MASIH ADA
JALAN
oleh : Oesman Doblank
TIGA
PULUH DUA
BONDAN mengajak
Sabar yang ia tahu sudah tidak sabar, untuk mampir sejenak ke kantin
rumah sakit yang berada di lantai dasar. Tapi, ia tidak memaksa
Sabar, yang menolak dengan alasan kuatir makanan yang ia bawa dari
rumah makan mewah, nantinya malah basi dan akhirnya mubazir, jika
tidak segera dinikmati oleh isterinya.
“Yaa,
sudah. Lu duluan aja, bang. Nan ti gue nyusul ke atas. Oh iya,
dilantai tiga, kamar nomor 313, kan ? “
“Benar
sekali boss. Saya duluan dan nunggu di atas saja, ya?”
“Oke,
salam buat isteri lu. Gue mau ri lek dulu. Hati-hati “
Bondan
melangkah ke kantin. Sabar yang memang sudah tak sabar, melangkah
tergo poh, menuju lift. Sabar yang tangannya menjin jing tas plastik
warna merah berlogo rumah ma kan mahal, tidak kecewa, ketika sampai
di depan lift, ia tak bisa ikut naik karena lift baru saja ber gerak,
naik ke atas dengan penumpang full.
Karena Sabar
yang memang sudah tidak sabar, tak mau menunggu--meski hanya untuk
beberapa saat, hanya berpikir harus cepat sampai ke lantai tiga,
Rumah Sakit Mahal Itu Indah. Ia tak ingin nyasar ke lantai
lain, karena ruang bersalin hanya di lantai tiga. Selebihnya, adalah
lantai untuk ruang rawat inap pasien non bersalin. Ia bergegas
menyusuri tangga
Sabar yang
baru saja menyusuri anak tangga rumah sakit, meski jelas terengah
engah, sama sekali tak merasa lelah. Begitu sampai ke lantai tiga,
langsung bergegas menuju ruang rawat nomor 313.
Ariyani,
isterinya, memang sangat kelihatan tak sabar menunggu kedatangan
Sabar. Begitu melihat suaminya masuk ke ruangan, Ari yani tak
memperhatikan nafas Sabar yang terse ngal dan tas plastik yang dibawa
suaminya. Setelah menjawab salam, mencium tangan sua minya, Ariyani
yang kuatir suaminya tak mampu membayar biaya rumah sakit, langsung
menge luh.
Sabar
terpaksa lebih ingin mendengar kan keluhan isterinya timbang segera
menyodor kan tas plastik dan merogoh amplop setengah ju ta rupiah
yang niatnya akan langsung diserahkan ke isteri nya.
Meski
begitu, Sabar sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dikeluhkan
Ariyani. Saat Ariyani mengeluh, Sabar sengaja berpaling dan ia hanya
menahan senyum, karena kali ini, ia datang dengan solusi yang paling
mumpuni
“ Masih
ada keluhan yang ingin kamu sampaikan?” Tanya Sabar
Sabar
yang yakin, isterinya tak akan mengungkap kalimat lain yang identik
dengan keluhan dan juga kekuatiran, mendekat. Begitu duduk di tepian
ranjang, dengan seksama dan penuh perhatian, ia menghapus air mata di
pipi isterinya
“Bang…kekuatiran saya serius.Abang jangan anggap ringan soal
biaya rumah sakit. Ka lau kita nggak bisa bayar, yang pasti disandera
bukan abang. Tapi saya, tau ?”
“
Tenang saja, Allah itu, kan Maha Besar. Maha Memberi Rezeki bagi
setiap hamba nya. Sekarang, lebih baik kamu nikmati yang abang bawa.
Oh, iya, ini makanan enak, lho. Harganya ? Wooow… di luar
jangkauan. Dua hari narik ojek, belum tentu bisa abang beli “
Sabar
lalu sibuk mengeluarkan bung kusan. Ariyani tak menggubris.
“
Bang…kita butuh uang buat bayar biaya rumah sakit. Mestinya, dapat
duit tuh diirit irit Bukan malah beli makanan mahal. Buat apa sih
berlagak seperti orang kaya?“
Bersambung..........
Bersambung..........
<script type="text/javascript">
var _gaq = _gaq || [];
_gaq.push(['_setAccount', 'UA-41008897-1']);
_gaq.push(['_setDomainName', 'sketsadanpantun.blogspot.com']);
_gaq.push(['_setAllowLinker', true]);
_gaq.push(['_trackPageview']);
(function() {
var ga = document.createElement('script'); ga.type = 'text/javascript'; ga.async = true;
ga.src = ('https:' == document.location.protocol ? 'https://' : 'http://') + 'stats.g.doubleclick.net/dc.js';
var s = document.getElementsByTagName('script')[0]; s.parentNode.insertBefore(ga, s);
})();
</script>
0 komentar:
Post a Comment