MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
SEMBILAN
Susilawati yang matanya terpejam, melenguh. Mengeluh. Keluhan
senang. Perlahan, Johan bergerak. Ke Sofa panjang, yang mudah dicapai
karena memang sangat dekat. Ia membaringkan tante Susi yang sama
sekali tak meronta kecuali melenguh, ke sofa panjang yang empuk.
Jari-jemari tangan kanannya terus menjelajah, ke pung gung dan
membuka tali beha. Jari lainya, terus mengelus bagian tubuh yang
menggoyahkan. Perlahan, jari jemari itu menarik celana dalam warna
pink
“ Jangan di sini, Johan “
“Kenapa?Bukankah di sini, juga sama “
“ Nanti, ketahuan Si Ati dan mang Dudung “
Susilawati kuatir, tapi tangannya mulai meraba dan terus merayap
ke sela-sela celana pendek Johan. Tangannya yang lain, merambat di
dada Johan yang berbulu lebat. Johan tak diam Ia terus “menerkam”
dengan cumbuan yang membuat Susilawati blingsatan tak keruan
“ Tak perlu kuatir. Yang penting, saya bisa membuat tante
tidak kesal lagi “
“ Saya sudah melupakan “
“ Terima kasih,” desis Johan.
Johan menarik perlahan daster tipis yang masih melekat ditubuh
Susilawati. Sampai akhirnya lepas. Lalu melempar begitu saja. Tante
Susi memelorotkan celana pendek Johan. Susilawati yang sudah
terbaring di sofa panjang, menatap Johan sambil mengurai senyumannya
yang aduhai.
Johan melakukan hal yang sama. Sambil terus menatap, tangan Johan
meraih kedua paha Susi. Menggesernya perlahan. Ke bagian kiri dan
kesebelah kanan.
Perlahan, Johan menurunkan tubuh. Susilawati yang kembali
memejamkan mata, memasukkan benda yang sejak tadi digenggem dan
dielus-elusnya. Perlahan, Johan menurunkan tubuhnya. Desah nafas
Susilawati, beru bah. Johan berbisik. Minta Susilawati memenuhi
janjinya
“ Yaa, sayang. Pasti tante penuhi. Seka rang, tolong cepat
bawa tante ke ujung dunia. Terbangkan agar secepatnya sampai ke
surga”
Johan tersenyum. Ia tahu apa yang kemudian harus segera ia
lakukan, agar Tante Susi bisa menggelinjang dengan lincah, bersama
helaan nafasnya yang tak beraturan. Nafas yang menderu-deru
dibelenggu nafsu
*********
BARU kali
ini pak Sadewa merasa ber ada dalam posisi bingung. Biasanya, setelah
da pat kabar dari mbok Sinem, ia tak pernah bi ngung. Terlebih
dibingungkan oleh keadaan. Se bab, ia selalu bisa dan leluasa
mengkondisikan keadaan Setiap mengatakan tak bisa datang, ia
langsung transfer. Selesai mentransfer uang yang bisa dilakukan
kapan dan dimana saja, ia sudah bisa fokus dengan kesibukannya. Ia
tak pernah ber tanya, apakah mbok Sinem benar atau dusta atau hanya
mengada-ada
Kali ini, pak Sadewa justeru merasa bi ngung. Terlebih, ia sedang
di mobil, membawa, menjaga, dan mengantar Marina, isteri ketiga nya.
Bukan kehotel atau tempat wisata. Dan bu kan untuk bersenang-senang
Tapi ke rumah sakit bersalin terdekat. Ia bingung karena sejak berang
kat dari rumah, Marina terus mengeluh.
Di saat seperti itu, mbok Sinem malah mengabarkan Bondan sedang
sakit. Ia sendiri, sedang sibuk mengawasi, menjaga dan mem bujuk sang
isteri yang terus menerus mengeluh sakit sambil tak henti-hentinya
ngelus-elus perut nya. Kabar dari si mbok dan rintihan isterinya yang
merasa kesakitan sejak mereka berangkat dari rumah, membuat pak
Sadewa jadi pening. Stress
Sopirnya, yang biasa bisa bawa mobil dengan tenang, melihat pak
Sadewa resah di dalam mobil, malah jadi gugup.
“Larinya, cukup seperti ini atau saya harus percepat lagi,
boss?”
“ Yaa, harus cepat, bodoh. Tapi, tetap hati-hati. Awas, kamu
kalau sampai celaka,” bentak pak Sadewa
Ia pantas jadi emosional, karena sang supir malah minta ijin
hanya untuk cepat atau tidak cepat melarikan mobil. Bukankah ia supir
dan lebih tahu apa yang harus dilakukan saat sang majikan tengah
repot mengurus isterinya yang akan melahirkan?
Pak Sadewa tak berpikir panjang atau malah tak tahu atau tak
ingat, supirnya, yang jika dibentak, malah makin grogi. Bukan bisa
cepat mengendalikan diri dan mengantisipasi situasi. Sang supir yang
biasa taat aturan lalu lintas, tak segera menyalakan lampu sein,
meski tak jauh lagi harus berbelok .
“ Nyalakan lampu seinnya, bodoh. Langsung rapat ke kiri
karena di belokan yang sudah dekat itu, kita harus belok ke kiri “
“ Si..siap, pak !”
Siapnya bukan dalam arti sebenarnya. Sebab, yang lantas
dilakukan, bukan menyalakan lampu sein. Sutarman, malah memencet
klakson. Membuat pak Sadewa terperanjat. Emosinya, kian menguat. .
“Bukan klakson, Tarmaaan. Tapi lampu sen !” Pak Sadewa
kembali membentak
“ I..i..iya, pak “
Tarman berusaha menyalakan lampu sein. Tapi, karena kaget, meski
bisa menyalakan lampu sein, kakinya yang gemetar, spontan bergerak
dan menginjak rem, sekuatnya. Sampai habis. Sedan yang semula melaju
de ngan kece patan agak tinggi, seketika itu juga, terhenti.
Bersambung
…....
0 komentar:
Post a Comment