Wednesday, May 8, 2013

CERITA BERSAMBUNG (20)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


DUA PULUH


(6)


BONDAN memperhatikan dengan seksama rumah yang ditunjukkan Sabar. Situasi dan kondisi di sekelilingnya, juga tak luput dari perhatian Bondan. Menurut Bondan, posisinya terlalu dekat dengan jalan utama, yang padat oleh berbagai kendaraan karena jalan utama komplek perumahan telah dijadikan jalan alternatif oleh para pengguna kendaraan yang akan menuju Jakarta atau sebaliknya.
Bondan tak suka dengan suasana lingkungannya yang pasti bising.
“Kayaknya gue nggak sreg.Kita cari yang lain aja, “ ujar Bondan sembari kembali ke motor
Sabar kecewa. Tapi, sekejap ia sudah bi sa bilang,” Siap boss “ dan bergegas untuk kembali membawa Bondan ke tempat lain. Tentu saja Sabar sadar, ia tak cuma harus sabar. Terlebih, penumpangnya yang sudah membayar lebih sudah mengingatkan
Sabar sudah ke luar-masuk beberapa komplek perumahan di wilayah perbatasan Jakar ta – Tangerang. Tapi, sejauh ini, belum juga menemukan rumah yang sesuai dengan selera dan pilihan yang diinginkan Bondan. Ada saja alasan, yang membuat mereka harus segera meluncur ke tempat lain, untuk mendapatkan rumah yang diinginkan Bondan.
Sabar memang benar-benar harus lebih sabar. Juga tak boleh bingung, meski ia sudah ke hausan. Pasalnya, penumpangnya saja malah begitu tenang. Sama sekali tidak terlihat merasa kehausan. Sabar bukan tak merasa heran. Tapi ju ga merasa tak enak jika ia harus menepi dan harus mampir ke warung di tepi jalan. Untuk beli air mineral atau minuman apa saja.
“ Kalau ada rumah makan, langsung mampir, ya, bang. Kayaknya, perut saya sudah keroncongan, nih “
Tentu saja Sabar sangat bersyukur. Sebab, saat ia sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mengatasi rasa haus yang sudah sampai di sela-sela kerongkongan, dan rasa lapar yang membuat perutnya keroncongan, penumpangnya malah meminta agar Sabar mampir ke rumah makan.. Terlebih, tak lama berselang, Sabar me lihat rumah makan bagus. Rumah makan mahal
Sabar benar-benar plong. Ia jadi kepingin makan di rumah makan yang nampak di pelupuk matanya. Rumah makan kelas atas. Hanya, jika ia mampir ke rumah makan itu, apakah penumpangnya berkenan mentraktir ?
Sabar berspekulasi. Ia berbelok ke rumah makan mewah yang baru saja dilihatnya. Bila di anggap oleh penumpangnya tak cocok, toh, ia siap meluncur kembali dengan segera untuk mencari rumah makan lainnya.
Nyatanya, Bondan, penumpangnya, sama sekali tak protes. Tapi, setelah menyerahkan helm ke Sabar, ia ngeloyor dengan begitu saja. Tanpa permisi, tidak ngajak dan benar-benar tak hanya membiarkan Sabar. Tapi, juga langsung meninggalkan Sabar yang masih duduk di atas motornya
Tapi, Sabar hanya sempat tertegun sejenak. Setelahnya, ia sadar, penumpangnya hanya seorang penumpang ojek yang cuma wajib membayar tapi tak punya kewajiban untuk mengajak dan mentraktir tukang ojek makan. Terlebih di sebuah retoran mahal, yang pastinya, harus punya uang karena makanan yang dijual, bukan untuk kalangan pengojek. Kecuali sanggup membayar menu makanan yang terbilang mahal
Sabar yang sadar siapa dirinya dan mengapa ia ditinggalkan dengan begitu saja, segera menstandarkan motornya. Niatnya, satu dan benar-benar bulat: cari warung tegang, eh, Warung Tegal alias Warteg.
Makan di Warteg, meski tarifnya naik sampai lima belas ribu perak, Sabar masih sanggup bayar. Toh, sudah terima uang. Kalau di restoran mahal ? Meski saat ini ia sanggup bayar jika hanya seratus ribu rupiah, tentu saja Sabar harus mikir sejuta kali.
Timbang habis seratus ribu untuk sekali makan, lebih baik dan lebih berani nahan lapar Duitnya, lebih pantas buat bekal makan enam hari di warteg. Untuk itulah, seusai parkir motornya, Sabar bergegas melangkah. Niatnya, ke Warung Tegal. Tapi baru beberapa langkah, Sabar malah mendengar suara yang memanggilnya .



Bersambung........




































0 komentar:

Post a Comment