Monday, May 6, 2013

CERPEN (BAGII)



Cerpen                                                                               oleh: Oesman Doblank

HARI SUDAH SENJA 

 

Sudah sekitar tujuh tahun Babe mengajar anak-anak mengaji di rumahnya.

Anak-anak yang sejak awal Babe membuka pengajian di rumah sudah mengaji di sana, tetap datang mengaji meski sudah duduk di SMA. Hanya, tidak setiap hari. Mereka ha nya hadir seminggu se kali, setiap malam Jum’at.
Babe tak lagi mewajibkan mereka menga ji. Muridnya yang sudah di SMA, diajak untuk membahas siapa Allah dan mengapa Sang Kha lik mengutus Rasulullah Saw untuk memperbai ki akhlak manusia, dan bukan untuk menikmati sepuasnya segala yang diciptakan Allah yang bertebaran di dunia.
Tentu saja orangtua mereka senang. Soal nya, sejak ngaji di rumah Babe, anak-anaknya malah bisa jadi juara di sekolahnya. Sehari-hari, betah di rumah. Rajin membantu orangtua dan semakin berbudi pekerti. Tak seorang pun yang terpengaruh oleh rusaknya lingkungan. Padahal, banyak anak-anak remaja di lingku ngan mereka, yang sudah akrab dengan ganja dan minuman keras.
Babe sangat ingin menolong remaja yang suka bermabuk-mabukan, menghisap ganja dan gemar pulang pagi. Tapi, ia merasa tak leluasa, Sebab, orangtuanye tak pernah menganjurkan anak-anaknya belajar mengaji di rumah Babe.
Mereka lebih suka mendaftarkan anaknya di tempat bergengsi. Yang gurunya dianggap pintar karena sering tampil di televisi, punya titel – termasuk gelar Haji, bayarannya pun mahal, dan tempatnya sangat sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, mewah dan ber-ac.
Sedangkan di tempat Babe, sangat seder hana. Ruangannya sempit. Tak dipungut baya ran. Kelebihannya, hanya sebatas teh manis panas, buatan isteri babe yang setiap malam di sediakan untuk dinikmati anak anak, seusai me ngaji.
Hal lainnya, Babe tak punya gelar. Di du nia pendidikan hanya SMU, diperibadatan, tak ada tanda-tanda bisa memiliki gelar Haji.
Jika Babe tak menyesal karena tak bisa membantu semua anak di komplek tempat ia tinggal untuk mengenal dan paham tentang akhlak, karena ia tahu,sebenarnya, orangtua me reka yang kerap mengecilkan Babe-- karena ha nya mampu tinggal di rumah kontrakkan, telah mendaftarkan anak-anaknya ke lembaga pendi dikan yang dianggap sangat bergengsi.
Lembaga yang selalu beriklan di koran, te levisi dan tak bosan menyebar brosur yang isi nya, mampu mencetak para siswa menjadi manusia yang beriman dan berilmu.
Sedangkan Babe, hanya berusaha menjelas kan, seperti apa akhlak yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, kepada para Sahabat dan para pengikutnya, yang kagum pada Rasulul lah, karena kesederhanaannya itu indah dan mulia. Karena dengan kesederhanannya, tangan nya menyelamatkan dan mulutnya menentram kan.
Setelah menjelaskan, Babe selalu berusaha untuk mengaplikasikan. Jika ia menjelaskan ki kir itu celaka, Babe membuktikan memberi itu membahagiakan orang lain. Jika Babe menjelas kan, tulus itu gudang berkah, sejak mengajar ngaji anak-anak, ia tak pernah meminta upah.
Tiap diundang ceramah di berbagai tem pat, tiap dapat giliran jadi khotib Jum’at di mesjid, Babe melakukannya dengan tulus. Ka rena menurut Babe tulus itu tanpa pamrih, ia hanya berharap upah dari sisi Allah. Menurut Babe, upah dari Allah, jauh lebih baik dan ber sifat kekal.
Lalu, jika Babe diminta menjelaskan me ngapa menolak dengan halus bila diberi honor setelah ceramah atau khotbah Jum’at. Ia men jawab semampunya.
Kata Babe, para Rasul yang diperintah kan oleh Allah untuk berdakwah, melaksana kan tugasnya dengan ikhlas. Ikhlas, menurut Ba be, artinya tidak meminta atau berharap dapat upah. Jika sudah menyebut ikhlas, dengan ala san apapun, hati tidak boleh tergoda untuk ber harap apalagi meminta upah.
Maka bertakwalah kepada Allah dan taat lah kepadaku. Dan aku tidak minta upah kepa damu untuk usaha ini, upahku hanya dari Allah, Tuhan Semesta Alam.
Asy Syu’ara 179 – 180,

******

SELALU ada, yang membayar lebih.Wak tu mulai ngojek, Babe heran. Tapi, setelah bebe rapa hari kemudian, Babe yakin, begitulah cara Allah Subhanallah Ta’ala, memberi rezeki, se hingga dua anaknya tetap bisa sekolah. Bisa makan, dan setiap malam, isterinya, tetap bisa menyuguhkan teh manis panas untuk anak anak , seusai mereka mengaji
Allah jualah yang menggerakkan hati seo rang penumpang ojeknya, yang baru pertama kali naik ojek Babe, tapi tanpa ragu, meminta agar Babe berkenan mampir ke rumahnya.
Setelah Babe menyeruput teh hangat di te pi kolam renang yang terletak di belakang ru mah mewah, Babe baru tahu, penumpangnya sengaja minta turun pada supirnya, karena ia melihat Babe di pangkalan ojek, sedang duduk di motornya.
Karena ia yakin pernah mengenal Babe saat berceramah di kantornya, penumpang yang ternyata the big boss perusahaan cukup besar dan ternama, sangat penasaran pada Babe dan sangat ingin mengenal siapa Babe sebenarnya.
“Ya, inilah saya. pagi sampai Ashar beker ja sebagai tukang ojek. Malam mengajar ngaji, dan di waktu tertentu, jika ada yang meminta ceramah, saya ceramah,” kata Babe.
Ia juga menjelaskan, sama sekali tak mera sa terpaksa, menjadi tukang ojek. Sebab, sete lah minta pensiun dini dari pns, harus tetap memberi nafkah untuk keluarga.
“ Jadi, bapak malah minta pensiun saat ak an naik pangkat?” Tanyanya
“Menurut saya, bukan saat naik pangkat.
Tapi, itulah saat beban hati nurani saya bertambah berat. Saya pasti dipindahkan ke tem pat basah. Jika tidak ikut basah, malah disinisi. Malah dibilang sok suci.
Daripada saya menanggung beban sok su ci, saya pilih minta pensiun dini. Teman dan saudara-saudara saya, kaget. Hanya isteri saya yang memberi ucapan selamat.
Dia, juga bilang, lebih ikhlas saya pensiun timbang setiap pulang ke rumah, dia selalu ber tanya, apakah uang yang saya serahkan, di da lamnya penuh berkah atau campuran berkah dan tidak berkah.
Saya merasa beruntung, karena isteri saya masih tetap seiring sejalan dalam mengayuh bi duk rumah tangga.
Begitulah saya
Sama sekali tak ada apa-apanya.
Mungkin karena itu, teman teman dan sau dara kandung saya, menilai saya orang bodoh.
Tapi saya tetap merasa sangat beruntung, sebab, isteri saya memberi ucapan selamat “
The big boss alias pak Margono manggut manggut, setelah mendengarkan penjelasan Ba be. Tak lama, mereka larut dalam perbincangan yang mengasyikkan.
Mulai soal politik, hukum, ekonomi, dan so sial, yang meski pun sama sekali tak dibahas se
cara mendalam – hanya sekilas pintas, tapi membuat mereka jadi merasa akrab.
Pak Margono harus merelakan Babe, yang setelah ikut shalat Ashar di rumahnya, langsung pamit karena ia harus pulang, dan sampai magh rib, jika luang, selalu berkumpul dengan isteri dan dua anaknya di rumah. Saat-saat itulah, kata Babe, ia dan keluarga berkomunikasi dan saling berbagi.
Tapi, pak Margono tak lupa meminta ala mat rumah Babe. Tanpa ragu, Babe menulis ala mat rumahnya, lengkap dengan nomor hape
Keesokan harinya, Babe terpaksa menunda keberangkatannya mengantar Dinda ke sekolah dan setelah itu baru menuju ke pangkalan ojek, karena saat akan meninggalkan rumah, pak Mar gono tiba di depan rumah, bersama mobilnya.
Babe segera mengajaknya masuk. Ia tak risi mengajak pak Margono duduk di ruang tamu ru mahnya, meski kursi di ruang tamunya, hampir semua robek. Malah, bagian tengah sofa pan jangnya, sudah jebol. Tapi, pak Margono justru duduk di sofa panjang, yang karet busanya bermunculan ke luar karena kain penutupnya sudah pada amburadul
Isteri babe bergegas menyuguhkan teh pa nas. Dinda, putrinya, bergegas cium tangan Babe, lalu ke ibunya, dan tanpa ragu, ia cium tangan ke Margono. Setelah itu ia pamit.
Dinda tetap berangkat, karena ia tak ingin terlambat sampai ke sekolah. Dinda, sama seka li tidak merasa kesal, meski ayahnya batal me ngantarnya ke sekolah
Pak Margono, tak merasa kikuk, meski harus duduk di sofa rusak. Juga tak kikuk, keti ka sangat ingin menikmati teh panas buatan isteri Babe, meski baru saja diletakkan di meja ruang tamu, oleh isteri Babe.
Setelah mereguk teh panas yang dirasa begi tu nikmat, pak Margono meminta isteri Babe, untuk ikut ngobrol bersamanya.
“Ada hal yang juga ingin saya sampaikan kepada ibu,” jelas pak Margono.
Isteri Babe bergegas ke belakang untuk menaruh baki, yang baru saja ia pakai untuk membawa cangkir berisi teh panas, yang baru saja disajikan ke tamunya. Setelah merapikan kembali jilbab pan jangnya, ia kembali ke ru ang tamu. Tanpa ragu, isteri Babe duduk di sisi suaminya
Meski sudah tahu, pak Margono sudah men cicipi teh yang disajikan isterinya, Babe yang belum tahu mau ngomong apa, kembali mem persilahkan pak Margono untuk menikmati saji an ala kadarnya.
“Terima kasih, pak. Nanti, setelah urusan se lesai, pasti saya habiskan. Soalnya, tehnya serasa lebih nikmat,” kata pak Margono, yang lalu sibuk membuka tasnya.
Ia lalu mengambil amplop standar, yang di sudut kiri atas, berlogo sebuah perusahaan. Meletakkannya di meja. Babe dan isterinya tak kepincut untuk memperhatikan amplop yang se pertinya biasa saja. Tak ada isinya.
Babe dan isterinya baru tahu isi amplop sebenarnya, setelah pak Margono menutup tas echolac-nya, ia meraih kembali amplop di me ja, mengeluarkan isterinya. Ternyata, sebuah cek.
Baru jelas berapa nilai yang tertera dan bisa dicairkan di bank mana, setelah pak Margono menjelaskan, ia ingin membiayai Babe dan isterinya melaksanakan ibadah haji.
“Ini bukan hal yang mengejutkan. Setiap ta hun, saya selalu menyisihkan keuntungan peru sahaan, untuk biaya ongkos naik haji sekitar lima sampai enam orang karyawan.
Tahun depan, sepertinya, tak ada lagi karya wan yang dapat jatah. Semua sudah, dan jika tiga orang karyawan yang tersisa belum dapat jatah, karena mereka belum setahun bekerja.
Jadi, tolong bapak dan ibu terima.
Tak usah mendaftar ke Depag, karena bapak dan ibu harus ONH plus. Terserah, ingin menggunakan biro perjalanan yang mana. Yang jelas, selain untuk ONH, juga cukup untuk biaya di sana dan untuk biaya anak-anak di rumah “
Babe dan isterinya berpandangan.
Saling merangkul erat
Lalu sesenggukan
Air mata mereka berjatuhan
Dandi, kakak Dinda, yang sekolah siang, bergegas ke luar dari kamar. Setelah tahu, mengapa ayah ibunya menangis, Dandi memeluk orangtuanya.
Babe melepas pelukan isteri dan anaknya. Ia mendekat dan memeluk pak Margono. Mengucapkan terima kasih. Lalu, mengatakan, ia tak bisa membalas karena yang bisa memba las hal seperti ini, hanya Allah, Tuhan Yang Maha besar
“Kalau begitu, saya permisi karena harus segera ke kantor. Semoga bermanfaat, saya hanya bisa mendoakan, agar bapak dan ibu menjadi haji yang mabrur, ” kata pak Margono, sembari mengulurkan tangannya ke Dandi, yang ingin menyalaminya
“Terima kasih, pak Margono,” kata isteri babe.
“Sama-sama, bu. Oh iya, saya harus menghabiskan dulu, teh yang nikmatnya luar biasa ini”
Pak Margono meraih cangkir teh. Dengan ikhlas ia menyeruput isinya.
Menyeruput nikmat yang terasa tak ada habisnya.



0 komentar:

Post a Comment