MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
DUA PULUH
(6)
BONDAN
memperhatikan dengan seksama rumah yang ditunjukkan Sabar. Situasi
dan kondisi di sekelilingnya, juga tak luput dari perhatian Bondan.
Menurut Bondan, posisinya terlalu dekat dengan jalan utama, yang
padat oleh berbagai kendaraan karena jalan utama komplek perumahan
telah dijadikan jalan alternatif oleh para pengguna kendaraan yang
akan menuju Jakarta atau sebaliknya.
Bondan tak
suka dengan suasana lingkungannya yang pasti bising.
“Kayaknya
gue nggak sreg.Kita cari yang lain aja, “ ujar Bondan sembari
kembali ke motor
Sabar
kecewa. Tapi, sekejap ia sudah bi sa bilang,” Siap boss “ dan
bergegas untuk kembali membawa Bondan ke tempat lain. Tentu saja
Sabar sadar, ia tak cuma harus sabar. Terlebih, penumpangnya yang
sudah membayar lebih sudah mengingatkan
Sabar sudah
ke luar-masuk beberapa komplek perumahan di wilayah perbatasan
Jakar ta – Tangerang. Tapi, sejauh ini, belum juga menemukan rumah
yang sesuai dengan selera dan pilihan yang diinginkan Bondan. Ada
saja alasan, yang membuat mereka harus segera meluncur ke tempat
lain, untuk mendapatkan rumah yang diinginkan Bondan.
Sabar memang
benar-benar harus lebih sabar. Juga tak boleh bingung, meski ia sudah
ke hausan. Pasalnya, penumpangnya saja malah begitu tenang. Sama
sekali tidak terlihat merasa kehausan. Sabar bukan tak merasa heran.
Tapi ju ga merasa tak enak jika ia harus menepi dan harus mampir ke
warung di tepi jalan. Untuk beli air mineral atau minuman apa saja.
“ Kalau
ada rumah makan, langsung mampir, ya, bang. Kayaknya, perut saya
sudah keroncongan, nih “
Tentu saja
Sabar sangat bersyukur. Sebab, saat ia sedang berpikir bagaimana
caranya agar bisa mengatasi rasa haus yang sudah sampai di sela-sela
kerongkongan, dan rasa lapar yang membuat perutnya keroncongan,
penumpangnya malah meminta agar Sabar mampir ke rumah makan..
Terlebih, tak lama berselang, Sabar me lihat rumah makan bagus. Rumah
makan mahal
Sabar
benar-benar plong. Ia jadi kepingin makan di rumah makan yang nampak
di pelupuk matanya. Rumah makan kelas atas. Hanya, jika ia mampir ke
rumah makan itu, apakah penumpangnya berkenan mentraktir ?
Sabar
berspekulasi. Ia berbelok ke rumah makan mewah yang baru saja
dilihatnya. Bila di anggap oleh penumpangnya tak cocok, toh, ia siap
meluncur kembali dengan segera untuk mencari rumah makan lainnya.
Nyatanya,
Bondan, penumpangnya, sama sekali tak protes. Tapi, setelah
menyerahkan helm ke Sabar, ia ngeloyor dengan begitu saja. Tanpa
permisi, tidak ngajak dan benar-benar tak hanya membiarkan Sabar.
Tapi, juga langsung meninggalkan Sabar yang masih duduk di atas
motornya
Tapi, Sabar
hanya sempat tertegun sejenak. Setelahnya, ia sadar, penumpangnya
hanya seorang penumpang ojek yang cuma wajib membayar tapi tak punya
kewajiban untuk mengajak dan mentraktir tukang ojek makan. Terlebih
di sebuah retoran mahal, yang pastinya, harus punya uang karena
makanan yang dijual, bukan untuk kalangan pengojek. Kecuali sanggup
membayar menu makanan yang terbilang mahal
Sabar yang
sadar siapa dirinya dan mengapa ia ditinggalkan dengan begitu saja,
segera menstandarkan motornya. Niatnya, satu dan benar-benar bulat:
cari warung tegang, eh, Warung Tegal alias Warteg.
Makan di
Warteg, meski tarifnya naik sampai lima belas ribu perak, Sabar masih
sanggup bayar. Toh, sudah terima uang. Kalau di restoran mahal ?
Meski saat ini ia sanggup bayar jika hanya seratus ribu rupiah,
tentu saja Sabar harus mikir sejuta kali.
Timbang
habis seratus ribu untuk sekali makan, lebih baik dan lebih berani
nahan lapar Duitnya, lebih pantas buat bekal makan enam hari di
warteg. Untuk itulah, seusai parkir motornya, Sabar bergegas
melangkah. Niatnya, ke Warung Tegal. Tapi baru beberapa langkah,
Sabar malah mendengar suara yang memanggilnya .
Bersambung........
0 komentar:
Post a Comment