Sunday, May 5, 2013

SKETSA SATU


SAMA SAMA KECEWA



PADAHAL Udin janji mau datang ke rumah Panjul pukul 12 siang. Bilangnya mau bayar utang. Tapi sudah nyaris jam dua siang si Udin malah belum nongol.
Karena perlu uang buat biaya berobat anaknya yang sudah tiga hari dirawat di rumah sakit akibat sulit buang gas, Panjul yang nahan kesal, segera ambil motor dan berangkat ke rumah Udin.
Sessasmpai di rumah Udin, kekesalan Panjul bertambah. Sebab, di rumahnya Panjul hanya ketemu seorang cewek cantik, yang mengaku sedang menunggu Udin kaena yang bersangkutan sedang ambil kunci rumah yang ketinggalan di tempat kost si cewek.
“ Sudah lama perginya,” tanya Panjul yang jadi lupa sama kesalnya karena senyuman si cewek kece bikin bulu kuduk dan bulu lainnya merinding bareng. Karena sosok Minah memang menggiurkan, Panjul yang pernah jadi play boy cap kapal retak, malah kepincut buat kenalan Malah, Panjul yang mestinya segera bezoek jadi lupa dengan penderitaan anaknya yang tengah malah selalu nangis karena susah kentut.
“ Baru lima menit,” terang Minah yang dapat kesempatan menjawab karena Panjul ngajak kenalan dan mereka saling sebutkan nama
“ Saya kan kost di situ. Pas di rumah itu” kata si Cewek sambil menunjuk ke rumah besar, yang kelihatan jelas karena bertingkat, tapi di depannya penuh dengan rumah lain.
Wajar, jika sosok Udin yang dibilang sedang ambil kunci, tak kelihatan. Juga wajar, jika Panjul sangat berminat untuk berusaha jalin komunikasi. Ternyata, tak sulit mengajak kenal karena sama-sama sedang menunggu orang yang sama, Udin.
“ Kok lama yaa, “ keluh Panjul.
“Begini saja. Ijinkan saya pinjam motor mas Panjul. Biar saya susul. Mungkin dia tak bisa buka pintu kamar saya “
Tanpa pikir panjang, Panjul menyerahkan kunci motor. Malu rasanya, jika niat cewek cantik pinjam motor tak dipenuhi. Terlebih, Panjul sudah kenalan dan menggenggam tangan lembutnya. Dan, Panjul menyaksikan, betapa bodi Minah saat melarikan motornya, begitu mempesona
Tapi, setelah beberapa lama Minah, tidak muncul muncul, Panjul jadi was-was. Dia makin bingung, karena dua jam kemudian, dia tetap menunggu Minah tapi si cewek kece itu tidak juga datang.
Tak lama, seorang lelaki sekitar 30 tahunan tiba. Langsung bertanya di mana Udin. Panjul menjelaskan, ia sedang menunggu Udin buat nagih hutang. Tapi, sejak tadi belum datang dan motornya yang kemudian dipinjam cewek cantik yang ngaku datang mau nagih hutang, juga belum datang. Dan, Panjul menjelaskan rincian peristiwa, sampai akhirnya nunjuk ke sebuah rumah
“ Yaa, itu rumah saya. Tadi, si Udin datang dan minjam motor saya. Bilangnya sebentar karena ia lupa ngunci rumahnya “
“ Jadi….” Kata Panjul dengan full lemas.
“Motorku dan motor sampeyan sama-sama hilang “
Mereka kepingin nangis bersama. Tapi, karena malu sama warga, sepakat untuk cari solusi.
“ Bagaimana kalau kita lapor ke polisi ?”
“ Motor hilang kok, lapor, ke polisi.,” Panjul lang sung protes
“ Kalau begitu, ke jaksa, saja “
“ Motor hilang kok malah lapor ke Jaksa “
“Yaa, sudah, kalau begitu ke Hakim saja. Biar langsung disidang “
“Menurut saya, lebih baik kita lapor ke komnas ham saja?” Usul Panjul, yang mendadak ingat anaknya di rumah sakit.

SKETSA : SAMA SAMA HEPI


Dul sangat dikenal sebagai mandor yang bijak. Tak heran jika semua anak buahnya yang bekerja sebagai tukang dan knek, di proyek Perumahan Banjir Permai selain suka dengan Dul , juga sangat menghormatinya.
Saat ngontrol ke salah satu rumah yang lokasinya terletak di bagian paling pojok, para knek dan tukang langsung menyambut kedatangan Dul. Tanpa diperintah, seorang knek segera pamit untuk ke warung.
Tak lama ia kembali dengan dua bungkus rokok, dua kaleng minuman dingin, dua bungkus biskuit, dua kelapa muda dan dua bungkus kopi dan gula, ukuran sekilogram. Langsung semua diserahkan ke mandor Dul
“ Saya datang ke sini, kan cuma melaksanakan tugas, sekedar wajib kontrol. Gak perlu kalian repot repot seperti ini, “ kata Dul sambil mereguk minuman kaleng dan segera menghisap rokok yang baru saja diberikan oleh seorang knek.
“ Apa salahnya kalau kita menjamu pak Dul ?
Selama ini, pak Dul, kan enak diajak kerja sama” Sahut komandan tukang dan knek
“ Saya ngerti,” timpal mandor Dul.
“ Cuma, saya kan nggak enak. Sebab, hari Sabtu masih dua hari lagi. Jadi, lain kali, kalau belum
terima gaji, tidak usah repot sepert ini “
“ Kita memang belum terima gaji, pak Dul,” Sshut kepala tukang segera menjawab.
“ Cuma,” lanjutnya. “ Tadi si Ujang baru saja menjual sepuluh zak semen. Sekarang, kan, pak Dul datang. Jadi, harus ikut dapat bagian agar kita semua bisa merasakan nikmatnya saling berbagai supaya sama-sama hepi “
Mandor Dul bukan tidak ingin mendamprat para tukang dan knek. Tapi, karena sudah terlanjur menikmati pemberian mereka, ia cuma jadi tak merasa malu berat, saat berniat mengambil dan membawa rokok dan lain-lain ke ruang kerjanya.
Saat ia menikmati rokok lainnya dari bungkusan yang sama, di ruang kerjanya, seseorang mengetuk pintu. Ia segera menyuruh tamunya masuk. Melihat knek yang ia kenal, datang pada jam kerja, ia langsung bertanya dengan segala kegalakan dan wibawanya.
“ Kamu, kan, knek di rumah ujung sana? Kenapa di jam kerja malah datang kemari “
“ Sorri pak mandor. Saya cuman mau ngasih ini,” kata sang knek, sambil menaruh amplop di meja, yang lantas diambil dan bertanya:
“ Memang ini amplop ada isinya ?”
Kemudian, ia melihat. Tau ada isinya, suaranya dipelankan. Ia takut ada yang mendengar.
“ Kamu, kan, baru gajian di hari Sabtu. Kenapa saya dikasih hadiah “
“ Kemaren, teman saya datang. Dia perlu semen, pasir, batu bata, behel dan alat-alat bangunan untuk membangun rumah. Tadi, dia datang dan karena semua yang diperlukan ada di proyek, saya suruh dia bawa. Nah, yang saya amplopin, bagian pak mandor. Sebab, kata rekan tukang di ujung sebelah sana, kalau ngasih bagian ke pak mandor, semua jadi no problem “
Usai ngomong, si knek langsung cabut. Mandor tak mau berteriak manggil dan bilang “ Heiii knek, ngasih hasil maling kok segini. Tambahin doong “
Sebab, ia takut dengan lagu yang ia suka nyanyikan
“ Ooo kamu ketahuan….
selalu dan sering ngobyek
kerja sama dengan tukang dan knek
lantas sering nyolong barang proyek “


Friday, May 3, 2013

CERITA PENDEK


Oesman Doblank



Cerita Pendek
ABAH SUDAH PULANG


SAYA selalu melihat Abah dengan penampilannya yang tak berubah: bercelana jeans, berbaju koko dan berkopiah. Tak beda dengan seminggu atau sebulan silam. Di kesendirianya, tiap usai Subuh, Abah selalu memegang tasbih. Saya yakin beliau berdzikir. Setengah jam kemudian ia pasti masuk ke dalam rumah untuk membuat kopi. Lalu, seperti biasa kembali ke teras rumah dan abah duduk di tempat yang sama.
Sambil ngopi, Abah menikmati kipasan angin pagi yang hembusannya membelai tubuh Kalau sudah begitu, Abah yang koleksi bukunya melulu tentang Islam, membuka buku yang sudah ia siapkan. Sambil terus membaca, jari jemari tangan kanannya, memilin-milin biji tasbihnya.
Abah tak terganggu oleh hiruk pikuk lingkungan yang mulai sibuk memburu dunia.
Tiap pagi, sampai pukul tujuh, selalu begitu. Yang tidak selalu, hanya warna dan model baju koko yang dikenakan dan judul buku yang dibacanya.
Saat Abah sudah asyik dengan paginya, saya selalu berinisiatif untuk pamit. Pulang ke rumah, menikmati kebodohan saya yang selalu ingat Rukmini, meski ia sudah menikah dengan lelaki lain.
Saya tak bisa terus menemani Abah, ke cuali saat bermalam di rumahnya. Bukan tak ingin. Saya hanya belum sanggup berbincang la ma dengan Abah, yang tak lagi tertarik bicara soal dunia. Sedangkan saya, tak pernah bosan
mengingat ingat Rukmini. Bagi saya, Rukmini adalah dunia saya yang hilang. Saya terus berpi kir untuk kembali mendapatkannya.
Bukan berarti Abah tak suka dunia. . Se bab, Abah pernah bilang saat ia masih muda, yang justru diintai tak ada habisnya oleh Abah, hanya kemilau dunia. Abah sempat mabuk oleh kemilaunya. Hanya, menurut Abah, semakin ia terlena mengintip dunia, hanya semakin mem buatnya mabuk, dan kemilaunya yang mema bukkan, merapuhkan jiwanya yang menuntut ketentraman. Meminta ketenangan.
Tapi, setelah sejak lima belas tahun si lam Abah mulai mengintai selain dunia, ji wanya tak lagi menggugat yang dirindukan Hingga ia bersama paginya di teras rumah sampai jam tujuh, Abah tidak tahu, apakah ia masih tertarik mengintip dunia atau malah ha nya ingin mengintai selain dunia.
Sebab, kata Abah, esok bukan masa silam dan juga bukan hari ini. Dalam jangkauan detik, manusia yang semula senyum bisa mena ngis. Abah tetap melihat dunia tapi belum ke pincut untuk kembali mengintipnya. Ia kuatir, daya mabuknya tak pernah berubah. Hanya ke milau yang justeru memisahkan jiwanya dari jangkauan ketenangan
Itu sebabnya saya tak merasa cocok me lewati pagi bersama Abah, di teras rumahnya. Kalau pun saya kerap menginah di rumahnya, tak lebih dari sekedar memenuhi hasrat, meman faatkan kebaikan Abah, yang selalu memper silahkan siapa pun untuk menikmati makan dan minum gratis, di rumah Abah.
Jadi, saya sering menginap di rumah Abah, atas keinginan pribadi dan bukan atas permintaan Abah. Bukan berarti Abah tak hen dak ditemani. Setiap malam, selalu ada anak muda yang keinginannya bermalam, tak dipe nuhi Abah.
Abah malah suka jika saya atau teman teman menginap di rumahnya
“Kalian adalah tamu istimewa. Saya wajib menjamu setiap tamu, baik yang hanya sesaat atau menginap”
Begitu kata Abah.
Abah selalu menyiapkan sajian
Hidangan untuk tamunya, selalu ada
Padahal, Abah tinggal sendirian.
Isterinya, minta bercerai karena tak sanggup mengikuti Abah yang semula hanya mengintip dunia lalu fokus mengintai selain dunia. Ketiga anak Abah, memilih ikut ibu me reka. Abah memberi mereka perusahaan yang pernah dibangunnya.
Begitu pun kekayaannya Kata Abah, ia hanya mengambil secukupnya Untuk kebutu han sehari-hari, selama dua puluh tahun. Sele bihnya, Abah serahkan untuk isteri dan tiga anaknya.
Uangnya ia titipkan. Abah yakin, saha batnya yang membuat Abah kepincut menginta selain dunia, istiqomah. Buktinya, setiap bu lan, Abah mendapat kiriman bagian keuntu ngan dari uangnya yang dipakai untuk modal bisnis oleh temannya. Abah tak menyoal jum lahnya berapa. Sebab, tak meminjamkan. Tak meminta bunga. Sampai saat ini, tak pernah ter sendat.
Rumah yang kini ditempati Abah, la dang yang dimanfaatkan oleh Abah untuk ber cocok tanam, dibeli saat ia mulai berhasil mem bangun perusahaannya.
Tak hanya saya yang merasa leluasa menikmati makan dan minum gratis jika mengi nap di rumah Abah. Hanya, saya sendiri saja yang jika Subuh tiba, kadang berkenan jadi makmum. Meski begitu, saya sering kesal
Sebab, Abah selalu membaca Al Baqa rah di rakaat pertama, dan Surah Yassin, di rakaat kedua. Tiap bermakmum, kaki saya pasti kesemutan. Itu sebabnya, kadang saya kesal dan juga menyesal. Tak lain karena saya mengi ra akan selesai dengan cepat. Nyatanya, bermak mum dengan Abah, tak pernah berubah. Jadi , harus siap berdiri lama dan kesemutan.
Saya pernah protes pada Abah, karena menurut saya, tak harus membaca surat yang begitu panjang. Namun, Abah tak jemu menje laskan. Katanya, itu sebabnya Abah selalu sha lat Subuh di rumah. Mengapa? Karena semasa muda, ia kuat menghabiskan waktu lama hanya untuk setan. Untuk hal yang sama sekali tak bermanfaat.
Jadi, kata Abah, jika waktu muda ia bi sa membuang waktu untuk begadang, sejak lima belas tahun silam, Abah mulai berusaha agar bisa berlama-lama berdiri saat melaksana kan shalat. Jadi, jika dulu waktunya dihabiskan untuk hawa nafsu tak berfaedah, kini dikhusus kan untuk hawa nafsu Mutmainah. Nafsu beri badah kepada yang telah Menciptakan Abah

******
Tiap pukul delapan, Abah sudah di ladang Semua yang ingin Abah lakukan, sege ra dikerjakan. Memperbaiki pagar. Menyiangi rumput liar. Membersihkan dedaunan yang ber serakan. Atau, menimba air untuk menyiram ta naman. Setelah itu, Abah baru mencangkul. Istirahat setelah merasa tubuhnya bersimbah ke ringat
Saya heran, pada Abah, karena ia tak pernah mengeluh. Dalam capek atau lelah, ia hanya minum dan terus tersenyum. Ketika be lum ada hasil kebun yang bisa dijual, keluhan Abah tak pernah terdengar. Malah tiap tahu su dah ada yang bisa dituai, tapi akhirnya hilang dicuri tetangga atau dirusak oleh ternak milik tetangga- yang kerap masuk ke ladangnya, se nyum itulah yang diperlihatkan
Abah tak pernah mengeluh terlebih ma rah.Meski singkong atau tanaman lain yang ak an dituai ternyata juga telah dicuri entah oleh siapa, tetap saja abah leluasa mengurai senyum nya
Abah sudah Nur Yaqin.
Yang hilang bukan miliknya. Rezeki nya hanya yang dimakan. Bila bisa menuai dan laku dijual, baru dibelanjakan setelah berinfaq Bila tetangga membutuhkan, ia tak ragu membe
rikan semua hasil ladangnya
Dan, Abah yang pernah beberapa kali memergoki pencuri di ladangnya, selalu berha sil menangkapnya. Saya kagum pada Abah da lam hal menangkap pencuri yang kepergok di ladangnya.. Saya yakin, Abah pasti punya ilmu bela diri.
Hanya, saya sering kecewa pada Abah, se telah berhasil menangkap pencurinya, saya tak bisa berpartisipasi untuk membuatnya babak be lur. Sebab, Abah malah mengajak si pencuri ke rumahnya. Saya diminta agar tidak memberita hu siapa pun. Sulit menolak permintaan Abah
Setiba di rumah, Abah mengajaknya ma kan. Lalu, memberinya ongkos untuk pulang dan bekal makanan untuk isteri dan anak si pen curi. Juga memberi bibit apa saja yang ada di ru mahnya. Setelah itu, Abah berpesan
“Bila manusia mau menanam bibit men timun, di saatnya, ia tidak pernah menuai ang gur atau apel.Yang pasti dituai, sejenis dengan yang ditanam. Bila manusia gemar menanam keburukan, suatu saat, dia harus ikhlas menuai celaka. Tapi, jika manusia terus menerus mena nam kebaikan, dia harus bersiap menuai dan membagi berkah pada sesamanya. Sebab, ber kah Allah, untuk seluruh hambanya “
Saya pernah kesal, dan memprotesnya Abah, malah mengajak saya makan bersama nya. Saat makan, Abah menjelaskan. Katanya, pencuri itu ada dua. Pertama, karena ia lapar lalu mencuri, tapi hatinya menangis. Kedua, ka rena ia serakah dan setiap berhasil mencuri, hatinya tak pernah merasa puas.
Saya hanya kenyang menikmati nasi dan lauk pauk setelah makan bersama Abah. Ta pi tak mengerti mengapa tak sedikit pun mera sa kenyang mendengar petuah indahnya Padahal, saya sering mendengar saat Abah men jawab, pertanyaan atau protes saya
Terus terang, saya semakin sulit mema hami Abah. Sampai kini, saya belum pernah me
ngerti – terlebih memahami, mengapa Abah selalu berbuat baik dan menghadapi apapun de ngan senyum, sambil jari jemarinya terus mema inkan biji tasbih
Saya justeru sering marah pada pen curi dan selalu berpikir seribu kali, bila semua hasil panen di ladang, diberikan ke tetangga
Tiap saya marah karena hasil ladang di curi dan tetap berpikir seribu kali untuk mem beri, Abah, malah kerap kali melakukannya
Saya makin tak mengerti, apakah ka rena hal itu, ladangnya tak pernah habis dari umbi, buah-buahan dan yang lainnya. Jamur terus bermunculan di ladangnya. Setiap pagi, selalu ada jamur di ladang Abah. Selain sering dijual ke pasar, juga dibagikan ke tetangga
Saya sering keblinger, karena di penghu jan atau di musim kemarau, selalu diajak Abah untuk memetik jamur di ladangnya. Di ladang saya sendiri yang bersebelahan dengan ladang Abah, jamur hanya tumbuh sesekali
Abah bilang, begitulah jika Allah meng hendaki. Dengan kekuasaannNya, Allah meng hidangkan hambanya bekal agar hambanya me nikmati hidup makmur. Hidup makmur, menu rut abah, adalah hidup yang selalu memberi de ngan hati. Tuhan pasti memberi pengganti ber kali kali.
Saya pernah ingin menjalani dan menik mati hidup, seperti abah. Tapi akhirnya, saya malah ingin menjalani dan menikmati hidup yang tidak seperti abah. Padahal, saya belum pernah mencatat, menghitung, dan mengkritisi kebodohan dan prilaku buruk saya.
Saya pernah bertanya, mengapa saya tak pernah bisa seperti atau setidaknya punya keinginan seperti abah? Beliau malah tertawa.
Saya bilang, saya tak suka ditertawa kan. Abah katakan, tawanya bukan karena perta nyaan saya.Abah tertawa karena juga kemauan pernah begitu lama bersemayam dalam dirinya.
“Jika setiap manusia ikhlas melepaskan nya, maka kemauan itu lenyap dan manusia tak akan lenyap kecuali ajal menjemputnya. Kema uannyapun tetap ada. Tapi, kemauan yang me nguatkan dan bukan kemauan yang melemah kan manusia “
“Apa salah jika saya yang masih mu da punya kemauan, dan selama saya ada, kema uan itu tetap bersama saya ?”
“Sama sekali tak salah. Malah itulah kebenaran jika menurut kamu memang seperti itulah yang benar”
“Jadi, saya tak keliru berpandangan se perti itu?”
Seperti biasa, Abah pasti tersenyum.
Lalu Abah kembali bicara.
“Setiap ciptaan Allah, dibekali kema uan. Hanya, untuk apa kemauan itu dipertahan kan, harus dipahami dan harus diolah sedemiki an rupa,agar kemauan benar-benar menjadi hik mah dan bukan menjadi selain hikmah.
Jika tidak, malah menjadi semakin asing dan akhirnya sama sekali tak pernah tahu, apakah kelak, menyelamatkan atau malah men celakakan? Apakah nantinya membuat manusia lebih dekat dengan Sang Pencipta, atau malah semakin berjarak denganNYA “
Saya pusing jika bicara dengan Abah
Saya baru merasa senang, ketika akan pulang, Abah yang tengah menikmati paginya memanggil dan menahan saya. Saya senang ka rena diminta tolong Abah. Inilah pertama kali saya diminta Abah untuk menolongnya. Selama ini, selalu Abah yang menolong saya.
Sambil menyerahkan kunci rumahnya, Ab ah minta agar sekitar jam sebelas saya datang. Menurut Abah, sekitar jam sebelas, akan ada tamu datang ke rumahnya. Abah mengama nah kan agar saya menyampaikan amplop warna coklat untuk tamunya.
“Nanti amplop coklatnya saya letakkan di meja ruang tamu. Sekitar jam sembilan saya akan pulang kampung,” kata Abah.
Saya sangat senang, karena diberi ke sempatan oleh Abah untuk membalas kebaikan nya. Setelah itu saya langsung pamit. Saya tak pernah ingin menemani Abah, jika dia sedang menikmati paginya.
Sesampai di rumah, saya kesal pada di ri sendiri. Sebab, baru terpikir, sebenarnya saya bisa minta ke Abah, agar diberi kesempatan me nolong untuk hal yang lebih berat. Mencangkul ladangnya,misalnya. Atau, mengecat rumah Ab ah, yang dinding ruang tamunya sudah buram.
Saya ikhlas dan Abah tak perlu menge luarkan uang. Saya tak ingin dibayar berapa pun. Saya hanya ingin membalas kebaikan Abah. Saya berjanji, setelah Abah kembali ke rumahnya, saya akan sampaikan keinginan saya dan berharap Abah bersedia memenuhinya.
Saya tak punya firasat apa pun, saat jam sebelas kurang beberapa menit, membuka pintu rumah Abah. Saat saya ambil amplop coklat di meja ruang tamu, saya langsung tercekat. Kaget , karena mendadak mencium aroma wewangian
Aroma wewangian yang begitu harum, se makin merebak saat saya membuka amplop cok lat.Dengan hati-hati saya mengeluarkan isi am plop coklat yang ukurannya lebih panjang dan lebih lebar dari kertas folio.
Saya ternganga membaca tulisan di kertas
bagian teratas. Berbunyi Innalillahi Wain na Ilaihi Roji’un. Di lembar kertas kedua, entah pesan entah puisi.
Hari ini, saya pulang
ke kampung paling melahirkan
ke halaman paling menghidupkan
ke tempat selain dunia
Di ladang yang sudah berliang
baringkan saya di sana
Saya di kamar
di sisi kain kafan dan lainnya
saya ingin kamu mengantar
agar cepat sampai di ladang
Rumah dan isinya jual saja
gunakan untuk anak yatim piatu
yang ingin sekolah dan ingin
menggapai akhlak mulia
Ladang saya sudah jadi ladangmu
tapi tolong makam saya tetap disitu
jangan sampai di bongkar makelar tanah
kecuali kamu ingin punya mesjid
atau pesantren, untuk membahagiakan
Rukmini.

Baru kali ini saya menangis sesenggukan.
Baru kali ini saya mengumumkan tentang Abah yang telah pulang ke kampung halaman. Orang-orang berdatangan. Mengucurkan air mata. Mereka sulit melupakan kebaikan Abah.
Buat saya, inilah pengalaman terindah, selama kenal dengan Abah, yang ternyata memahami keinginan saya, yang juga sangat ingin berbuat baik seperti yang kerapkali dicontohkannya.
Baru kali ini saya menangis sesenggukan, panjang dan baru berhenti setelah sadar sudah sampai di sisi makam. Mengantar Abah, yang ternyata sudah siapkan bekal, untuk kembali ke kampung yang paling melahirkan, dan hala man yang paling menghidupkan.
Usai pemakaman, saya kembali ke rumah Abah. Tapi sampai malam, tamu Abah tak kun jung tiba. Padahal, saya harus menyampaikan amplop coklat dan isinya. Harus jual rumah dan isinya, untuk anak yatim piatu, seperti yang diinginkan Abah.
Saya tak tahu, sanggup dan tidaknya memanggul beban berat dari Abah. Saya hanya sanggup bergegas mencatat, menghitung dan mengkritisi prilaku buruk dan kebodohan yang pernah saya lakukan.
Jika senyum Rukmini tak lekas hilang, saya tak akan mampu mengintip selain dunia, seperti Abah, yang sudah pulang kampung, dan saya hanya bisa mendoakan semoga beliau tiba ke halaman halaman di mana juga ada kehidupan yang paling menghidupkan.





CERBUNG: (10)


MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank

SEPULUH


Karena mendadak, supir kendaraan di belakang sedan yang dikemudikan Tarman, tak mampu mengendalikan mobil boksnya. Supirnya dan kenaknya pun, tak sempat beristighfar, ka rena tengah berbincang dengan kneknya. Saking asyik dan membuat supir dan knek ngakak ba reng, tak tahu jika sedan di depan mereka ber henti mendadak.
Tak ingin celaka, boleh saja. Tak ingin terkena musibah atau bencana, sah-sah sa ja. Siapa dan dimana pun, yang namanya manu sia, punya keinginan yang sama. Ingin selamat. Tak ada yang ingin mendapat kecelakaan. Berba gai bentuk musibah, mulai Tsunami sampai ban jir yang hanya semata kaki pun, inginnya dihin darkan. Tapi, sanggupkah manusia ‘berontak’ da ri kehendak Tuhan?
Semisal di belakang sedan yang dike mudikan Sutarman tak ada kendaraan lainnya, bo leh jadi, pak Sadewa hanya luka di kening , ka rena terbentur sandaran jok depan mobilnya. Ta pi, isterinya ? Belum tentu sekedar luka ringan, setelah ia terpental akibat mobil yang dibawa Su tarman berhenti dengan sangat mendadak
Nyatanya, di belakang sedan mewah mereka, banyak kendaraan lainnya. Salah satu nya, mobil boks besar, mengangkut berbagai jenis sembako. Bukan mobil itu yang membuat sedan di depannya--yang berhenti mendadak, tertabrak. Tapi, karena pengemudinya, tengah asyik berbincang, dan menurut kneknya, yang luka parah, ketika mereka asyik tertawa terba hak-bahak, jarak mobi boks besar dan sedan yang berhenti mendadak, hanya beberapa meter.
Jika supir sedan malah secara tak se ngaja menginjak rem, pengemudi boks yang gu gup dan berusaha menginjak rem, dalam keadaan demikian, malah menginjak gas. Tabrakan tak ter hindarkan. Benturan yang begitu keras dan sam pai menimbulkan suara menggelegar, tak saja me ngagetkan para penumpangnya. Orang-orang di tepi jalan pun, terkesiap.
Mereka, seketika berhamburan. Mo bil dan kendaraan lain yang melintas, dan jarak nya berdekatan, memang ada yang langsung saja menghilang. Tapi, juga banyak yang menghen tikan kendaraannya
Keingin-tahuan tentang nasib pengen dara dan penumpangnye, membuat kerumunan yang malah merepotkan pihak yang ingin mem bantu menyelamatkan, terhalang oleh kerumunan orang yang hanya ingin sekedar melihat nasib orang lain yang mengalami musibah.
Seketika, jalanan jadi macet total. Ke banyakan pengemudi, tertarik menghentikan ken daraan mereka, dengan seenaknya.
“ Kayaknya, semua penumpang sedan tak tertolong. Mati semua,” kata seseorang de ngan raut wajah yang biasa-biasa saja.
“ Pengemudi dan knek mobil boksnya mati juga?” tanya seorang pengemudi, dari da lam mobilnya. Ia kesal, karena yang ditanya ma lah mempercepat langkahnya.
Ia baru tahu, setelah beberapa orang mengejar sambil berteriak kencang.
“ Copet. Copeeet. Tangkap, orang itu, copet!”
“Pantas gue tanya dia malah jalan makin cepat. Nggak taunya, tuh orang, copet “ Gerutu si pengemudi yang lantas menggerakkan mobilnya. Ia tak sempat memperhatikan orang-orang yang mengejar copet, karena pengendara di belakangnya, terus membunyikan klakson.
Setelah melihat tiga ambulans yang dalam waktu singkat sudah tiba di lokasi keja dian, orang-orang yang berkerumun tak bisa le bih lama bertahan. Ketangkasan petugas bekerja, membuat evakuasi berlangsung dengan begitu singkat. Ketiga mobil ambulan bergerak lagi. .
Bunyi sirene yang memekakkan teli nga, entah sekedar menyuarakan permintaan agar diberi keleluasaan untuk melaju dengan kencang, atau sekaligus menyuarakan duka cita.
Yang jelas, orang-orang yang berkeru mun tak ada yang berkomentar, segalanya berja lan dengan cepat. Seperti halnya ketiga mobil am bulan, yang bergerak beriringan. Entah menuju rumah sakit terjauh atau paling dekat. Yang jelas, mereka hanya bisa memandang dan setelah am bulan lenyap dari pandangan mata, satu persatu meninggalkan lokasi kejadian.
Dua petugas polantas nampak sibuk melaksanakan tugas. Mengatur kembali agar ke macetan segera teratasi. Seorang lagi, sibuk ber komunikasi, sampai akhirnya, ia memberi aba-aba pada pengemudi mobil derek agar leluasa me laksanakan tugasnya. Membawa mobil sedan me wah yang rusak berat ke kantor polisi. Dan mobil boks besar, yang juga diderek ke tempat yang sama.
Bondan terbangun. Kondisi tubuhnya be lum pulih. Jauh dari segar. Memang sangat ken tara, jika Bondan masih lemas. Tapi suhu tubuh nya sudah berubah. Tidak lagi panas, seperti sebelum dikompres. Bondan baru ingin memang gil mbok Sinem. Tapi, saat ia menoleh ke pintu kamar, matanya menangkap sosok mbok Sinem, yang pantatnya terduduk di lantai, kepalanya tersandar ke tempat tidur Bondan.
Bondan membatalkan niat, memanggil mbok Sinem. Meski tubuhnya masih terasa le mas, Bondan meraih bantal. Dan perlahan ia me nggerakkan tubuhnya ke tepian ranjang. Dengan sangat hati-hati, Bondan meraih bahu mbok Si nem. Meski perlahan, ia bisa menarik tubuh si mbok, yang sedemikian lelap. Bondan melihat ruang yang cukup, untuk menempatkan batal empuk ke sisi bagian bawah ranjangnya.
Bondan sempat terengah-engah. Tapi, kepala si mbok sudah bersandar ke bantal empuk. Membuatnya lega. Terlebih, mbok Si nem terlihat sangat letih. Begitu lelapnya, hingga tak terbangun saat Bondan mengangkatnya. Bon dan menatap sejenak wajah mbok Sinem yang te rus lelap karena lelah menjaga dan mengurusnya.
Bondan melihat jam tangannya. Ia tersentak. Soalnya sudah setengah enam. Sudah menjelang maghrib. Bondan menguatkan diri, melangkah ke kamar mandi. Meski perlahan, ia bisa sampai ke pintu kamar mandi. Tapi, niatnya masuk terhambat. Ia mendengar jelas suara, si mbok.
“ Deeeen… Maaf…mbok tertidur. Biar si mbok membantu memapah”
Bondan menoleh. Melihat si mbok bergegas berdiri. Meletakkan bantal ke ranjang nya. Menghampiri Bondan dengan tergesa. Tapi, Bondan menolak keinginan mbok Sinem, yang ingin memapahnya ke dalam kamar yang hanya tiga meter dari ranjangnya

Bersambung

CERBUNG (9)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

SEMBILAN


Susilawati yang matanya terpejam, melenguh. Mengeluh. Keluhan senang. Perlahan, Johan bergerak. Ke Sofa panjang, yang mudah dicapai karena memang sangat dekat. Ia membaringkan tante Susi yang sama sekali tak meronta kecuali melenguh, ke sofa panjang yang empuk. Jari-jemari tangan kanannya terus menjelajah, ke pung gung dan membuka tali beha. Jari lainya, terus mengelus bagian tubuh yang menggoyahkan. Perlahan, jari jemari itu menarik celana dalam warna pink
“ Jangan di sini, Johan “
“Kenapa?Bukankah di sini, juga sama “
“ Nanti, ketahuan Si Ati dan mang Dudung “
Susilawati kuatir, tapi tangannya mulai meraba dan terus merayap ke sela-sela celana pendek Johan. Tangannya yang lain, merambat di dada Johan yang berbulu lebat. Johan tak diam Ia terus “menerkam” dengan cumbuan yang membuat Susilawati blingsatan tak keruan
“ Tak perlu kuatir. Yang penting, saya bisa membuat tante tidak kesal lagi “
“ Saya sudah melupakan “
“ Terima kasih,” desis Johan.
Johan menarik perlahan daster tipis yang masih melekat ditubuh Susilawati. Sampai akhirnya lepas. Lalu melempar begitu saja. Tante Susi memelorotkan celana pendek Johan. Susilawati yang sudah terbaring di sofa panjang, menatap Johan sambil mengurai senyumannya yang aduhai.
Johan melakukan hal yang sama. Sambil terus menatap, tangan Johan meraih kedua paha Susi. Menggesernya perlahan. Ke bagian kiri dan kesebelah kanan.
Perlahan, Johan menurunkan tubuh. Susilawati yang kembali memejamkan mata, memasukkan benda yang sejak tadi digenggem dan dielus-elusnya. Perlahan, Johan menurunkan tubuhnya. Desah nafas Susilawati, beru bah. Johan berbisik. Minta Susilawati memenuhi janjinya
“ Yaa, sayang. Pasti tante penuhi. Seka rang, tolong cepat bawa tante ke ujung dunia. Terbangkan agar secepatnya sampai ke surga”
Johan tersenyum. Ia tahu apa yang kemudian harus segera ia lakukan, agar Tante Susi bisa menggelinjang dengan lincah, bersama helaan nafasnya yang tak beraturan. Nafas yang menderu-deru dibelenggu nafsu
*********


BARU kali ini pak Sadewa merasa ber ada dalam posisi bingung. Biasanya, setelah da pat kabar dari mbok Sinem, ia tak pernah bi ngung. Terlebih dibingungkan oleh keadaan. Se bab, ia selalu bisa dan leluasa mengkondisikan keadaan Setiap mengatakan tak bisa datang, ia langsung transfer. Selesai mentransfer uang yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja, ia sudah bisa fokus dengan kesibukannya. Ia tak pernah ber tanya, apakah mbok Sinem benar atau dusta atau hanya mengada-ada
Kali ini, pak Sadewa justeru merasa bi ngung. Terlebih, ia sedang di mobil, membawa, menjaga, dan mengantar Marina, isteri ketiga nya. Bukan kehotel atau tempat wisata. Dan bu kan untuk bersenang-senang Tapi ke rumah sakit bersalin terdekat. Ia bingung karena sejak berang kat dari rumah, Marina terus mengeluh.
Di saat seperti itu, mbok Sinem malah mengabarkan Bondan sedang sakit. Ia sendiri, sedang sibuk mengawasi, menjaga dan mem bujuk sang isteri yang terus menerus mengeluh sakit sambil tak henti-hentinya ngelus-elus perut nya. Kabar dari si mbok dan rintihan isterinya yang merasa kesakitan sejak mereka berangkat dari rumah, membuat pak Sadewa jadi pening. Stress
Sopirnya, yang biasa bisa bawa mobil dengan tenang, melihat pak Sadewa resah di dalam mobil, malah jadi gugup.
“Larinya, cukup seperti ini atau saya harus percepat lagi, boss?”
“ Yaa, harus cepat, bodoh. Tapi, tetap hati-hati. Awas, kamu kalau sampai celaka,” bentak pak Sadewa
Ia pantas jadi emosional, karena sang supir malah minta ijin hanya untuk cepat atau tidak cepat melarikan mobil. Bukankah ia supir dan lebih tahu apa yang harus dilakukan saat sang majikan tengah repot mengurus isterinya yang akan melahirkan?
Pak Sadewa tak berpikir panjang atau malah tak tahu atau tak ingat, supirnya, yang jika dibentak, malah makin grogi. Bukan bisa cepat mengendalikan diri dan mengantisipasi situasi. Sang supir yang biasa taat aturan lalu lintas, tak segera menyalakan lampu sein, meski tak jauh lagi harus berbelok .
“ Nyalakan lampu seinnya, bodoh. Langsung rapat ke kiri karena di belokan yang sudah dekat itu, kita harus belok ke kiri “
“ Si..siap, pak !”
Siapnya bukan dalam arti sebenarnya. Sebab, yang lantas dilakukan, bukan menyalakan lampu sein. Sutarman, malah memencet klakson. Membuat pak Sadewa terperanjat. Emosinya, kian menguat. .
“Bukan klakson, Tarmaaan. Tapi lampu sen !” Pak Sadewa kembali membentak
“ I..i..iya, pak “
Tarman berusaha menyalakan lampu sein. Tapi, karena kaget, meski bisa menyalakan lampu sein, kakinya yang gemetar, spontan bergerak dan menginjak rem, sekuatnya. Sampai habis. Sedan yang semula melaju de ngan kece patan agak tinggi, seketika itu juga, terhenti.

Bersambung …....

CERBUNG (8)



MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank

DELAPAN


Di satu tempat yang tak diketahui baik oleh Bondan maupun Mbok Sinem, Susilawati menutup hapenye. Dia ngedumel karena masih belum bebas dari rasa kesal.
“ Baru demam, bukan ke dokter malah minta ibunya pulang. Kenapa anak itu jadi mendadak cengeng, sih? Apa dia nggak tau , ka lau ibunya lebih menderita? Apa dia nggak mi kir, aku bukan pembantu? “
Entah kenapa Susilawati jadi kelihatan begitu kesal. Entah kenapa Susilawati tak suka mendengar kabar kalau Bondan, anak kandungnya, yang sungguh sungguh sangat merindukan kehadiran ibunya yang dikabarkan sedang demam, malah ditanggapi dengan emosi
“ Tante…mana kopi panas saya?”
Kalau saja Susilawati tak mendengar suara lelaki yang bernada manja dari dalam rumah, ia tak bergegas beranjak dari kursi taman, halaman rumahnya.
“Pagi-pagi, bukannya mempercantik wajah, lalu sediakan saya kopi dan sarapan pagi untuk kita berdua, malah termangu dan cemberut. Ada apa sih, tiba-tiba saja tante jadi seperti pemain lenong yang habis mentas tapi honornya nggak dibayar ?”
Johan, anak muda sekitar 30 tahunan, yang hanya bercelana pendek, langsung menegur Susilawati yang ba ru saja masuk ke ruang tamu.
“ Apa kamu bilang ? “
Johan, yang dadanya bidang, dengan bulu berham buran di sekujur dadanya, tercengang. Ia tak menyangka, Susilawati yang belum lama berselang menggelinjang tak ada habisnya, terus mengetatkan pelukan dan tak habis ha bisnya mengumbar senyumannya yang merangsang, berka li-kali melenguh tiap merasakan nikmat yang ia berikan , dan selalu mengucapkan kalimat yang sama :
“Terima kasih, Johan. Hanya kamu yang cerdas dalam memberi kepuasaan dan membahagiakan tante, “ dengan suara indah dan sikapnya yang begitu mesra sam bil mengelap keringatnya yang membanjiri tubuhnya, me nanggapi candanya dengan emosional.
“Kalau aku tanya, kamu harus cepat jawab. Jang an berlagak tidak merasa bersalah ?”
“Maksud saya, kan, cuma kepingin bercanda, tan te. Tidak ada maksud lain kecuali ingin membuat suasana lebih indah. Agar kita tetap hepi “
Johan, segera menyahut. Tapi, kalimat yang ter ucap, jauh panggang dari api. Sama sekali tidak asli. Jauh dari kejujuran. Terus terang, jika melepas kata-kata yang terbersit dihati, bisa jadi bensin dan membakar emosi Ia kuatir suasana jadi kisruh. Sebab, Johan melihat emosi tan te Susilawati sudah tersulut. Entah karena apa dan oleh siapa.
Johan memilih mengalah, karena kuatir, tante Susilawati membatalkan kesediaannya memberi bayaran lebih. Johan tak ingin permintaannya yang telah disanggupi malah lantas diingkari, karena setelah berhasil memberi kepuasan di ranjang, dinilai gagal memberi kepuasan diluar ranjang
Hal itu, yang memaksa Johan berkata tidak jujur, Mestinya, yang ia bilang seperti ini.
“ Saya, kan, sudah kehabisan energi karena semua stock yang ada, sudah saya salurkan untuk memba kar hasrat tante. Masa’ mau ngopi dan sarapan agar dapat mengembalikan energi yang hilang, harus minta. Mestinya, kan, seperti biasa, sudah tersedia. Urusan tante yang meminta kepada pelayan villa “
“ Ingat, yaa, Johan. Lain kali, silahkan becanda. Tapi, jangan ketika saya sedang kesal. Kalau kamu tidak suka saya ingatkan, sekarang juga, kamu saya persilahkan pergi dari villa saya. Toh, saya tidak pernah sulit mencari pengganti kamu. Kapan saja saya perlu gigolo, hanya ting gal menelpon, dan yang jauh lebih hebat dari kamu bisa saya dapatkan “
“ Sorri, tante. Saya tidak tau kalau tante sedang kesal. Saya sungguh-sungguh minta maaf, tante “
Johan yang jadi kuatir kalau “honornya” tidak dibayar, ingat kedua anaknya yang perlu biaya sekolah. Ingat isterinya yang kerap didatangi tetangga untuk menagih hutang, dan ingat tukang kredit barang yang juga datang untuk tujuan yang sama : menagih cicilan barang yang diambil isterinya, dengan atau tanpa sepengetahuannya
Meski begitu, Johan tak kehilangan pikir. Ia segera bangkit dari kursi.. Mendekat. Menatap tante Susi lawati yang bibir seksinya masih cemberut. Tangan kanan Johan meraih pinggang Susilawati. Tangan kirinya menyi bak daster tipis yang membalut tubuh tante Susi. Menyentuh sela-sela strategis kakinya. Dan usapan tangan Johan terus bergerak liar.
Susilawati terdiam. Matanya terpejam. Johan merapatkan bibirnya ke leher Susilawati yang jenjang.
“ Johan…kamu jangan nakal. Saya nggak kuat,”
Emosi Susilawati, mendadak luluh.


Bersambung …..........

CERBUNG (7)


MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank

TUJUH


        Bondan kembali berbaring. Dengan penuh perhatian dan ketulusan  si mbok Sinem menekan dan menggerak-gerakan botol – berisi air panas, yang dilapisi handuk. ke sekujur tubuh Bondan
“ Kita harus banyak beristighfar, den. Agar hati selalu terjaga, dari segala keburukan. Dari segala hal yang bisa membuat kita lemah “
“Iya, mbok. Terima kasih, si mbok sudah memperhati kan dan mengingatkan saya “
Bondan sudah kembali tenang. Air panas di botol yang sebentar-sebentar bergerak dari dada ke perut dan sebaliknya, benar-benar menghangatkan dan membuat demamnya cepat turun. Ketulusan mbok Sinem merawat Bondan yang tiba-tiba terserang demam, membuat Bondan akhirnya kembali tertidur lelap.
Mbok Sinem kembali ke kamar mandi. Menuang isi botol yang sudah dingin, lalu meletakkanya di sisi wastafel. Setelah menjembreng handuk kecil, ia membuka kran air panas. Si mbok menaruh handuk kecil di wastafel. Mema tikan kran. Dengan hati-hati si mbok memeras handuk kecil yang barus saja dibasahi dengan air panas.
Si mbok kembali ke kamar. Sejenak, ia menatap Bon dan yang sudah lelap. Ia lalu mendekat dan meletakkan handuk hangat ke kening Bondan.
“ Duh Gusti, hanya Engkau yang sanggup melindungi dan meneguhkan jiwanya “ guman si mbok, yang seusai mendoakan bergegas meninggalkan Bondan.
Mbok Sinem terus berharap agar bu Susilawati mende ngar nada panggilan dari selulernya dan menjawab pang gilan si mbok yang mengontaknya.
“ Duh Gusti…tolong buka pintu hati ndoro Susi.
Jangan biarkan ndoro Susi jadi tuli “
Si mbok tidak ingin kecewa, meski telah beberapa ka li memanggil, bu Susilawati tak juga menjawab. Si Mbok meletakkan gagang telpon dan bergegas kembali ke ka mar Bondan. Ia menarik nafas panjang. Merasa lega meli hat Bondan semakin lelap.
Mbok Sinem hanya bisa merasa kasihan pada Bon dan. Ia punya orangtua tapi lebih malang dari anak-anak yatim piatu, yang malah dapat perhatian lebih dari para pengurus panti asuhan. Ia hanya diberi materi berlebihn ta pi tak dilengkapi dengan kasih sayang. Diberi payung ke mewahan tapi hanya membuatnya kehausan belaian kasih dan lapar parhatian
Kalau saja pak Sadewa dan bu Sisilawati membe rinya tablet kasih sayang, cinta dan perhatian yang tulus dan sepenuh hati, Bondan pasti tak harus terus menerus menahan rasa haus dan lapar terhadap cinta kasih.
“ Duh Gusti…hanya karunia dan hidayah Engkau yang menguatkan jiwanya. Hamba hanya bisa membantu dengan kebodohan dan ketidak-tahuan “
Tak cuma batin mbok Sinem yang menangis. Air ma ta mbok Sinem pun meleleh di pipi. Mbok Sinem yang berdiri di ambang pintu kamar Bondan, hanya bisa mena tap dan kalau pun ia melihat duka nestapa di wajah anak majikannya, tak mampu berbuat apa-apa
Dulu, mbok Sinem tak pernah merasa seperti ini. Saat Bondan hanya bermabuk mabukan, jarang di rumah kecuali bersenang-senang dengan cewek abg dan teman-temannya, mbok Sinem tak pernah menangis. Juga tak pernah merasa terganggu. Toh, ia ada hanya untuk kerja. Melayani kebutuhan majikannya
Selama ia suka dan bisa melakoninya, tak berhak menegur terlebih menasihati. Jika tak suka dan tak sang gup menjalani, tak ada larangan untuk pergi secepatnya dari rumah majikannya. Mau kembali ke kampung hala man, silahkan. Pindah ke maji kan lain, monggo wae. Mbok Sinem bebas mengambil keputusan dan melakukan
Tiba-tiba mbok Sinem terkesiap.
Ia mendengar dering pesawat telepon.
Mbok Sinem melangkah tergopoh. Bergegas me ngangkat pesawat telepon.
Susilawati, tak menampakkan kecemasan apapun. Ia malah kelihatan marah saat bicara lewat seluluernya.
“ Ada apa, sih, nelpon saya sampai berkali kali….maaf…maaf… Apa si mok nggak tahu kalau saya jadi sangat terganggu,” kata suara di sebrang sana yang penuh emosi.
“ A... a..anu ndoro. Den Bondan demam dan memanggil manggil ndoro,” Mbok Sinem mencoba menjelaskan. Namun, ia kembali mendengar suara yang mengandung amarah
“ Aaaah, baru demam saja sudah kepingin ngerepotin saya.
Mbok, ingat ya, Bondan tuh sudah besar. Dia kan bisa pergi ke dokter. Kalau perlu dirawat, telpon ambulan dan bawa saja ke rumah sakit ….
Apa ? Aaaah…bilang sama dia, buat apa manggil manggil saya. Bapaknya, kan, ada dan tiap saat bisa dihu bungi…… Dengar baik-baik, ya mbok. Sekarang, cepat si mbok hubungi ayahnya. Bilang sama ndoro Sadewa, anak ndoro sakit karena rindu kasih sayang ayahnya. Selama ia sakit, yang diinginkan hanya satu, ditemani dan dijaga oleh ayahnya…..
Awas, si mbok jangan cuma bilang iya, iya dan iya. Hubungi secepatnya dan tolong katakan, ndoro Susilawati akan menggugat jika dia tak mau menemani dan menjaga anaknya yang sedang sakit……
Apa ? Si mbok jangan macam-macam, yaa?! Ingat... kalau si mbok tidak berani sampaikan permintaan saya, harus siap tanggung risikonya…..
Aaaah..sudah. Pokoknya, jangan berani berani lagi nelepon, saat saya sedang istirahat. Dan bilang sama Bondan, jangan jadi lelaki cengeng. Anak lelaki itu harus kuat. Kalau mau hidup harus siap menerima kenyataan dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa…..
Naah, begitu, dong. Si mbok memang harus nger ti. Orang yang sudah tua itu, harus lebih mengerti. ….
Yaa, sudah. Syukur kalau si mbok maklum “



Bersambung.......