Cerpen oleh: Oesman Doblank
HARI SUDAH SENJA
Sudah sekitar tujuh tahun Babe mengajar anak-anak mengaji di rumahnya.
Anak-anak yang
sejak awal Babe membuka pengajian di rumah sudah mengaji di sana,
tetap datang mengaji meski sudah duduk di SMA. Hanya, tidak setiap
hari. Mereka ha nya hadir seminggu se kali, setiap malam Jum’at.
Babe tak lagi
mewajibkan mereka menga ji. Muridnya yang sudah di SMA, diajak untuk
membahas siapa Allah dan mengapa Sang Kha lik mengutus Rasulullah Saw
untuk memperbai ki akhlak manusia, dan bukan untuk menikmati
sepuasnya segala yang diciptakan Allah yang bertebaran di dunia.
Tentu saja
orangtua mereka senang. Soal nya, sejak ngaji di rumah Babe,
anak-anaknya malah bisa jadi juara di sekolahnya. Sehari-hari, betah
di rumah. Rajin membantu orangtua dan semakin berbudi pekerti. Tak
seorang pun yang terpengaruh oleh rusaknya lingkungan. Padahal,
banyak anak-anak remaja di lingku ngan mereka, yang sudah akrab
dengan ganja dan minuman keras.
Babe sangat
ingin menolong remaja yang suka bermabuk-mabukan, menghisap ganja dan
gemar pulang pagi. Tapi, ia merasa tak leluasa, Sebab, orangtuanye
tak pernah menganjurkan anak-anaknya belajar mengaji di rumah Babe.
Mereka lebih
suka mendaftarkan anaknya di tempat bergengsi. Yang gurunya dianggap
pintar karena sering tampil di televisi, punya titel – termasuk
gelar Haji, bayarannya pun mahal, dan tempatnya sangat sesuai dengan
biaya yang dikeluarkan, mewah dan ber-ac.
Sedangkan di
tempat Babe, sangat seder hana. Ruangannya sempit. Tak dipungut baya
ran. Kelebihannya, hanya sebatas teh manis panas, buatan isteri babe
yang setiap malam di sediakan untuk dinikmati anak anak, seusai me
ngaji.
Hal lainnya, Babe
tak punya gelar. Di du nia pendidikan hanya SMU, diperibadatan, tak
ada tanda-tanda bisa memiliki gelar Haji.
Jika Babe tak
menyesal karena tak bisa membantu semua anak di komplek tempat ia
tinggal untuk mengenal dan paham tentang akhlak, karena ia
tahu,sebenarnya, orangtua me reka yang kerap mengecilkan Babe--
karena ha nya mampu tinggal di rumah kontrakkan, telah mendaftarkan
anak-anaknya ke lembaga pendi dikan yang dianggap sangat bergengsi.
Lembaga yang
selalu beriklan di koran, te levisi dan tak bosan menyebar brosur
yang isi nya, mampu mencetak para siswa menjadi manusia yang beriman
dan berilmu.
Sedangkan Babe,
hanya berusaha menjelas kan, seperti apa akhlak yang pernah diajarkan
oleh Rasulullah Saw, kepada para Sahabat dan para pengikutnya, yang
kagum pada Rasulul lah, karena kesederhanaannya itu indah dan mulia.
Karena dengan kesederhanannya, tangan nya menyelamatkan dan mulutnya
menentram kan.
Setelah
menjelaskan, Babe selalu berusaha untuk mengaplikasikan. Jika ia
menjelaskan ki kir itu celaka, Babe membuktikan memberi itu
membahagiakan orang lain. Jika Babe menjelas kan, tulus itu gudang
berkah, sejak mengajar ngaji anak-anak, ia tak pernah meminta upah.
Tiap diundang
ceramah di berbagai tem pat, tiap dapat giliran jadi khotib Jum’at
di mesjid, Babe melakukannya dengan tulus. Ka rena menurut Babe tulus
itu tanpa pamrih, ia hanya berharap upah dari sisi Allah. Menurut
Babe, upah dari Allah, jauh lebih baik dan ber sifat kekal.
Lalu, jika Babe
diminta menjelaskan me ngapa menolak dengan halus bila diberi honor
setelah ceramah atau khotbah Jum’at. Ia men jawab semampunya.
Kata Babe, para
Rasul yang diperintah kan oleh Allah untuk berdakwah, melaksana kan
tugasnya dengan ikhlas. Ikhlas, menurut Ba be, artinya tidak meminta
atau berharap dapat upah. Jika sudah menyebut ikhlas, dengan ala san
apapun, hati tidak boleh tergoda untuk ber harap apalagi meminta
upah.
Maka
bertakwalah kepada Allah dan taat lah kepadaku. Dan aku tidak minta
upah kepa damu untuk usaha ini, upahku hanya dari Allah, Tuhan
Semesta Alam.
Asy Syu’ara
179 – 180,
******
SELALU ada,
yang membayar lebih.Wak tu mulai ngojek, Babe heran. Tapi, setelah
bebe rapa hari kemudian, Babe yakin, begitulah cara Allah Subhanallah
Ta’ala, memberi rezeki, se hingga dua anaknya tetap bisa sekolah.
Bisa makan, dan setiap malam, isterinya, tetap bisa menyuguhkan teh
manis panas untuk anak anak , seusai mereka mengaji
Allah jualah yang
menggerakkan hati seo rang penumpang ojeknya, yang baru pertama kali
naik ojek Babe, tapi tanpa ragu, meminta agar Babe berkenan mampir ke
rumahnya.
Setelah Babe
menyeruput teh hangat di te pi kolam renang yang terletak di belakang
ru mah mewah, Babe baru tahu, penumpangnya sengaja minta turun pada
supirnya, karena ia melihat Babe di pangkalan ojek, sedang duduk di
motornya.
Karena ia yakin
pernah mengenal Babe saat berceramah di kantornya, penumpang yang
ternyata the big boss perusahaan cukup besar dan
ternama, sangat penasaran pada Babe dan sangat ingin mengenal siapa
Babe sebenarnya.
“Ya, inilah
saya. pagi sampai Ashar beker ja sebagai tukang ojek. Malam mengajar
ngaji, dan di waktu tertentu, jika ada yang meminta ceramah, saya
ceramah,” kata Babe.
Ia juga
menjelaskan, sama sekali tak mera sa terpaksa, menjadi tukang ojek.
Sebab, sete lah minta pensiun dini dari pns, harus tetap memberi
nafkah untuk keluarga.
“ Jadi, bapak
malah minta pensiun saat ak an naik pangkat?” Tanyanya
“Menurut saya,
bukan saat naik pangkat.
Tapi, itulah saat
beban hati nurani saya bertambah berat. Saya pasti dipindahkan ke tem
pat basah. Jika tidak ikut basah, malah disinisi. Malah dibilang sok
suci.
Daripada saya
menanggung beban sok su ci, saya pilih minta pensiun dini. Teman dan
saudara-saudara saya, kaget. Hanya isteri saya yang memberi ucapan
selamat.
Dia, juga bilang,
lebih ikhlas saya pensiun timbang setiap pulang ke rumah, dia selalu
ber tanya, apakah uang yang saya serahkan, di da lamnya penuh berkah
atau campuran berkah dan tidak berkah.
Saya merasa
beruntung, karena isteri saya masih tetap seiring sejalan dalam
mengayuh bi duk rumah tangga.
Begitulah saya
Sama sekali tak
ada apa-apanya.
Mungkin karena
itu, teman teman dan sau dara kandung saya, menilai saya orang bodoh.
Tapi saya tetap
merasa sangat beruntung, sebab, isteri saya memberi ucapan selamat “
The big boss alias
pak Margono manggut manggut, setelah mendengarkan penjelasan Ba be.
Tak lama, mereka larut dalam perbincangan yang mengasyikkan.
Mulai soal politik,
hukum, ekonomi, dan so sial, yang meski pun sama sekali tak dibahas
se
cara mendalam – hanya
sekilas pintas, tapi membuat mereka jadi merasa akrab.
Pak Margono harus
merelakan Babe, yang setelah ikut shalat Ashar di rumahnya, langsung
pamit karena ia harus pulang, dan sampai magh rib, jika luang, selalu
berkumpul dengan isteri dan dua anaknya di rumah. Saat-saat itulah,
kata Babe, ia dan keluarga berkomunikasi dan saling berbagi.
Tapi, pak Margono
tak lupa meminta ala mat rumah Babe. Tanpa ragu, Babe menulis ala mat
rumahnya, lengkap dengan nomor hape
Keesokan harinya,
Babe terpaksa menunda keberangkatannya mengantar Dinda ke sekolah dan
setelah itu baru menuju ke pangkalan ojek, karena saat akan
meninggalkan rumah, pak Mar gono tiba di depan rumah, bersama
mobilnya.
Babe segera
mengajaknya masuk. Ia tak risi mengajak pak Margono duduk di ruang
tamu ru mahnya, meski kursi di ruang tamunya, hampir semua robek.
Malah, bagian tengah sofa pan jangnya, sudah jebol. Tapi, pak Margono
justru duduk di sofa panjang, yang karet busanya bermunculan ke luar
karena kain penutupnya sudah pada amburadul
Isteri babe
bergegas menyuguhkan teh pa nas. Dinda, putrinya, bergegas cium
tangan Babe, lalu ke ibunya, dan tanpa ragu, ia cium tangan ke
Margono. Setelah itu ia pamit.
Dinda tetap
berangkat, karena ia tak ingin terlambat sampai ke sekolah. Dinda,
sama seka li tidak merasa kesal, meski ayahnya batal me ngantarnya ke
sekolah
Pak Margono, tak
merasa kikuk, meski harus duduk di sofa rusak. Juga tak kikuk, keti
ka sangat ingin menikmati teh panas buatan isteri Babe, meski baru
saja diletakkan di meja ruang tamu, oleh isteri Babe.
Setelah mereguk teh
panas yang dirasa begi tu nikmat, pak Margono meminta isteri Babe,
untuk ikut ngobrol bersamanya.
“Ada hal yang
juga ingin saya sampaikan kepada ibu,” jelas pak Margono.
Isteri Babe
bergegas ke belakang untuk menaruh baki, yang baru saja ia pakai
untuk membawa cangkir berisi teh panas, yang baru saja disajikan ke
tamunya. Setelah merapikan kembali jilbab pan jangnya, ia kembali ke
ru ang tamu. Tanpa ragu, isteri Babe duduk di sisi suaminya
Meski sudah tahu,
pak Margono sudah men cicipi teh yang disajikan isterinya, Babe yang
belum tahu mau ngomong apa, kembali mem persilahkan pak Margono untuk
menikmati saji an ala kadarnya.
“Terima kasih,
pak. Nanti, setelah urusan se lesai, pasti saya habiskan. Soalnya,
tehnya serasa lebih nikmat,” kata pak Margono, yang lalu sibuk
membuka tasnya.
Ia lalu mengambil
amplop standar, yang di sudut kiri atas, berlogo sebuah perusahaan.
Meletakkannya di meja. Babe dan isterinya tak kepincut untuk
memperhatikan amplop yang se pertinya biasa saja. Tak ada isinya.
Babe dan isterinya
baru tahu isi amplop sebenarnya, setelah pak Margono menutup tas
echolac-nya, ia meraih kembali amplop di me ja, mengeluarkan
isterinya. Ternyata, sebuah cek.
Baru jelas berapa
nilai yang tertera dan bisa dicairkan di bank mana, setelah pak
Margono menjelaskan, ia ingin membiayai Babe dan isterinya
melaksanakan ibadah haji.
“Ini bukan hal
yang mengejutkan. Setiap ta hun, saya selalu menyisihkan keuntungan
peru sahaan, untuk biaya ongkos naik haji sekitar lima sampai enam
orang karyawan.
Tahun depan,
sepertinya, tak ada lagi karya wan yang dapat jatah. Semua sudah,
dan jika tiga orang karyawan yang tersisa belum dapat jatah, karena
mereka belum setahun bekerja.
Jadi, tolong bapak
dan ibu terima.
Tak usah mendaftar ke
Depag, karena bapak dan ibu harus ONH plus. Terserah, ingin
menggunakan biro perjalanan yang mana. Yang jelas, selain untuk ONH,
juga cukup untuk biaya di sana dan untuk biaya anak-anak di rumah “
Babe dan isterinya
berpandangan.
Saling merangkul
erat
Lalu sesenggukan
Air mata mereka
berjatuhan
Dandi, kakak Dinda,
yang sekolah siang, bergegas ke luar dari kamar. Setelah tahu,
mengapa ayah ibunya menangis, Dandi memeluk orangtuanya.
Babe melepas
pelukan isteri dan anaknya. Ia mendekat dan memeluk pak Margono.
Mengucapkan terima kasih. Lalu, mengatakan, ia tak bisa membalas
karena yang bisa memba las hal seperti ini, hanya Allah, Tuhan Yang
Maha besar
“Kalau begitu,
saya permisi karena harus segera ke kantor. Semoga bermanfaat, saya
hanya bisa mendoakan, agar bapak dan ibu menjadi haji yang mabrur, ”
kata pak Margono, sembari mengulurkan tangannya ke Dandi, yang ingin
menyalaminya
“Terima kasih,
pak Margono,” kata isteri babe.
“Sama-sama, bu.
Oh iya, saya harus menghabiskan dulu, teh yang nikmatnya luar biasa
ini”
Pak Margono meraih
cangkir teh. Dengan ikhlas ia menyeruput isinya.
Menyeruput nikmat
yang terasa tak ada habisnya.
0 komentar:
Post a Comment