Friday, May 3, 2013

CERBUNG (9)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

SEMBILAN


Susilawati yang matanya terpejam, melenguh. Mengeluh. Keluhan senang. Perlahan, Johan bergerak. Ke Sofa panjang, yang mudah dicapai karena memang sangat dekat. Ia membaringkan tante Susi yang sama sekali tak meronta kecuali melenguh, ke sofa panjang yang empuk. Jari-jemari tangan kanannya terus menjelajah, ke pung gung dan membuka tali beha. Jari lainya, terus mengelus bagian tubuh yang menggoyahkan. Perlahan, jari jemari itu menarik celana dalam warna pink
“ Jangan di sini, Johan “
“Kenapa?Bukankah di sini, juga sama “
“ Nanti, ketahuan Si Ati dan mang Dudung “
Susilawati kuatir, tapi tangannya mulai meraba dan terus merayap ke sela-sela celana pendek Johan. Tangannya yang lain, merambat di dada Johan yang berbulu lebat. Johan tak diam Ia terus “menerkam” dengan cumbuan yang membuat Susilawati blingsatan tak keruan
“ Tak perlu kuatir. Yang penting, saya bisa membuat tante tidak kesal lagi “
“ Saya sudah melupakan “
“ Terima kasih,” desis Johan.
Johan menarik perlahan daster tipis yang masih melekat ditubuh Susilawati. Sampai akhirnya lepas. Lalu melempar begitu saja. Tante Susi memelorotkan celana pendek Johan. Susilawati yang sudah terbaring di sofa panjang, menatap Johan sambil mengurai senyumannya yang aduhai.
Johan melakukan hal yang sama. Sambil terus menatap, tangan Johan meraih kedua paha Susi. Menggesernya perlahan. Ke bagian kiri dan kesebelah kanan.
Perlahan, Johan menurunkan tubuh. Susilawati yang kembali memejamkan mata, memasukkan benda yang sejak tadi digenggem dan dielus-elusnya. Perlahan, Johan menurunkan tubuhnya. Desah nafas Susilawati, beru bah. Johan berbisik. Minta Susilawati memenuhi janjinya
“ Yaa, sayang. Pasti tante penuhi. Seka rang, tolong cepat bawa tante ke ujung dunia. Terbangkan agar secepatnya sampai ke surga”
Johan tersenyum. Ia tahu apa yang kemudian harus segera ia lakukan, agar Tante Susi bisa menggelinjang dengan lincah, bersama helaan nafasnya yang tak beraturan. Nafas yang menderu-deru dibelenggu nafsu
*********


BARU kali ini pak Sadewa merasa ber ada dalam posisi bingung. Biasanya, setelah da pat kabar dari mbok Sinem, ia tak pernah bi ngung. Terlebih dibingungkan oleh keadaan. Se bab, ia selalu bisa dan leluasa mengkondisikan keadaan Setiap mengatakan tak bisa datang, ia langsung transfer. Selesai mentransfer uang yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja, ia sudah bisa fokus dengan kesibukannya. Ia tak pernah ber tanya, apakah mbok Sinem benar atau dusta atau hanya mengada-ada
Kali ini, pak Sadewa justeru merasa bi ngung. Terlebih, ia sedang di mobil, membawa, menjaga, dan mengantar Marina, isteri ketiga nya. Bukan kehotel atau tempat wisata. Dan bu kan untuk bersenang-senang Tapi ke rumah sakit bersalin terdekat. Ia bingung karena sejak berang kat dari rumah, Marina terus mengeluh.
Di saat seperti itu, mbok Sinem malah mengabarkan Bondan sedang sakit. Ia sendiri, sedang sibuk mengawasi, menjaga dan mem bujuk sang isteri yang terus menerus mengeluh sakit sambil tak henti-hentinya ngelus-elus perut nya. Kabar dari si mbok dan rintihan isterinya yang merasa kesakitan sejak mereka berangkat dari rumah, membuat pak Sadewa jadi pening. Stress
Sopirnya, yang biasa bisa bawa mobil dengan tenang, melihat pak Sadewa resah di dalam mobil, malah jadi gugup.
“Larinya, cukup seperti ini atau saya harus percepat lagi, boss?”
“ Yaa, harus cepat, bodoh. Tapi, tetap hati-hati. Awas, kamu kalau sampai celaka,” bentak pak Sadewa
Ia pantas jadi emosional, karena sang supir malah minta ijin hanya untuk cepat atau tidak cepat melarikan mobil. Bukankah ia supir dan lebih tahu apa yang harus dilakukan saat sang majikan tengah repot mengurus isterinya yang akan melahirkan?
Pak Sadewa tak berpikir panjang atau malah tak tahu atau tak ingat, supirnya, yang jika dibentak, malah makin grogi. Bukan bisa cepat mengendalikan diri dan mengantisipasi situasi. Sang supir yang biasa taat aturan lalu lintas, tak segera menyalakan lampu sein, meski tak jauh lagi harus berbelok .
“ Nyalakan lampu seinnya, bodoh. Langsung rapat ke kiri karena di belokan yang sudah dekat itu, kita harus belok ke kiri “
“ Si..siap, pak !”
Siapnya bukan dalam arti sebenarnya. Sebab, yang lantas dilakukan, bukan menyalakan lampu sein. Sutarman, malah memencet klakson. Membuat pak Sadewa terperanjat. Emosinya, kian menguat. .
“Bukan klakson, Tarmaaan. Tapi lampu sen !” Pak Sadewa kembali membentak
“ I..i..iya, pak “
Tarman berusaha menyalakan lampu sein. Tapi, karena kaget, meski bisa menyalakan lampu sein, kakinya yang gemetar, spontan bergerak dan menginjak rem, sekuatnya. Sampai habis. Sedan yang semula melaju de ngan kece patan agak tinggi, seketika itu juga, terhenti.

Bersambung …....

0 komentar:

Post a Comment