Sunday, May 5, 2013

CERPEN : BAGIAN SATU


Oesman Doblank


HARI
TELAH
SENJA




BABE sama sekali tak kecewa, saat tiba di rumah adik kandungnya, hanya ditemui Mi nah, salah seorang dari tiga pembantu yang be kerja di rumah Tinni Sumarni, adik bungsu Babe. Ia tetap meminta Minah untuk menaruh pisang ambon di meja makan, agar Dindin, ke ponakannya, yang suka pisang ambon, menik mati oleh-oleh yang dibawanya.
Minah yang bergegas menyediakan ko pi untuk babe, menginformasikan, tuan beserta nyonya dan kedua kakaknya, setengah jam sebe lum Babe sampai, sudah berangkat bareng. Mereka menuju ke sebuah restoran mewah, un tuk menghadiri pesta ulang tahun Tasya yang ke delapan.
Tasya, juga keponakan Babe. Ia putri kedua Sutisna, adik pertama babe. Dan kata Minah, Adik dan kakak babe, sudah meluncur bersama keluarga masing-masing, untuk menik mati suasana pesta ulang tahun Tasya yang di gelar di sebuah restoran mewah.
“Memang uwa tidak diundang?” Tanya Minah. Ia jelas kepingin tahu, mengapa Babe justeru datang ke rumah majikannya, dan bukan berangkat ke tempat ulang tahun Tasya
“Pastinya, ya diundang. Hanya, saya lu pa mencatat hari, tanggal dan waktunya. Jadi, setelah selesai antar langganan, saya malah me luncur ke mari,” sahut Babe.
Babe terpaksa berbohong
Ia tak ingin membahas apapun dengan Minah. Bukan karena ia pembantu di rumah adik kandungnya. Tapi, urusan keluarga Babe tak layak dicampuri oleh siapa pun, termasuk Minah, yang menurut Babe, lebih pantas me ngurus urusannya sendiri. Atau setidaknya, lebih baik ia konsen dengan tugasnya sebagai pembantu. Bila bisa bekerja dengan baik, pasti leluasa untuk minta kenaikan gaji dan setiap lebaran diizinkan pulang kampung.
“Oh iya, uwa sudah tahu belum, tuan dan nyonya mau umroh ?”
“Kok kamu tau, sih?”
“Ya, pasti taulah, Wa. Minggu lalu, kan diajak tuan dan nyonya ke rumah pak Sadikin. Semua keluarga uwa, hadir,lho. Cuma uwa saja yang tidak datang “
“Iya, saya sering nggak punya waktu, ka rena kebetulan sibuk ngojek “
“Uwa tau, nggak. Minggu lalu itu, memba has berangkat umroh bersama, untuk yang keli ma kalinya. Guru ngaji keluarga uwa dan suami nya, juga diajak lho, wa “
“Oh, yaa? Sok tau amat, sih, kamu?”
“Lhoo, kan, waktu itu, bu Ustadzah dan suaminya hadir di rumah Tuan Sadikin. Saya denger, pada setuju iuran untuk membiayai ongkos bu ustadzah dan suaminya,” jelas Mi nah, lebih rinci lagi.
Babe terpana.
“Kok, uwa malah nggak diajak, ya?”
Babe hanya tersenyum.
Ia lantas buru-buru pamit. Bukan lantaran kesal atau emosi. Ia memilih cepat pulang, ka rena kuatir Minah nyeplos. Soalnya, bisa saja ia menyimpulkan, dan tanpa bermaksud menyu dutkan Babe, Minah yang banyak omong, bisa bilang, begini atau begitu. Babe yang bergegas pulang, hanya berpesan agar Minah menyam paikan salam ke adiknya.
******
CUMA Babe yang belum pernah me nginjakkan kakinya ke Mekkah dan Madinah, belum pernah menikmati indahnya tawaf dan asyiknya melempar jumroh. Sedangkan ketiga adik dan kedua kakaknya, malah selalu satu kloter, dalam dua kali kesempatan melaksana kan ibadah haji.
Babe memang pernah melihat Ka’bah dan keinternasionalan bandara King Abdul Aziz yang megah, di televisi. Sampai saat ini, hasratnya berumroh pun, masih tetap terbingkai dalam mimpi. Sedangkan kedua kakak, tiga adik dan lima iparnya, sudah empat kali melak sanakan umroh
Mendengar rencana adik dan kakak kan dungnya akan melaksanakan umroh ke lima, Babe tetap meninggalkan pisang ambon yang dibawanya. Ia tak tertarik untuk kembali membawanya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Babe tak mencerita kan perihal pesta ulang tahun keponakannya yang dilangsungkan di sebuah restoran mewah. Babe hanya menginformasikan rencana saudara kandungnya, yang dua bulan mendatang akan melaksanakan umroh untuk kali yang kelima
Di keluarganya, babe doang yang tidak dipanggil dengan sebutan haji. Ketiga adik dan dua kakaknya—juga suami atau isterinya, sela lu dipanggil dengan Haji dan Hajjah.
Di antara enam bersaudara pasangan almarhum bapak Wiranata Sandjaya dan almar humah Juliati, hanya Babe yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dan belum berumroh
Kedua kakak dan tiga adiknya, tidak per nah memanggil Babe-- nama aslinya Hambali Suradinata, dengan sebutan pak Haji. Tentu sa ja mereka punya alasan kuat. Karena Hambali belum pernah berangkat ke Tanah Suci. Baik untuk ibadah haji maupun umroh
Mereka juga punya alasan kuat,untuk tidak membantu Babe. Sebab, hanya Babe yang tidak pernah memanggil Haji atau Hajjah, dan cuma Babe yang tidak pernah gembar gem bor, menceritakan sukses mereka ke sanak sau dara dan para tetangga di kampung halaman.
Hingga saat ini, tak satupun dari lima saudara Babe yang telah dua kali berhaji dan dua bulan mendatang akan umroh bareng untuk yang kelima kalinya, berinisiatif untuk be rembuk, bermusyawarah, sehingga lahir keikh lasan memberangkatkan Babe dan isterinya, ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah Haji.
Padahal, guru ngaji mereka yang tiap jumpa dimana pun selalu memanggil mereka Haji dan Hajjah, kerap mengajak wisata ziarah, gemar memuji sukses mereka, dan sering me minjam uang tapi sampai saat ini tak pernah mengembalikan--karena merasa sebagai guru, diajak oleh saudara kandung Babe berumroh.
Mereka merasa berhak dan pantas me manggil guru ngaji mereka dan suaminya deng an sebutan Hajjah dan Haji. Juga bangga, kare na guru ngajinya bisa menambah namanya de ngan Hj, dan k arena ia berhasil mengajak su aminya ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah haji, suaminya pun menempelkan H di depan nama aslinya.
Terlebih, guru ngajinya dan juga suami nya, sering menyebutkan, mereka bisa melak sanakan ibadah haji ke Tanah Suci, karena di biayai oleh dua kakak dan tiga adik Babe, yang ikhlas membiayai pelaksanaan ibadah haji mereka
Babe tidak pernah marah.
Terlebih kesal sampai ledakkan emosi
Babe tidak pernah sedih
Terlebih mencaci maki
Babe tidak pernah iri terlebih benci
Babe malah semakin tahu diri
Ia tetap menghargai saudara kandungnya.
Tetap menghormati kedua kakak dan keti ga adiknya. Sebab, mereka saudara kandung Ba be. Bahkan, Babe menghargai dan menghorma ti ipar-iparnya. Bagi Babe, menghargai dan menghormati saudara kandung, sangat penting. Jika mereka tak menghargai, menghormati dan tak membantu Babe, bukan hal penting.
Sebab, yang Babe lakukan hanya karena Allah. Bukan lantaran saudara kandungnya, ba nyak harta, dalam kemewahan dan mampu membiayai ibadah haji guru ngaji mereka dan suaminya
Babe tetap bersilaturahmi. Selalu ber usaha membawa apa saja yang bisa dibawa ke rumah ketiga adik dan kedua kakaknya. Alasan Babe, sangat sederhana. Bersilaturahmi dan bi sa memberi dengan ikhlas, disukai Allah
Menurut almarhum ayahnya, dalam kon disi apapun, lebih baik suka memberi daripada meminta, terlebih sengaja tengadahkan tangan.
Babe tak pernah mempersoalkan, me ngapa ketiga adik dan kedua kakak serta ipar-iparnya--hingga saat ini, semakin jarang bersila turahmi ke rumahnya. Juga tak pernah mem bantunya. Padahal, babe sering mendengar, sau dara kandungnya, kerap menggelar acara amal--berbagi dengan kaum dhuafa, secara bergan tian.
“Itu bukan hal penting, bu “ Tegas Babe , ketika ia kembali mengajak isterinya bersilatu rahmi, ke rumah Tinni Astuti, dan kerumah saudara kandungnya yang lain
Babe yang mendengar kabar adik bung sunya, Tinni Astuti, sedang hamil anak ketiga nya, tak tersinggung apalagi marah, mendengar penolakan isterinya
“Tapi saya harus diperbolehkan menga nggapnya sebagai hal penting,” tegas isteri Ba be, sembari menyeka butiran air mata yang ber jatuhan di pipinya.
“Itu karena ibu punya keinginan agar kakak dan adik saya juga berkunjung ke rumah kita, kan? “
“Apa itu salah ?”
“Mungkin, malah benar, bila dasar yang ibu jadikan pertimbangan adalah keinginan ag ar mereka juga balas mengunjungi dan mau ber bagi. Iya, kan ?”
“Bang…saya ini manusia biasa, dan ha nya seorang perempuan. Kalau pun saya ingin mereka berkunjung ke rumah kita, bukan untuk menuntut agar saudara abang menghormati dan menghargai saya.
Saya justru berharap mereka menghar gai dan menghormati abang, karena abang su ami saya dan sekandung dengan mereka.
Sampai kapanpun, abang tetap terikat dalam hubungan keluarga. Saya, semisal kita bercerai, atau abang meninggal terlebih dahulu, tak punya ikatan apa-apa lagi, selain karena setiap hamba harus tetap taat pada Allah, bang. Tapi abang ?”
Isteri Babe tak bisa menahan tangis
“Abang tidak perlu terus menerus me ngalah. Sabar dan mengalah itu, ada batasnya, bang. Saya sedih, karena mereka tak meng hargai dan menghormati abang
Kita sering mendengar, mereka kerap mengundang anak-anak yatim dan orang-orang miskin, ke rumahnya. Tapi tiap abang datang ke rumah saudara kandung abang, tak pernah dapat apa-apa, kecuali cerita semata.
Mestinya, paling tidak, mereka mena nyakan, apakah abang yang sudah enam bulan tidak bekerja, bisa memberi makan isteri dan dua anak abang? Tidak pernah,kan, bang?.
Apa abang tidak sedih? Tidak kecewa? Mereka itu saudara kandung abang. Tapi perla kuan mereka terhadap abang?
Saya sedih, bang.
Saya sangat kecewa.
Abang selalu berusaha bersilaturahmi, berusaha membawa apa yang bisa abang beri kan kepada saudara abang. Tapi mereka? Jangankan berkunjung atau memberi. Menel pon abang dan sekedar menanyakan kondisi abang saja, sampai saat ini, tak pernah bang ?”
Babe mengambil sapu tangan di saku celananya. Menyeka air mata yang membasahi pipi isterinya. Babe jadi terbawa suasana. Ia ikut sedih karena isterinya kelihatan sedang sedih Bukan sedih karena ketiga adik, dua kakak dan ipar-iparnya, tak pernah berkunjung ke rumah Babe. Juga tak pernah pernah mem bantu Babe, meski Babe kadang ditanya dan selalu menjelaskan, setiap pagi sampai sore ia hanya bisa mengojek.
“Akhirnya, abang sedih. Sedihnya abang seperti kesedihan saya, kan ?” Kata isteri Baba, yang akhirnya melihat, suaminya bisa mengucurkan air mata.
Babe tetap berusaha tersenyum
“Saya sedih karena isteri saya sedih dan menangis. Bukan karena saudara kandung saya semakin jarang berkunjung, tak pernah
berbagi dan entah kapan punya waktu untuk ber kunjung ke ru mah kita, “ ujar Babe.
Ia sama sekali tak berbohong
Babe sedih karena isterinya menangis,
Ia tak nau lagi ikut dengan Babe--ber kunjung ke rumah Tinni Astuti, adik bungsu Ba be, yang sedang hamil dua bulan, untuk anak ketiganya.
Tinni dan suaminya, tinggal di kawasan perumahan mewah. Babe, tinggal di kawasan perumahan KPR. Sudah sebelas tahun, Babe tinggal di perumahan Banjir Emas Indah. Sejak pindah ke sana, hingga saat ini, Babe hanya bisa ngontrak
“Bang…saya tak tahu lagi bagaimana cara saya menjelaskan, agar abang mengerti sa ya kecewa karena mereka sama sekali tak meng hargai dan menghormati abang”
“Ibu tak perlu menjelaskan dan juga tak usah mencari cara apapun untuk menjelaskan. Saya biasa menerima kenyataan seperti ini, kok bu. Juga biasa menghargai dan menghormati mereka. Jika mereka bersikap sebaliknya terha dap saya, tak pernah saya persoalkan “
“Ya, terserah abang. Tapi,saya sudah ti dak mau ikut lagi “
Babe tak memaksa isterinya.
Ia hanya minta isterinya mengikhlaskan suaminya pergi ke rumah Tinni. Menurut Babe, dia harus tahu, apakah Doni, suami adiknya, yang tahu sudah dua kali isterinye hamil, tak pernah membawakan rujak untuk Tinni, meski Doni sendiri yang cerita, di dekat kantornya ada rujak enak
*****

Di rumah kontrakan Babe, semakin ba nyak anak-anak yang belajar mengaji. Setiap malam, isterinya sibuk menyediakan teh manis untuk anak-anak, yang memang haus seusai mengaji. Anak-anak senang minikmati teh, bua tan isteri Babe, karena terasa sedemikian sedap saat dinikmati.
Padahal, di rumahnya, anak-anak sering dan bisa sampai lima atau enam kali minum teh. Tapi, teh seduhan isteri guru ngaji mereka, selalu terasa lebih nikmat
Beberapa ibu, ada yang sampai sengaja datang untuk membuktikan nikmatnya rasa teh buatan isteri Babe. Mereka kesal, karena anak nya terus mengatakan, rasa teh buatan ibunya tak pernah senikmat rasa teh, buatan isteri Ba be. Terlebih, anak-anak tidak diwajibkan men cuci gelas, yang mereka pakai untuk minum

0 komentar:

Post a Comment