NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank
SEMBILAN BELAS
Mirna
diam. Entah karena kesulitan menjawab, entah karena tak ingin penjelasannya malah dianggap
mengada-ada dan akhirnya berkembang ke hal yang tak diinginkan. Marwan sendiri,
tak lantas bicara. Ia pun memilih untuk ikut diam. Agar dari mulutnya tak
keluar kalimat yang membuat isterinya merasa tersudut atau tertekan. Juga
berusaha menjaga sikap, agar dari dirinya tak muncul ekpresi yang bisa membuat
Mirna tersinggung atau membuat dirinya semakin merasa ter tekan.
“Oke,
mama salah dan atas kesalahan yang mama perbuat, mama minta maaf,” akhirnya,
setelah bebe rapa menit saling diam dan hanya saling tunggu, Mirna yang
terlebih dahulu membisu, kembali bersuara.
Marwan
menarik nafas lega
“Syukur
mama merasa bersalah dan mau minta maaf.
Abang sudah memaafkan. Seka rang, tolong
dengar baik-baik. Jika ngerumpi atau bergibah itu, tidak dilarang oleh Allah,
abang juga mau melakukannya, ma. Sebab,
ngerumpi itu nikmat. Bergibah itu, sering bikin kita jadi enjoi. Dan,
membicarakan aib orang lain itu, memang sangat mengasyikkan.
Hanya, Allah melarang kita bergibah. Me larang
hambanya memakan daging saudaranya sendiri. Itu sebabnya, bergibah, ditetapkan
seba gai perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Ja di, bukan abang yang tidak
suka. Abang juga hobi, Mir. Hanya karena kita harus taat pada aturan agama,
harus konsinten dan konsekwen, mau tak mau kita harus taati peraturan yang su
dah ditetapkan oleh Allah.
. Munafik,
namanya, jika kita mengaku ber iman pada Allah, tapi tetap melanggar larangan
Allah. Munafik namanya, jika kita mengaku beriman, tapi malah sengaja tak mau
melaksa nakan perintah yang sudah ditentukan oleh Allah. Mama bisa, kan,
mengerti dan me maha mi, mengapa hal ini perlu saya kemukakan ?“
Mirna
diam. Langsung memandang Mar wan dengan tatapan marah. Agaknya, ia tak su ka
mendengar nasehat yang baru saja disam paikan suaminya. Marwan bukan tidak
kesal. Kepalanya saja, langsung terasa cenat-cenut. Meski ia segera membalas tatapan isterinya de ngan
tatapan yang lebih tajam, Marwan beru saha untuk tetap rasional. Kepalanya
boleh panas, boleh cenat-cenut. Tapi hatinya harus selalu dingin. Kalau perlu,
lebih dingin dari ba tu es
Marwan, ingin Mirna yang biasanya ba wel, banyak bicara, bersedia
membahas atau menyimpulkan apakah ia baru mendengar penje lasan yang benar atau
sebaliknya Bukan malah kembali diam lalu menatap dengan marah .
Bukankah Mirna mengaku sudah dewasa? Mestinya, pria atau wanita yang
sudah dewasa, bisa bersikap fair dan sanggup menghadapi aki bat, dari suatu
sebab yang telah ia perbuat.
Tapi,
Mirna malah memperlihatkan si kapnya yang sama sekali tidak menunjukkan di
rinya sebagai isteri yang berani berbuat salah ta pi berani bertanggung jawab. Dijelaskan ten tang larangan bergibah,
malah bersikap aneh. Mestinya, jika tidak suka diarahkan ber dasar kan petunjuk
kebenaran—bukan petunjuk Marwan, yaa, jawab tidak suka. Atau, sebaliknya
Bersambung……
0 komentar:
Post a Comment