Friday, May 3, 2013

CERITA PENDEK


Oesman Doblank



Cerita Pendek
ABAH SUDAH PULANG


SAYA selalu melihat Abah dengan penampilannya yang tak berubah: bercelana jeans, berbaju koko dan berkopiah. Tak beda dengan seminggu atau sebulan silam. Di kesendirianya, tiap usai Subuh, Abah selalu memegang tasbih. Saya yakin beliau berdzikir. Setengah jam kemudian ia pasti masuk ke dalam rumah untuk membuat kopi. Lalu, seperti biasa kembali ke teras rumah dan abah duduk di tempat yang sama.
Sambil ngopi, Abah menikmati kipasan angin pagi yang hembusannya membelai tubuh Kalau sudah begitu, Abah yang koleksi bukunya melulu tentang Islam, membuka buku yang sudah ia siapkan. Sambil terus membaca, jari jemari tangan kanannya, memilin-milin biji tasbihnya.
Abah tak terganggu oleh hiruk pikuk lingkungan yang mulai sibuk memburu dunia.
Tiap pagi, sampai pukul tujuh, selalu begitu. Yang tidak selalu, hanya warna dan model baju koko yang dikenakan dan judul buku yang dibacanya.
Saat Abah sudah asyik dengan paginya, saya selalu berinisiatif untuk pamit. Pulang ke rumah, menikmati kebodohan saya yang selalu ingat Rukmini, meski ia sudah menikah dengan lelaki lain.
Saya tak bisa terus menemani Abah, ke cuali saat bermalam di rumahnya. Bukan tak ingin. Saya hanya belum sanggup berbincang la ma dengan Abah, yang tak lagi tertarik bicara soal dunia. Sedangkan saya, tak pernah bosan
mengingat ingat Rukmini. Bagi saya, Rukmini adalah dunia saya yang hilang. Saya terus berpi kir untuk kembali mendapatkannya.
Bukan berarti Abah tak suka dunia. . Se bab, Abah pernah bilang saat ia masih muda, yang justru diintai tak ada habisnya oleh Abah, hanya kemilau dunia. Abah sempat mabuk oleh kemilaunya. Hanya, menurut Abah, semakin ia terlena mengintip dunia, hanya semakin mem buatnya mabuk, dan kemilaunya yang mema bukkan, merapuhkan jiwanya yang menuntut ketentraman. Meminta ketenangan.
Tapi, setelah sejak lima belas tahun si lam Abah mulai mengintai selain dunia, ji wanya tak lagi menggugat yang dirindukan Hingga ia bersama paginya di teras rumah sampai jam tujuh, Abah tidak tahu, apakah ia masih tertarik mengintip dunia atau malah ha nya ingin mengintai selain dunia.
Sebab, kata Abah, esok bukan masa silam dan juga bukan hari ini. Dalam jangkauan detik, manusia yang semula senyum bisa mena ngis. Abah tetap melihat dunia tapi belum ke pincut untuk kembali mengintipnya. Ia kuatir, daya mabuknya tak pernah berubah. Hanya ke milau yang justeru memisahkan jiwanya dari jangkauan ketenangan
Itu sebabnya saya tak merasa cocok me lewati pagi bersama Abah, di teras rumahnya. Kalau pun saya kerap menginah di rumahnya, tak lebih dari sekedar memenuhi hasrat, meman faatkan kebaikan Abah, yang selalu memper silahkan siapa pun untuk menikmati makan dan minum gratis, di rumah Abah.
Jadi, saya sering menginap di rumah Abah, atas keinginan pribadi dan bukan atas permintaan Abah. Bukan berarti Abah tak hen dak ditemani. Setiap malam, selalu ada anak muda yang keinginannya bermalam, tak dipe nuhi Abah.
Abah malah suka jika saya atau teman teman menginap di rumahnya
“Kalian adalah tamu istimewa. Saya wajib menjamu setiap tamu, baik yang hanya sesaat atau menginap”
Begitu kata Abah.
Abah selalu menyiapkan sajian
Hidangan untuk tamunya, selalu ada
Padahal, Abah tinggal sendirian.
Isterinya, minta bercerai karena tak sanggup mengikuti Abah yang semula hanya mengintip dunia lalu fokus mengintai selain dunia. Ketiga anak Abah, memilih ikut ibu me reka. Abah memberi mereka perusahaan yang pernah dibangunnya.
Begitu pun kekayaannya Kata Abah, ia hanya mengambil secukupnya Untuk kebutu han sehari-hari, selama dua puluh tahun. Sele bihnya, Abah serahkan untuk isteri dan tiga anaknya.
Uangnya ia titipkan. Abah yakin, saha batnya yang membuat Abah kepincut menginta selain dunia, istiqomah. Buktinya, setiap bu lan, Abah mendapat kiriman bagian keuntu ngan dari uangnya yang dipakai untuk modal bisnis oleh temannya. Abah tak menyoal jum lahnya berapa. Sebab, tak meminjamkan. Tak meminta bunga. Sampai saat ini, tak pernah ter sendat.
Rumah yang kini ditempati Abah, la dang yang dimanfaatkan oleh Abah untuk ber cocok tanam, dibeli saat ia mulai berhasil mem bangun perusahaannya.
Tak hanya saya yang merasa leluasa menikmati makan dan minum gratis jika mengi nap di rumah Abah. Hanya, saya sendiri saja yang jika Subuh tiba, kadang berkenan jadi makmum. Meski begitu, saya sering kesal
Sebab, Abah selalu membaca Al Baqa rah di rakaat pertama, dan Surah Yassin, di rakaat kedua. Tiap bermakmum, kaki saya pasti kesemutan. Itu sebabnya, kadang saya kesal dan juga menyesal. Tak lain karena saya mengi ra akan selesai dengan cepat. Nyatanya, bermak mum dengan Abah, tak pernah berubah. Jadi , harus siap berdiri lama dan kesemutan.
Saya pernah protes pada Abah, karena menurut saya, tak harus membaca surat yang begitu panjang. Namun, Abah tak jemu menje laskan. Katanya, itu sebabnya Abah selalu sha lat Subuh di rumah. Mengapa? Karena semasa muda, ia kuat menghabiskan waktu lama hanya untuk setan. Untuk hal yang sama sekali tak bermanfaat.
Jadi, kata Abah, jika waktu muda ia bi sa membuang waktu untuk begadang, sejak lima belas tahun silam, Abah mulai berusaha agar bisa berlama-lama berdiri saat melaksana kan shalat. Jadi, jika dulu waktunya dihabiskan untuk hawa nafsu tak berfaedah, kini dikhusus kan untuk hawa nafsu Mutmainah. Nafsu beri badah kepada yang telah Menciptakan Abah

******
Tiap pukul delapan, Abah sudah di ladang Semua yang ingin Abah lakukan, sege ra dikerjakan. Memperbaiki pagar. Menyiangi rumput liar. Membersihkan dedaunan yang ber serakan. Atau, menimba air untuk menyiram ta naman. Setelah itu, Abah baru mencangkul. Istirahat setelah merasa tubuhnya bersimbah ke ringat
Saya heran, pada Abah, karena ia tak pernah mengeluh. Dalam capek atau lelah, ia hanya minum dan terus tersenyum. Ketika be lum ada hasil kebun yang bisa dijual, keluhan Abah tak pernah terdengar. Malah tiap tahu su dah ada yang bisa dituai, tapi akhirnya hilang dicuri tetangga atau dirusak oleh ternak milik tetangga- yang kerap masuk ke ladangnya, se nyum itulah yang diperlihatkan
Abah tak pernah mengeluh terlebih ma rah.Meski singkong atau tanaman lain yang ak an dituai ternyata juga telah dicuri entah oleh siapa, tetap saja abah leluasa mengurai senyum nya
Abah sudah Nur Yaqin.
Yang hilang bukan miliknya. Rezeki nya hanya yang dimakan. Bila bisa menuai dan laku dijual, baru dibelanjakan setelah berinfaq Bila tetangga membutuhkan, ia tak ragu membe
rikan semua hasil ladangnya
Dan, Abah yang pernah beberapa kali memergoki pencuri di ladangnya, selalu berha sil menangkapnya. Saya kagum pada Abah da lam hal menangkap pencuri yang kepergok di ladangnya.. Saya yakin, Abah pasti punya ilmu bela diri.
Hanya, saya sering kecewa pada Abah, se telah berhasil menangkap pencurinya, saya tak bisa berpartisipasi untuk membuatnya babak be lur. Sebab, Abah malah mengajak si pencuri ke rumahnya. Saya diminta agar tidak memberita hu siapa pun. Sulit menolak permintaan Abah
Setiba di rumah, Abah mengajaknya ma kan. Lalu, memberinya ongkos untuk pulang dan bekal makanan untuk isteri dan anak si pen curi. Juga memberi bibit apa saja yang ada di ru mahnya. Setelah itu, Abah berpesan
“Bila manusia mau menanam bibit men timun, di saatnya, ia tidak pernah menuai ang gur atau apel.Yang pasti dituai, sejenis dengan yang ditanam. Bila manusia gemar menanam keburukan, suatu saat, dia harus ikhlas menuai celaka. Tapi, jika manusia terus menerus mena nam kebaikan, dia harus bersiap menuai dan membagi berkah pada sesamanya. Sebab, ber kah Allah, untuk seluruh hambanya “
Saya pernah kesal, dan memprotesnya Abah, malah mengajak saya makan bersama nya. Saat makan, Abah menjelaskan. Katanya, pencuri itu ada dua. Pertama, karena ia lapar lalu mencuri, tapi hatinya menangis. Kedua, ka rena ia serakah dan setiap berhasil mencuri, hatinya tak pernah merasa puas.
Saya hanya kenyang menikmati nasi dan lauk pauk setelah makan bersama Abah. Ta pi tak mengerti mengapa tak sedikit pun mera sa kenyang mendengar petuah indahnya Padahal, saya sering mendengar saat Abah men jawab, pertanyaan atau protes saya
Terus terang, saya semakin sulit mema hami Abah. Sampai kini, saya belum pernah me
ngerti – terlebih memahami, mengapa Abah selalu berbuat baik dan menghadapi apapun de ngan senyum, sambil jari jemarinya terus mema inkan biji tasbih
Saya justeru sering marah pada pen curi dan selalu berpikir seribu kali, bila semua hasil panen di ladang, diberikan ke tetangga
Tiap saya marah karena hasil ladang di curi dan tetap berpikir seribu kali untuk mem beri, Abah, malah kerap kali melakukannya
Saya makin tak mengerti, apakah ka rena hal itu, ladangnya tak pernah habis dari umbi, buah-buahan dan yang lainnya. Jamur terus bermunculan di ladangnya. Setiap pagi, selalu ada jamur di ladang Abah. Selain sering dijual ke pasar, juga dibagikan ke tetangga
Saya sering keblinger, karena di penghu jan atau di musim kemarau, selalu diajak Abah untuk memetik jamur di ladangnya. Di ladang saya sendiri yang bersebelahan dengan ladang Abah, jamur hanya tumbuh sesekali
Abah bilang, begitulah jika Allah meng hendaki. Dengan kekuasaannNya, Allah meng hidangkan hambanya bekal agar hambanya me nikmati hidup makmur. Hidup makmur, menu rut abah, adalah hidup yang selalu memberi de ngan hati. Tuhan pasti memberi pengganti ber kali kali.
Saya pernah ingin menjalani dan menik mati hidup, seperti abah. Tapi akhirnya, saya malah ingin menjalani dan menikmati hidup yang tidak seperti abah. Padahal, saya belum pernah mencatat, menghitung, dan mengkritisi kebodohan dan prilaku buruk saya.
Saya pernah bertanya, mengapa saya tak pernah bisa seperti atau setidaknya punya keinginan seperti abah? Beliau malah tertawa.
Saya bilang, saya tak suka ditertawa kan. Abah katakan, tawanya bukan karena perta nyaan saya.Abah tertawa karena juga kemauan pernah begitu lama bersemayam dalam dirinya.
“Jika setiap manusia ikhlas melepaskan nya, maka kemauan itu lenyap dan manusia tak akan lenyap kecuali ajal menjemputnya. Kema uannyapun tetap ada. Tapi, kemauan yang me nguatkan dan bukan kemauan yang melemah kan manusia “
“Apa salah jika saya yang masih mu da punya kemauan, dan selama saya ada, kema uan itu tetap bersama saya ?”
“Sama sekali tak salah. Malah itulah kebenaran jika menurut kamu memang seperti itulah yang benar”
“Jadi, saya tak keliru berpandangan se perti itu?”
Seperti biasa, Abah pasti tersenyum.
Lalu Abah kembali bicara.
“Setiap ciptaan Allah, dibekali kema uan. Hanya, untuk apa kemauan itu dipertahan kan, harus dipahami dan harus diolah sedemiki an rupa,agar kemauan benar-benar menjadi hik mah dan bukan menjadi selain hikmah.
Jika tidak, malah menjadi semakin asing dan akhirnya sama sekali tak pernah tahu, apakah kelak, menyelamatkan atau malah men celakakan? Apakah nantinya membuat manusia lebih dekat dengan Sang Pencipta, atau malah semakin berjarak denganNYA “
Saya pusing jika bicara dengan Abah
Saya baru merasa senang, ketika akan pulang, Abah yang tengah menikmati paginya memanggil dan menahan saya. Saya senang ka rena diminta tolong Abah. Inilah pertama kali saya diminta Abah untuk menolongnya. Selama ini, selalu Abah yang menolong saya.
Sambil menyerahkan kunci rumahnya, Ab ah minta agar sekitar jam sebelas saya datang. Menurut Abah, sekitar jam sebelas, akan ada tamu datang ke rumahnya. Abah mengama nah kan agar saya menyampaikan amplop warna coklat untuk tamunya.
“Nanti amplop coklatnya saya letakkan di meja ruang tamu. Sekitar jam sembilan saya akan pulang kampung,” kata Abah.
Saya sangat senang, karena diberi ke sempatan oleh Abah untuk membalas kebaikan nya. Setelah itu saya langsung pamit. Saya tak pernah ingin menemani Abah, jika dia sedang menikmati paginya.
Sesampai di rumah, saya kesal pada di ri sendiri. Sebab, baru terpikir, sebenarnya saya bisa minta ke Abah, agar diberi kesempatan me nolong untuk hal yang lebih berat. Mencangkul ladangnya,misalnya. Atau, mengecat rumah Ab ah, yang dinding ruang tamunya sudah buram.
Saya ikhlas dan Abah tak perlu menge luarkan uang. Saya tak ingin dibayar berapa pun. Saya hanya ingin membalas kebaikan Abah. Saya berjanji, setelah Abah kembali ke rumahnya, saya akan sampaikan keinginan saya dan berharap Abah bersedia memenuhinya.
Saya tak punya firasat apa pun, saat jam sebelas kurang beberapa menit, membuka pintu rumah Abah. Saat saya ambil amplop coklat di meja ruang tamu, saya langsung tercekat. Kaget , karena mendadak mencium aroma wewangian
Aroma wewangian yang begitu harum, se makin merebak saat saya membuka amplop cok lat.Dengan hati-hati saya mengeluarkan isi am plop coklat yang ukurannya lebih panjang dan lebih lebar dari kertas folio.
Saya ternganga membaca tulisan di kertas
bagian teratas. Berbunyi Innalillahi Wain na Ilaihi Roji’un. Di lembar kertas kedua, entah pesan entah puisi.
Hari ini, saya pulang
ke kampung paling melahirkan
ke halaman paling menghidupkan
ke tempat selain dunia
Di ladang yang sudah berliang
baringkan saya di sana
Saya di kamar
di sisi kain kafan dan lainnya
saya ingin kamu mengantar
agar cepat sampai di ladang
Rumah dan isinya jual saja
gunakan untuk anak yatim piatu
yang ingin sekolah dan ingin
menggapai akhlak mulia
Ladang saya sudah jadi ladangmu
tapi tolong makam saya tetap disitu
jangan sampai di bongkar makelar tanah
kecuali kamu ingin punya mesjid
atau pesantren, untuk membahagiakan
Rukmini.

Baru kali ini saya menangis sesenggukan.
Baru kali ini saya mengumumkan tentang Abah yang telah pulang ke kampung halaman. Orang-orang berdatangan. Mengucurkan air mata. Mereka sulit melupakan kebaikan Abah.
Buat saya, inilah pengalaman terindah, selama kenal dengan Abah, yang ternyata memahami keinginan saya, yang juga sangat ingin berbuat baik seperti yang kerapkali dicontohkannya.
Baru kali ini saya menangis sesenggukan, panjang dan baru berhenti setelah sadar sudah sampai di sisi makam. Mengantar Abah, yang ternyata sudah siapkan bekal, untuk kembali ke kampung yang paling melahirkan, dan hala man yang paling menghidupkan.
Usai pemakaman, saya kembali ke rumah Abah. Tapi sampai malam, tamu Abah tak kun jung tiba. Padahal, saya harus menyampaikan amplop coklat dan isinya. Harus jual rumah dan isinya, untuk anak yatim piatu, seperti yang diinginkan Abah.
Saya tak tahu, sanggup dan tidaknya memanggul beban berat dari Abah. Saya hanya sanggup bergegas mencatat, menghitung dan mengkritisi prilaku buruk dan kebodohan yang pernah saya lakukan.
Jika senyum Rukmini tak lekas hilang, saya tak akan mampu mengintip selain dunia, seperti Abah, yang sudah pulang kampung, dan saya hanya bisa mendoakan semoga beliau tiba ke halaman halaman di mana juga ada kehidupan yang paling menghidupkan.





0 komentar:

Post a Comment