumpah karena kecengengan,” ujar Bondan.
Kalimat yang mengalir dari bibir Bondan sangat beda dengan suara hatinya. Yang terucap di bibir hanya untuk membujuk agar mbok Sinem malah menangis. Apalagi samai sesenggukan. Sedangkan suara yang bergemuruh di batinnya adalah kejujuran. Suara yang sama sekali tak pernah terucap dari bibir Bondan, memang tak terdengar mbok Sinem.
Bondan tak kuat menahan air mata yang mengalir dengan begitu saja. Menetes dan jatuh di kedua pipinya. Bondan juga tak bisa menahan rasa haru yang membelai dirinya. Keharuan yang indah. Baru kali ini ia menikmatinya. Bukan karena ayah-ibunya. Tapi, karena tulusnya perhatian mbok Sinem. Bondan membiarkan dirinya ikut menangis, sesenggukan
“ Si mbok bukan cengeng, den. Tapi, jangan larang si mbok menangis, jika aden sendiri, malah ikut-ikutan si mbok menangis. Dan, kalau perempuan tak boleh cengeng, lelaki lebih tak boleh cengeng, den. Karena memang tak pantas, lelaki menangis “
“Saya tidak sedang menangis, mbok. Saya hanya meniru sesenggukan mbok, Soalnya, selama ini, saya tidak pernah memberi perhatian pada si mbok. Kalaupun suka kasih bonus hanya karena si mbok bersedia cipoain ayah dan ibu saya. Sedangkan si mbok tak sekedar melaksanakan intruksi saya, tapi juga sayang sama saya. Selalu memperhatikan saya “
“Si mbok juga hanya menggoda den Bondan karena semula malah menyangka den Bondan tidak bakal mau berubah“
Lantas sang pembantu menatap dalam dalam putra majikannya. Kemudian si mbok mempererat pelukannya. Tanpa kikuk tanpa jengah. Malah si mbok merasa seperti memeluk anak kandungnya. Padahal, Bondan anak majikannya.
“ Ternyata…” ujar si mbok kemudian “ Oooh Tuhan, den Bondan tak lagi seperti kemarin-kemarin. Mbok bangga, den. Senang karena aden bisa”.
Bondan membiarkan si mbok Sinem memeluk dirinya begitu erat. Membiarkan si mbok tetap sesenggukan. Tapi, Bondan tak ingin larut dalam keharuan. Meski Bondan membiarkan mbok Sinem menangis, dia tak ingin membiarkan dirinya terus dan kian larut dalam tangis
Seketika ia merasakan, pelukan erat dan tulus si mbok Sinem,mengalirkan sesuatu yang dia tak tahu apa, tapi membuatnya merasa tentram. Ada degup dalam diri mbok Sinem, dan degup yang bunyi detaknya terasa cepat, membuat Bondan terkesiap.
“ Aaah, kalau saja ia ibuku dan selalu memeluk seperti ini, betapa indahnya hari-hari yang telah dan akan kulalui. Tuhan dimana dan mengapa ibuku ada tapi tak pernah membuka aliran kasih sayangnya ” Batin Bondan bergemuruh.
Tanda tanya berhamburan. Tapi tak ada jawaban
Tiba-tiba, Bondan jadi mendadak rindu pada ibu. Ibu yang tak pernah berbincang, tak pernah membangunkan, tak pernah marah atau menasihatinya. Tapi, rindu yang bergemuruh di dada pada ibunda, lupa pada apa yang tak pernah diberikan pada dirinya.
Bondan hanya melihat ada senyum ibunya yang indah. Senyum tulus untuk Bondan, yang memang sangat ingin menikmatinya. Bersamaan dengan itu, Bondan juga menikmati indahnya pelukan erat ibu, yang menghangatkan. Kalau saja kerinduan yang tiba-tiba menelisik ke hati Bondan, jadi kenyataan, barangkali ia akan bertambah kuat.
Aah, mengapa yang kini ia rasakan hanya sebatas pelukan hangat si mbok, bukan pelukan ibunya. Mengapa degup yang menenangkan, mengalir dari tubuh si mbok, bukan dari ibunya.
Bondan jadi kepingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Ibu Susilawati, yang selama sembilan bulan mengandung.Yang saat melahirkan Bondan berjuang antara hidup dan mati, demi buah hati yang sesungguhnya pasti dicintai..
Dimanakah ibu, dan mengapa ia membiarkan saya sendirian di rumah besar dan mewah, tanpa tatapan mata indahnya yang sebening air pegunungan, tanpa peluk mesranya yang menghangatkan, tanpa wejangan mulianya yang menyejukkan.
“ Ibuuuuuu “
Teriakan Bondan, mengejutkan mbok Sinem yang sedang mengisi botol bekas sirup yang dilapisi handuk dengan air panas dari kran air. Mbok Sinem segera mematikan kran, dan dengan cemas ia ke luar dari kamar mandi. Menghampiri Bondan yang tadi tertidur sudah terduduk di ranjangnya dengan nafas tersengal-sengal.
“ Aden kenapa ?”
“ Saya kepingin ketemu, ibu, mbok ?”
Mendengar jawaban Bondan, si mbok Sinem bingung. Tak tahu bagaimana cara memenuhi keinginan Bondan, yang selama ini memang sudah sangat jarang bertemu ibunya. Namun, si mbok tak ingin putra majikannya makin sedih.
“ Yaa, nanti si Mbok pasti berusaha lagi. Mudah-mudahan, ibu aden mau menerima pnggilan si mbok, seperti biasanya. Sekarang, aden tidur lagi aja. Istirahat dan biar si mbok kompresin aden dengan air panas “


Bersambung......

CERBUNG (5)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA



Saking senangnya, Mbok Sinem jadi terharu. Bagaimana tidak, jika melaksanakan tugas yang begitu ringan saja , dibayar kontan dengan tujuh lembar ratusan ribu. Malah Bondan berjanji akan menggenapkannya jadi sejuta.
Bondan begitu sulit melupakan hari itu. Hari yang menurutnya sangat bersejarah. Hari di mana ia jadi bisa menilai, siapa dan bagaimana rekan-rekannya. Kalau saja ia tidak mengalami, Bondan yakin, suatu saat dirinya bisa celaka. Jika Bondan tak punya tekad yang kuat untuk mengubah kebiasaan buruknya dengan sengaja melupakan kawan-kawan yang selama ini dianggap kawan--tapi sebenarnya bukan kawan, boleh jadi, Bondan masih berada dan tetap bersama Marbun dan teman Bondan lainnya.
Di lintas kehidupan yang sepanjang malam kelayapan, mabuk mabukan, menikmati kehangatan memeluk dan dipeluk para abg dan tak kenal berhenti menyeruak malam, ternyata hanya geliat tak terkendali dari jiwa yang kekeringan perhatian dan kasih sayang.
Toh, ujungnya tetap hampa. Tetap tak mendapatkan apapun, selain lelah dan lelah.
Kalau pun ada nikmat, hampa manfaat. Kalau pun ada kepuasaan, hanya seketika dan yang kemudian kembali dirasakan tak lebih dari hampa. Sama sekali tak bermakna. Buahnya bukan kebahagiaan hakiki. Tapi kebahagiaan semu. Kebahagiaan yang di dalamnya sama sekali tak melekat hakekat. Ujungnya, sia sia.
Kesia-siaan yang jika berulang dan terus berulang dan tanpa berusaha menghalang, ketika semakin meluas boleh jadi hanya membuat diri terhempas.
Bondan tak cuma ingin menjauhi kebiasaan buruknya. Bondan yakin, dirinya bisa melupakan semua yang pernah disentuh dan dirasakan. Bondan tak ingin sampai ke titik sesal tak berguna. Kalau akhirnya ia merasa menyesal, karena dirinya merasa masih sangat berguna. Bukan berarti Bondan merasa telah benar-benar berhasil menyelesaikan masalahnya.
Ia baru bisa membebaskan diri dari ruang pergaulan yang sama sekali tak tertata. Belum bebas dari berbagai ruang yang siap mencengkram siapa saja termasuk dirinya
Bondan sadar, masalah yang dihadapinya sangat berat. Lebih berat dari para pejuang Pa lestina, yang kalau pun mereka harus berperang, sangat mengerti dan paham untuk apa mengorbankan harta dan nyawa. Lebih berat dari beban yang dipikul oleh Presiden dan para menterinya, yang kalau pun menyatakan siap berjuang untuk mensejahhterakan rakyat, dan bukan untuk mensejahterakan kelompok dan pribadinya.
Berjuang agar mengenal dan memahami diri sendiri, suangguh jauh lebih berat dari perang itu sendiri. Sebab, perang di medan lagi tahu siapa musuh dan apa target yang akan dicapai. Sedangkan Bondan, sama sekali belum paham siapa musuh yang sebenarnya dan bagaimana cara dirinya memenangkan pertarungan
“ Tuhan…jika hamba tak sanggup mengubah prilaku buruk, hamba serahkan dan hamba pasrahkan segalanya hanya kepadaMu. Jika hamba sanggup, berikanlah kemudahan agar hamba selalu bisa melihat jalan kebaikan itu semakin terang benderang. Sehingga, langkah hamba hanya mengarah ke jalanMU. Hamba ingin berubah. Tuhanku…Beri hamba kemamuan yang penuh dan menyeluruh“
Bondan mulai ingat manusia hidup harus gemar berdo’a.
Harus membasuh tubuhnya dengan air wudhu
Seberat apapun harus membangun kebiasaan bersujud dengan ikhlas dan rasa syukur yang mendalam, karena seorang hamba seperti dirinya punya kewajiban yang sama, menyembah dan mengesakan Sang Pincipta Siiang dan Malam.
Memang terasa berat saat mulai berusaha mensucikan tubuh dengan air wudhu dan mensucikan hati dengan ruku' dan sujud, dan bacaan shalat yang telah sekian lama malah ditinggalkan. Dan ketika hasrat berserah diri kepada Sang pencipta mulai kembali dilakukan, Bondan berusaha menghimpun kemampuan agar keinginan yang mulai dirindukan bisa dilaksanakan. Bondan yakin, jika sudah bisa mengawali yang selama ini dirasakan sulit, ia akan terbiasa. Bondan mulai merasakan air matanya berjatuhan. Linangan air mata yang mengucur dengan sendirinya dari kedua pelupuk mata, seperti magnit. Kekuatan dan daya sedotnya yang sedemikian tinggi, seperti mengajak Bondan mengingat semua yang telah dilakukan.
Di saat saat seperti itu, Bondan mulai merasakan, betapa banyak manfaat yang didapat ketika dirinya mengingat masa lalu, masa dimana dirinya hanya larut dalam lakon indah yang menjebaknya. Masa di mana kebodohan demi kebodohan dilaluinya karena hawa nafsu yang sedemikian kuat memperdaya, membuat dirnya tak mampu mengingat apa yang lebih pantas dan lebih layak diingat.
Dalam kondisi seperti itu, Bondan malah menganggap lebih penting mengingat apa yang patut dan layak dia ingat dan dia kehendaki, seperti yang dikehendaki geliat hawa nafsu yang hanya mengajaknya mengejar kepuasan demi kepuasan yang sesungguhnya tak hanya seketika. Tapi juga abstrud. Begitu mudahnya Bondan terbawa dan kalau saja ia tak kuasa mendeteksi dengan apa yang terjadi, ia mungkin akan hanyut dan akhirnya tenggelam. Tak seorang pun yang peduli untuk menyeamatan.
Mengingat semua yang masih terlihat jelas di pelupuk mata, Bondan tak sanggup menepis rasa bersalah yang terbit seketika. Terbaca jelas, karena bak bak berita di koran atau majalah, menguraikan aneka peristiwa. Bondan membacanya dengan begitu seksama
Bondan sesenggukan sendirian, di kamarnya yang mulai terhampar sajadah. Di kamar pribadi Bondan yang sekian lama tak menggema doa, mulai terdengar lantun doa saat Bondan bersujud dan setelah Bondan menutup shalatnya dengan salam.



Bersambung.....




CERBUNG (4)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

EMPAT


“ Lho, memang ada apa dengan Bondan ?” Tanya Heri Gondrong
“ Ada apa? Den Bondan tuh sakit, kok, malah nanya ada apa?”
“Yang benar, mbok ?” Gito jadi sulit untuk tidak percaya.
“ Kok, saya mengatakan yang benar, malah tidak dipercaya? Memangnya, mentang-mentang saya cuma pembantu, malah lebih pantas untuk tidak dipercaya? “ Mbok Sinem, bisa memperli hatkan sikapnya yang tersinggung
“ Bukan begitu, mbok. Kita cuma kepingin tahu, mengapa sudah lebih dua bulan Bondan tak pernah mau kumpul lagi sama kita,” Marbun mencoba menenangkan mbok Sinem.
“ Den Bondan bukan tidak mau kumpul, mas. Juga bukan tidak mau gaul. Yang harus di dahului oleh setiap orang sakit, tuh, bukan kumpul atau gaul, mas. Tapi, harus disiplin mengikuti saran dan anjuran dokter. Jadi, selain harus banyak istirahat den Bondan juga harus bersedia dirawat. “
“ Jadi, sekarang Bondan sedang istirahat, ya, mbok?” Tanya Doni.
“ Yaa, iya lah. Masa’ orang sakit malah kelayapan, malah ke pub !”
Doni berusaha membujuk agar diizinkan menemui Bondan. Doni langsung mencolek bahu mbok Sinem dengan gaya yang memang sangat sok akrab. Sok supel. Doni memang tengah berusaha meluluhkan hati mbok Sinem. Doni yakin, ia bisa membujuk. Hanya, Doni tidak tahu, jika mbok Sinem tahu, Doni berusaha membujuk dan melulukannya
“ Si mbok bisa aja, deh. Sekarang, boleh dong, kalau kita masuk. Kan kalau kita bisa segera ketemu dan bisa langsung membezuk Bondan, kita bisa menghibur dan memberi semangat agar Bondan cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya ”
“Kalau memang mau masuk, silahkan. Tapi, “ sahut mbok Sinem yang sadar tengah memainkan peran dan untuk itu ia tak melanjuitkan kalimatnya
“ Jangan pakai tapi, dong, mbok ?” Sergah Doni sambil kembali mencolek bahu mbok Si nem, dan melirik ke rekan rekannya. Doni meng isyaratkan ke teman lainnya, kalau ia akan berhasil membujuk mbok Sinem. Tentu saja dengan sangat yakin. Heri Gondrong dan yang lainnya membalas memberi isyarat sambil tersenyum.
“ Harus pakai, mas. Soalnya, yang bisa saya lakukan, cuma sebatas menyuguhkan minuman atau makanan. Saya tak bisa memanggil dan meminta den Bondan ke luar dari kamarnya “
“ Nggak apa-apa, mbok. Toh, kita tak hanya bersedia tapi juga bisa masuk ke kamarnya. Kan, mbok tahu kita juga biasa kumpul dan nginap di kamar Bondan ?” Doni semakin optimis
“ Iya, mbok. Lagi pula, si mbok nggak usah repot-repot menjamu kita. Kita, kan, kalau mau minum atau mau makan, bisa ambil sendiri. Lagipula, kita tidak mau ngerepotin si mbok, kok, “ Gito ikut mencoba meyakinkan
“Yaa, silahkan saja mas semua masuk ke dalam. Cuma, jangan harap bisa ketemu den Bondan. “
“Jangan gitu, dong, mbok. Apa sih, susah nya bilang kalau kita datang dan mau bezuk Bondan di kamarnya? “
“ Kalau sebatas bilang begitu sama den Bondan, tak masalah, mas. Cuma, bagaimana bilang nya jika sejak sebulan lalu, den Bondan dibawa dan dirawat di rumah sakit di Singapura “
“ Kita kok, jadi nggak ngerti, mbok ?”
“ Iya, mbok. Apa, sih, maksud si Mbok ?”
“Mas…dengar, yaa. Sebenarnya, den Bondan tuh sudah sejak lama mengidap penyakit gawat. Tapi, baru ketahuan belakangan. Dua bulan lalu, saat den Bondan cek-ap, malah diminta masuk ruang inap Rumah Sakit Pertamina.
Dua minggu dirawat di sana sama sekali tak ada perubahan. Karena tak juga sembuh, majikan saya, membawa den Bondan berobat ke Singapura. Kalau memang mau besuk, yaa, mas harus berangkat ke Singapura. “
“ Oh alaaaah, si mbok ini piyee, toh. Mestinya, bilang dari pertama kali kita datang, dong. Jadi, kita nggak penasaran. Nggak kecewa, “ Sentak Marbun

Tapi ia tak bisa ngejitak mbok Sinem, meski kepingin banget ngejitak sang pembantu tua yang mendadak jadi sosok paling menyebalkan
“ Mbok..mbok… kalau ada duit, daripada buat besuk Bondan yang dirawat di Singapura, kan lebih baik kita beliin minuman “ Doni mulai kelihatan aslinya, nyeleneh.
“ Iya, mbok. Teler tuh lebih enak, tau “ Kata Gito, yang langsung membalikkan tubuh dan ninggalin si Mbok.
“ Mbok, lain kali, langsung kabarkan. Jangan ajak kita ngider ngalor ngidul nggak karuan. Ngerti?” Heri Gondrong bukan tidak emosi. Ta pi, dia hanya mampu memberi peringatan

Mbok Sinem tak kepingin menepis atau menangkis. Si mbok sengaja tak mau mau menggubris. Bukan tak ingin. Tapi, tak ingin ketahuan telah berbohong. Si mbok Sinem juga tak hendak berbasa basi, dengan berpura pura mencegah teman teman den Bondan pergi agar mereka tidak merasa kecewa. Mbok Sinem yang tahu mereka kecewa, tak menyoal anak anak muda itu pergi tanpa bilang. Padahal, saat datang mereka mengucap salam.
Si mbok Sinem baru beranjak ke dalam rumah setelah mereka masuk ke mobil dan sejenak kemudian sudah hilang dari pandang
Mbok Sinem segera masuk untuk melaporkan keberhasilan misinya.
Bondan tak bisa menahan tawa.
Melihat anak majikannya terbahak bahak, tentu saja si Mbok Sinem jadi senang. Cuma, mbok Sinem tidak kepingin ikut terbahak. Serasa tak pantas jika mbok Sinem memanfaatkan situasi untuk ikut ikutan ngakak. Tapi senyum si mbok Sinem tak juga hilang.
“Den,si mbok mau pamit ke dapur dulu, den “
“Astaghfirullah Hal Adziem. Sorri, yaa, mbok. Saya jadi lupa sama si mbok. Oh iya, terima kasih yaa mbok,” Bondan yang tersadar merasa tidak enak sama si mbok.
Tentu lebih tak enak enak jika malah lupa memberi bonus.
Bondan merogoh dompet. Senyum mbok Sinem kian sumringah saat tujuh lembar ratusan ribu disodorkan ke arahnya.
“ Besok saya tambahin, supaya jadi genap sejuta “
“ Segini aja lebih dari cukup, den “
“ Pokoknya, besok harus saya tambah. Kalau saya lupa, si mbok harus ingetin saya. Oke ?”
“ Trima kasih, den. Terima kasih “


Bersambung.......



CERBUNG (3)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

TIGA

.
Saat ini, Bondan bukan ingin menyesali nasib atau menggugat orangtua. Bondan lebih ingin, mengubah prilakunya. Mengubah jalan hidup. Ia ingin mulai meluruskan jalan yang masih tersisa. Jalan yang memang masih harus dilalui dan ditempuhnya.
Keinginan yang tak bisa didapatkan semisal berharap pada banyak teman. Pun pada orang tuanya. Tuhan sekalipun tak akan menolongnya. Sang Khalik, tak pernah berkehendak mengubah nasib satu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berkehendak mengubahnya.
Bondan melihat, di pelupuk matanya hanya kesulitan yang memanjang. Tak melihat hal termudah atau kemudahan, kecuali tekadnya di bulatkan dan keinginannya diwujud-nyatakan
Itu sebabnya, Bondan bisa melihat jalan terang. Meski sedemikian berliku, tapi Bondan yang tak ingin terus keliru, bersikukuh. Bersikeras melaluinya, meski memang sangat berliku. Bondan tak ingin lantas meninggalkan. Terlebih menyerah.
Bondan tak merasa malu. Tekadnya tak pupus meski kesulitan tak berhenti memburu. Terlebih Mbok Sinem selalu membantu. Menemaninya berbincang kapan pun Bondan perlu teman mengobrol. Mendengarkan keluhan tanpa minta ini atau itu.
Bondan jadi punya alasan yang kuat hingga betah  di rumah. Dia mulai merasakan arti dan makna rumahku istanaku. Perlahan tapi pasti, Bondan mulai bisa menanggalkan kebiasaan buruknya. Mylai bisa menjauh dan jika kelak Bondan benar benar bisa meninggalkan lingkungan gaulnya, dia tak berniat melupakan kawan kawannya. Bagaimana pun mereka pernah singgah di hati Bondan, dan seburuk buruknya teman, tidak boleh dilupakan meski sah saja jika menjauh agar hal hal yang sudah tak dikehendaki tak menyapanya lagi. Tak berpeluang untuk menyeretnya kembali
Semua keburukan yang semula dianggap bisa membebaskan dirinya dari belenggu keresahan, karena hanya sepi dan sepi setiap kali ia berteduh dan diam di rumahnya yang mewah. Sepi demi sepi yang mencengkram, membuat Bondan hanya terus memburu dan terus membidik dengan hawa nafsu. Lalu, bersama kehendaknya yang dilarikan kemanapun ia suka, selalu saja ia mengira, yang diraih dan direguknya adalah kebahagiaan yang melebur segala duka laranya. Mengubur kenestapaan jiwanya, yang tak pernah ba sah oleh tetesan kasih sayang dan cinta.
Nyatanya?
Di setiap itulah yang sesungguhnya terasa dan senantiasa dirasakan, dirinya dalam cengkra man dusta. Malah membuat jiwanya tak pernah tentram. Semakin ia memburu dengan hawa naf sunya yang terus menderu, hasil konkritnya bukan ketentram. Tapi kepuasan tanpa dasar. Ke puasan yang tak pernah memberi apa-apa, kecuali mengembalikan ke suasana yang sama: nestapa.
ORANG-orang bijak, begitu mudah mengerti dan memahami hidup itu apa dan bagaimana. Orang bijak tak sebatas sangat arif meli hat. Tapi juga arif menilai. Itu sebabnya, orang bijak lebih merasa tak pandai menyalahkan atau membenarkan, kecuali memang terlihat jelas ada kesalahan di dalam kesalahan, dan nampak nyata kebenaran yang selalu melandasi kebenaran itu sendiri.
Jadi, siapa pun yang telah lupa berbuat baik atau telah berprilaku buruk, bisa saja mengubah sikap dan prilaku buruknya. Selama ada keinginan untuk merubah, yang nisbi bisa ada yang tak nampak bisa jadi nyata. Begitu pun se baliknya.
Bila dulu terus ingat dan sekarang lupa, merupakan hal biasa. Dulu lupa sekarang ingat, juga bukan sesuatu yang istimewa. Lupa dan ingat selalu saling mempengaruhi. Selalu berlom ba menguasai setiap jiwa manusia
Mengapa? Karena lupa adalah sifat. Ia melekat erat bukan pada hewan. Tapi, melekat dalam diri manusia. Sengaja melupakan adalah perbuatan, tindakan. Memang tidak nyata terlihat. Tapi membuahkan sesuatu yang banyak mengandung manfaat.
Bondan bisa memperbaiki kekeliruannya.
Bondan merasa sangat beruntung. Terle bih, tekadnya yang kuat, membuatnya tak lagi ter tarik bemabuk-mabukan. Bondan mulai merasakan, kondisi tubuhnya yang jauh lebih sehat dan jauh lebih segar
Dan yang membuatnya hepi dalam arti se sungguhnya, selalu berada dalam kondisi sadar. Sebelumnya, lebih sering dalam kondisi teler. Pengaruh alkohol, membuatnya entah berada di mana. Bondan juga merasa sangat beruntung. Ia tak lagi disinisi. Tak lagi dicap sebagai pemabuk. Sejak bertekad melupakan kebiasaan buruk dan akhirnya bisa meninggalkan, siapapun tak punya alasan untuk menilai dirinya sampah
Bukan berarti tak ada yang merasa dirugikan oleh Bondan. Terlebih, Bondan juga sengaja melupakan kebiasaan buruk lainnya. Memang, sengaja melupakan kebiasaan buruk, sangat tidak mudah. Tapi, toh, yang kemudian dirasakan Bondan adalah ketenangan. Ia lega, karena sudah bisa menjadikan rumahnya sebagai rumahku istanaku. Rumah yang membuat dirinya tentram dan bebas dari berbagai perkara
Ia bisa tidak kelayapan dan tidak begadang. Juga tidak lagi melakukan hal-hal yang se belumnya malah dianggap sangat wajar. Padahal, wajar dalam dimensi merugikan orang lain dan merugikan diri sendiri.
Teman-teman Bondan tentu saja merasa sangat dirugikan.
Sejak Bondan sadar – mereka menganggap seperti itu, tak ada lagi yang mentraktir minum sampai mabuk. Tak ada lagi yang mengajak mereka mencari anak-anak abg untuk bersenang-senang dan kesudahannya pasti dikencani.
Teman teman Bondan, bukan tak mem persoalkan. Mereka, malah sengaja menemui Bondan. Kalau saja Bondan tidak cerdik dan saat menghadapi hal itu ia kehilangan akal sehat, Bondan yakin, ia tak pernah bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Bondan yakin, pengaruh teman-temannya, sedemikian hebat. Jika kembali dekat, akrab dan menyatu lagi, percuma Bondan insaf
Saat teman-temannya datang, Bondan minta mbok Sinem membantunya. Ia minta agar mbok Sinem, menemui teman-temannya dan melakukan hal yang langsung diintruksikan oleh Bondan. Tak sulit bagi mbok Sinem melaksanakan perintah Bondan. Terlebih, sudah seringkali Bondan minta bantuan kepada mbok Sinem. Mbok Sinem tak pernah mengecewakan Bondan.
Tiap kali melaksanakan perintah Bondan untuk melakukan kebohongan, yang dirasakan mbok Sinem justeru senang luar biasa. Itu sebabnya, Mbok Sinem tak pernah merasa berdosa, karena setiap usai melaksanakan tugas, Bondan tak pernah lupa atau sengaja melupakan jasanya.
Bondan pasti memberi bonus. Jumlahnya, lumayan besar. Minimal, sebesar gaji sebulan Tapi, sering lebih. Bondan memang dapat lebih banyak. Ia memang paling berhak menerima uang, dari ayah maupun ibunya. Kebiasaan membohongi majikan – ayah dan ibu Bondan, membuat Mbok Sinem semangat dalam melaksanakan misi untuk kepentingan anak majikannya
Jadi, bukan lagi mbok Sinem jika tidak siap melaksanakan perintah. Ketika teman-teman Bondan benar-benar muncul, tanpa ragu, mbok Sinem segera menghadapi mereka.
Mbok Sinem menyambut teman Bondan sebagaimana mestinya. Dengan lugu, Ia bertanya mau ketemu siapa dan untuk urusan apa. Saat mereka menjawab mau ketemu Bondan , mbok Sinem lang sung memainkan peran lugunya.
“ Kok, baru hari gini, sih, mau besuk den Bondan?”
Tak hanya Heri Gondrong yang kaget. Gito, Suparman, Doni dan Marbun, lupa jika mereka datang karena kesal sama Bondan, yang menghilang tanpa pesan, yang menjauh tanpa kabar.



Bersambung.........


CERBUNG (2)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

DUA

 

         Kan, lebih bego dari Gayus Tambunan. Lebih tolol dari oknum polisi, oknum jaksa, dan oknum hakim yang bersekongkol dengan Gayus. Demi uang dan angan-angan mewujudkan impian hidup mewah, malah rela menggadaikan harga diri. Akhirnya, harus menanggung malu, Kehilangan reputasi dan kehilangan harga diri. Isteri dan anak-anaknya, boleh jadi dirundung malu.

       Mulanya, Bondan yang berulang kali mengaca hanya melihat wajah gantengnya. Tapi akhir nya, Bondan mulai melihat satu demi satu keburukan dirinya. Bahkan, Bondan semakin mampu mengurai, keburukan-keburukannya. Satu demi satu, keburukan pribadi, seperti menjelaskan pada dirinya sendiri.
       “ Jika yang kamu tanam bibit kebaikan, yang lahir dari perbuatan kamu bukan aku, sang keburukan. Tapi musuhku, sang kebaikan. Dan, yang kelak akan kamu tuai bukan aku, tapi sang kebaikan “
        Bondan ternganga.
       Sadar, selama ini, ia keliru. Salah jalan. Saat itu, kekeliruan, sengaja atau tanpa rencana, me mang dirasa nikmat dan memuaskan. Membuat nya terlena. Terbuai. Tiap kali dikonkritkan, me mang hanya nikmat dan kepuasan yang saat itu didapat dan dirasakan.
     Hanya, semuanya seketika. Sekejap mata Setelah itu, dirinya kembali terperangkap dalam jeratan hawa nafsu, dalam sunyi yang terasa sedemikian panjang. Sunyi yang membuatnya malah tak mampu mengandalikan diri. Dan, ia pun seperti terperangkap di ruang gelap yang paling pengap. Terjebak dalam sepi yang meresahkan. Dalam resah yang paling menggelisahkan. Membuatnya jemu dan kerap terseret ke dalam arus yang penuh tanda tanya. Arus yang tak lagi diketahui, di mana ujung dan dimana pangkalnya
      Tentu saja semua itu, tak pernah menentram kan jiwanya. Tak pernah mendatangkan ketena ngan batin. Di balik nikmat dan kepuasan yang direguk Bondan, tak ada apapun kecuali seonggok jiwa yang hampa dalam gulana. Kering ke rontang dilanda nestapa.
Jiwa yang tak pernah dibasahi oleh perha tian, kasih sayang dan cinta. Jiwa yang hanya di hidupkan, dan digerakkan oleh materi, membuat Bondan tak mampu menjadi seseorang yang berjiwa atau berhati. Jiwanya malah selalu lunglai dalam belai kemewahan. Hatinya cenderung rapuh, oleh materi yang berlebihan.
       Apa yang harus kulakukan agar jiwa tent ram, batin tenang tapi aku tetap leluasa mereguk nikmat yang memuaskan, dan buahnya adalah kebahagiaan yang hakiki seperti yang kumaui?
Bondan nyaris senewen.Tiap kali bergulat dan bergelut dengan batinnya, ia merasa tersiksa. Tersiksa karena betapa sulitnya meninggalkan kebiasaan buruknya. Begitu mudah ia melakukan Tapi, begitu sulitnya, saat ingin meninggalkan. Apakah karena aku tak biasa berbuat baik, lalu kekuatan buruk dalam diri ini malah mampu memelorotkan hasrat berbuat baik?
       Bondan tak tahu harus bicara dan bertanya pada siapa. Ibunya, entah di mana. Sejak rahasia ayahnya terkuak, ibunya memang tak minta cerai. Tapi, juga menolak ketika ayahnya bersedia dan siap menceraikan.
Ibunya memilih tetap terikat dalam tali perkawinan, dan tinggal bersama Bondan. Tapi, bukan untuk mengurus Bondan. Saat itu, Bondan hanya dimanfaatkan agar kebutuhan hidup ibu nya yang memang materialistis, selalu dan tetap terpenuhi
       Status orangtuanya memang tetap sebagai suami-isteri. Secara fisik, mereka tidak bercerai. Tapi batin, mereka sudah terpisah. Sejak lama. Sesekali, ayahnya memang datang. Setelah berte mu sesaat dengan Bondan, usai mensuplai uang, bergegas pulang, hilang. Ayahnya, seperti tak pe duli, bagaimana Bondan tumbuh dan berkembang.
        Malah, ketika ayahnya tahu, ibunya bermesraan dengan lelaki lain, pak Sadewa tidak marah. Ayahnya juga hanya tersenyum, saat tak lama berselang, ia mengetahui isterinya sudah jarang pulang. Pak Sadewa hanya berpesan, agar mbok Sinem merawat Bondan dengan baik, benar dan dengan segenap ketulusan. Ayahnya beralasan, ia tak mungkin bisa mengajak Bondan tinggal ber sama di rumah salah satu dari dua orang isteri lainnya
        Meski begitu, ayahnya tetap memenuhi berbagai kebutuhan Bondan dan ibunya. Tapi, ayahnya sama sekali tak mempersoalkan, di mana sebenarnya ibu Bondan, apa yang dilakukan dan siapa lelaki yang mendampinginya.
        Tapi, akhirnya Bondan tahu, mengapa ayahnya, malah menikah dengan dua perempuan lain. Menurut mbok Sinem, saat ekonomi ayahnya masih morat-marit, ibunya lebih sering menjerit. Kerap kecewa, marah, dan tak henti-hentinya mengecilkan dan menyudutkan suaminya. Ayah Bondan yang hanya sanggup membelai isterinya dengan kemiskinan, tak pernah dihargai terlebih dihormati
      Ibunya sering memaki, mencibir, mengecilkan.menghina dan menyebut ayahnya sebagai lelaki yang hanya mampu memberi kepuasan batiniah. Sama sekali tak sanggup memenuhi ke puasaan lahiriah, yang juga sangat didambakan dan diinginkan ibunya. Jika saat seperti itu Bondan belum lahir, mungkin sudah lama mereka bercerai.
        Itu sebabnya ayahnya menikah dengan pe rempuan lain. Hanya, si mbok Sinem sama sekali tak mengerti, mengapa sampai menikah dengan dua perempuan. Jika hanya dengan satu perempuan, mungkin karena ingin ada yang mengurus, merawat, menyayangi, memperhatikan dan masih punya tempat yang nyaman untuk saling berbagi. Saling menautkan mimpi
      Ingin dipijat isteri karena capek atau lelah usai mencari nafkah. Ingin dimanja. Ingin tenang dan damai bersama isteri yang mencintainya. Keinginan seperti itu, selama bersama ibu Bondan hanya jadi angan. Hanya menjadi keinginan yang mau tidak mau lebih baik dipendam tim bang diungkapkan.
       Hal seperti diimpikan oleh siapapun lelaki yang sudah jadi seorang suami, cuma jadi kerinduan yang paling nisbi. Saat ayahnya masih dalam kemiskinan, ibu Bondan, tak pernah mau mengurus – terlebih memperhatikan dan mamahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan suaminya
     Tak mungkin mencurahkan kegelisahan jiwa, pada Ibu yang tak mengurus dan tak bersahabat dengan putranya. Juga tak mungkin berkeluh kesah pada ayah, yang datang hanya sesekali, dan kunjungannya yang hanya sesaat, sebatas memenuhi kewajiban, memberi uang.
     Bondan bukan tak pernah mengungkap, menyoal atau menggugat. Hasilnya? Ia malah memi lih droup out di akhir semester lima
Ratih, wanita yang dicintainya, lebih rela meninggalkan dirinya. Ratih, memilih menikah dengan pria mapan. Memang ia mengaku tak mencintai pria itu. Tapi ia tahu dan melihat ke nyataan, pria mapan pilihannya, lebih punya masa depan.    
      Prilakunya, tak seperti Bondan, yang makin lama -- dengan alasan kecewa pada orang tua, bukan memperbaiki dan jadi lebih baik tapi malah makin berantakan
     Makin akrab dengan minuman keras. Dekat dengan wanita yang kemesraan dan dekapan ha ngatnya hanya sebatas untuk uang. Bukan untuk hatinya yang kering kerontang. Juga bukan untuk hal lain, yang paling didambakan. Di setiap dekapan mereka, Bondan hanya merasakan nikmat dan kepuasan sesaat.         Bondan tak pernah merasakan ketentraman paling nyata. Semua benar-benar hanya sesaat. Setelah itu, lenyap.
Bondan memang telah keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan. Karena ia merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya dicekoki materi dan berbagai fasilitas. Ia memang leluasa melakukan apa pun yang diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan kepuasan, setiap kali itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga di jiwanya. Setelahnya, melihat kenyataan yang di da lamnya hanya ada sepi. Kesunyian yang mengoyak-ngoyak hati
Jika saat ini ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa memang sangat berharap agar Bondan kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak Sadewa, sangat mendukung
Bondan bukan tak pernah menggugat.
Hasilnya? Hanya tanda tanya tanpa jawab.
Menjenuhkan .
Membuatnya frustrasi
Bondan malah terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak terkendali. Meski masih bisa tersenyum manis tapi nasibnya begitu miris

Bersambung.......


GARA GARA KEPEDESAN


          PAK GURU, selalu punya cara menghukum murid bernama Kardun . Padahal, Kardun murid paling pintar di kelas. Cuma, karena bandel dan sering bikin kesal gurunya, kerap diincar oleh sang guru untuk diberi hukuman.                                                                                                  
         Kali ini, pak guru yang kesal karena Kardun yang diminta tolong membelikan bakso dn dipesan jangan pakai sambal, dikira benar nggak pakai sambal. Sebab, di bagian paling atas mangkok, saat bakso diserahkan, pak guru memang sama sekali nggak melihat ada sambel, Makanya, dengan bernafsu dia menyikat bakso yang baru saja diserahkan oleh Kardun                                                                                         Nggak taunya, di bagian bawah mangkuk malah penuh dengan sambel. Nah, siapa yang sangka kalau akhirnya pak guru kelojotan menahan pedas. Untuk itu, pak guru memanggil Kardun dan dua temannya yang ikut mengantar Kardun membeli bakso. "Kalau kalian bisa menjawab pertanyaan bapak, kalian boleh pulang cepat. JIka gagal, harus bersedia dijemur diterik matahari," kata pak Guru. Dengan santai dan sikap yakin, Kardun malah nyahut " Siapa takut, pak?"
PAK GURU pun mulai mengajukan pertanyaan pada ANDI.
"Andi... berapa jika tujuh dikalikan dengan tujuh?" Dengan tenang, Andi yang nggak pintar pintar amat dan tidak bego bego udin menjawab dengan tepat. “ Itu sih empat puluh sembilan,pak”.
"Kamu boleh pulang," kata pak Guru yang lantas mengajukan pertanyaan ke Kimong " Kimong... jika sepuluh dikurangi 9, apakah ada sisanya?" Tanya pak Guru yang kayaknya sengaja memberikan pertanyaan paling mudah.Bukan lantara paham kalo Komeng sering telat mikir, tapi karena baik Kimong maupun Andi memang hanya sebagai pelengkap yang kelak bisa dijadikan alasan bila apa yang dilakukan olehnya diprotes. Baik oleh rekan sejawat maupun orangtua murid
"Jelas ada dong, pak. Kalau yang nggak ada, pasti jika sembilan dikurang sepuluh. Kalau sebaliknya bersisa satu pak,” Kimong malah menjawab sambil beretorika
Tentu saja Kardun yang menyaksikan hal itu merasa sangat yakin dan kelihatan makin tenang. Sebab, dialah ranking pertama di kelas dan sama sekali tak iri dengan kedua rekannya yang bisa menjawab karena soalnya memang mudah. "Pertanyaan untuk saya, apa,pak?" Tanya Kardun yang malah seperti menantang "Kamu siap?" Tanya pak GURU "Kenapa tidak pak?" Sahut Kardun dengan agak sedikit sombong.
PAK GURU pun bertanya. " Hai Kardun, jadi berapa jika 19 dikalikan 19, dikalikan 29, dikalikan 39, dikalikan 49, dikalikan 59, dikalikan 69, dikalikan 89 dan dikalikan 99 lalu ditambah 79 dan dikurangi 9 serta dipotong pajak sebesar 10 prosen?"
MOHENG kontan tercengang. Namun, segera bergegas berpikir. Tapi, akhirnya malah tak terpikir. Ia pun disuruh parkir di lapangan olahraga. Untuk menerima hukuman.
"Loe tadi bikin gue kepedesan, yee. Sekarang, gue bikin lu kepanasan," kata pak GURU, tentu saja di dalam hati. Kalo kalimat itu disampaikan ke kepala sekolah, dia yakin tak akan disetujui jika mengajukan utang ke koperasi sekolah (od)

KENTUT DI ERA PEMBANGUNAN


PERANAN KENTUT DLM PEMBANGUNAN. 
         Dapat dipastikan, bahwa tiap kali dilakukan pembahasan soal pembangunan baik oleh pemimpin negara maupun pemimpin RT, yang namanya kentut pasti tak pernah dibahas apalagi dibicarakan.                      Padahal, peran kentut itu sendiri tak hanya sangat besar. Tapi, juga sangat strategis. Sebab, siapapun yakin, Jika Presiden & para mentri tidak pernah kentut selama seminggu berturut turut turut, pasti berdampak hebat pada laju pembangunan.                                                                            Mengapa? Karena jika hal tersebut terjadi, semua harus segera dilarikan secepatnya ke ruang UGD sebuah rumah sakit dan dapat dipastikan harus dirawat secara intensif.                                                                                          Jika tidak, mahluk yang sudah tidak bisa ngegas, bakal senasib dengan mobil atau motor, tidak bisa jalan. Nah begitu pun dengan manusia yang biasanya braaat breeeet broooot saat melepas kentut, pasti akan semaput bila seminggu berturut turut tak disambangi oleh sang kentut.                   Back ground itulah yg dijadikan alasan untuk menggelar seminar seperempat hari bertajuk PERANAN KENTUT DALAM PEMBANGUNAN. Menurut Prof. DR dr PAIJO DOANG DONG AH, MSc, MSi TBc, masyara kat mokal kentut, bukan karena baunya. Tapi, karena jenis suaranya, yang bisa saja ngebas buanget. Padahal, yang kentut dengan bunyi tak terdeteksi alias cuma peeesssss, baunya lebih dari bangkai busuk. Tapi  yg brat brit brut bret brot, meski suaranya bak ledakan bom, malah tak bau. "Jadi," tutur beliau dgn semangat baja yg diam-diam kentut tapi bunyinya tak terdengar krn peeeeesssss, " marilah kita dekatkan perspektif kentut secara proporsional, krn harus diakui, kentut itu sendiri punya peranan dalam pembangunan," lanjut beliau. Hanya, ketika  seorang peserta diskusi berdiri dan menunjuk tangan, beliau tak langsung merespon. Stelah peeesssnya dikeluarkan, beliau baru bertanya.
"Anda ingin bertanya?" tanya sang profesor
"Tidak pak. Saya males bertanya"
"Lalu kenapa berdiri dan angkat tangan?" Sang prof menahan kesal.
"Saya berdiri dan angkat tangan, krn ingin minta izin buang gas"
Sang profesor tak sempat merespon, krn sang peserta langsung membuang gas yang beraroma rock, Braaat...Briiit Bruuut breeeet Broooot.
Peserta lain yg ternyata ingin kentut tp sejak acara hanya menahan hasrat kentutnya, tidak marah. Spontan mreka berdiri dan tanpa bertanya lagi, melepas gas tektonik alami yg diproduk oleh masing-masing perut. Sang profesor, dgn kesal melampiaskan juga kentutnya. Hanya, tdk braat breeet broot. Tapi, peesss...pesss...pesss.