Oesman Doblank
HARI
TELAH
SENJA
BABE sama
sekali tak kecewa, saat tiba di rumah adik kandungnya, hanya ditemui
Mi nah, salah seorang dari tiga pembantu yang be kerja di rumah Tinni
Sumarni, adik bungsu Babe. Ia tetap meminta Minah untuk menaruh
pisang ambon di meja makan, agar Dindin, ke ponakannya, yang suka
pisang ambon, menik mati oleh-oleh yang dibawanya.
Minah yang
bergegas menyediakan ko pi untuk babe, menginformasikan, tuan beserta
nyonya dan kedua kakaknya, setengah jam sebe lum Babe sampai, sudah
berangkat bareng. Mereka menuju ke sebuah restoran mewah, un tuk
menghadiri pesta ulang tahun Tasya yang ke delapan.
Tasya, juga
keponakan Babe. Ia putri kedua Sutisna, adik pertama babe. Dan kata
Minah, Adik dan kakak babe, sudah meluncur bersama keluarga
masing-masing, untuk menik mati suasana pesta ulang tahun Tasya yang
di gelar di sebuah restoran mewah.
“Memang uwa
tidak diundang?” Tanya Minah. Ia jelas kepingin tahu, mengapa Babe
justeru datang ke rumah majikannya, dan bukan berangkat ke tempat
ulang tahun Tasya
“Pastinya,
ya diundang. Hanya, saya lu pa mencatat hari, tanggal dan waktunya.
Jadi, setelah selesai antar langganan, saya malah me luncur ke mari,”
sahut Babe.
Babe terpaksa
berbohong
Ia tak ingin
membahas apapun dengan Minah. Bukan karena ia pembantu di rumah adik
kandungnya. Tapi, urusan keluarga Babe tak layak dicampuri oleh siapa
pun, termasuk Minah, yang menurut Babe, lebih pantas me ngurus
urusannya sendiri. Atau setidaknya, lebih baik ia konsen dengan
tugasnya sebagai pembantu. Bila bisa bekerja dengan baik, pasti
leluasa untuk minta kenaikan gaji dan setiap lebaran diizinkan pulang
kampung.
“Oh iya, uwa
sudah tahu belum, tuan dan nyonya mau umroh ?”
“Kok kamu
tau, sih?”
“Ya, pasti
taulah, Wa. Minggu lalu, kan diajak tuan dan nyonya ke rumah pak
Sadikin. Semua keluarga uwa, hadir,lho. Cuma uwa saja yang tidak
datang “
“Iya, saya
sering nggak punya waktu, ka rena kebetulan sibuk ngojek “
“Uwa tau,
nggak. Minggu lalu itu, memba has berangkat umroh bersama, untuk yang
keli ma kalinya. Guru ngaji keluarga uwa dan suami nya, juga diajak
lho, wa “
“Oh, yaa? Sok
tau amat, sih, kamu?”
“Lhoo, kan,
waktu itu, bu Ustadzah dan suaminya hadir di rumah Tuan Sadikin. Saya
denger, pada setuju iuran untuk membiayai ongkos bu ustadzah dan
suaminya,” jelas Mi nah, lebih rinci lagi.
Babe terpana.
“Kok, uwa
malah nggak diajak, ya?”
Babe hanya
tersenyum.
Ia lantas
buru-buru pamit. Bukan lantaran kesal atau emosi. Ia memilih cepat
pulang, ka rena kuatir Minah nyeplos. Soalnya, bisa saja ia
menyimpulkan, dan tanpa bermaksud menyu dutkan Babe, Minah yang
banyak omong, bisa bilang, begini atau begitu. Babe yang bergegas
pulang, hanya berpesan agar Minah menyam paikan salam ke adiknya.
******
CUMA
Babe yang belum pernah me nginjakkan kakinya ke Mekkah dan
Madinah, belum pernah menikmati indahnya tawaf dan asyiknya melempar
jumroh. Sedangkan ketiga adik dan kedua kakaknya, malah selalu satu
kloter, dalam dua kali kesempatan melaksana kan ibadah haji.
Babe memang
pernah melihat Ka’bah dan keinternasionalan bandara King Abdul Aziz
yang megah, di televisi. Sampai saat ini, hasratnya berumroh pun,
masih tetap terbingkai dalam mimpi. Sedangkan kedua kakak, tiga adik
dan lima iparnya, sudah empat kali melak sanakan umroh
Mendengar
rencana adik dan kakak kan dungnya akan melaksanakan umroh ke lima,
Babe tetap meninggalkan pisang ambon yang dibawanya. Ia tak tertarik
untuk kembali membawanya pulang ke rumah.
Sesampai di
rumah, Babe tak mencerita kan perihal pesta ulang tahun keponakannya
yang dilangsungkan di sebuah restoran mewah. Babe hanya
menginformasikan rencana saudara kandungnya, yang dua bulan mendatang
akan melaksanakan umroh untuk kali yang kelima
Di
keluarganya, babe doang yang tidak dipanggil dengan
sebutan haji. Ketiga adik dan dua kakaknya—juga suami atau
isterinya, sela lu dipanggil dengan Haji dan Hajjah.
Di antara enam
bersaudara pasangan almarhum bapak Wiranata Sandjaya dan almar humah
Juliati, hanya Babe yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dan
belum berumroh
Kedua kakak dan
tiga adiknya, tidak per nah memanggil Babe-- nama aslinya Hambali
Suradinata, dengan sebutan pak Haji. Tentu sa ja mereka punya alasan
kuat. Karena Hambali belum pernah berangkat ke Tanah Suci. Baik untuk
ibadah haji maupun umroh
Mereka juga
punya alasan kuat,untuk tidak membantu Babe. Sebab, hanya Babe yang
tidak pernah memanggil Haji atau Hajjah, dan cuma Babe yang tidak
pernah gembar gem bor, menceritakan sukses mereka ke sanak sau dara
dan para tetangga di kampung halaman.
Hingga saat
ini, tak satupun dari lima saudara Babe yang telah dua kali berhaji
dan dua bulan mendatang akan umroh bareng untuk yang kelima kalinya,
berinisiatif untuk be rembuk, bermusyawarah, sehingga lahir keikh
lasan memberangkatkan Babe dan isterinya, ke Tanah Suci,
melaksanakan ibadah Haji.
Padahal, guru
ngaji mereka yang tiap jumpa dimana pun selalu memanggil mereka Haji
dan Hajjah, kerap mengajak wisata ziarah, gemar memuji sukses
mereka, dan sering me minjam uang tapi sampai saat ini tak pernah
mengembalikan--karena merasa sebagai guru, diajak oleh saudara
kandung Babe berumroh.
Mereka merasa
berhak dan pantas me manggil guru ngaji mereka dan suaminya deng an
sebutan Hajjah dan Haji. Juga bangga, kare na guru ngajinya bisa
menambah namanya de ngan Hj, dan k arena ia berhasil mengajak su
aminya ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah haji, suaminya pun
menempelkan H di depan nama aslinya.
Terlebih, guru
ngajinya dan juga suami nya, sering menyebutkan, mereka bisa melak
sanakan ibadah haji ke Tanah Suci, karena di biayai oleh dua kakak
dan tiga adik Babe, yang ikhlas membiayai pelaksanaan ibadah haji
mereka
Babe tidak
pernah marah.
Terlebih kesal
sampai ledakkan emosi
Babe tidak
pernah sedih
Terlebih mencaci
maki
Babe tidak
pernah iri terlebih benci
Babe malah
semakin tahu diri
Ia tetap
menghargai saudara kandungnya.
Tetap
menghormati kedua kakak dan keti ga adiknya. Sebab, mereka saudara
kandung Ba be. Bahkan, Babe menghargai dan menghorma ti ipar-iparnya.
Bagi Babe, menghargai dan menghormati saudara kandung, sangat
penting. Jika mereka tak menghargai, menghormati dan tak membantu
Babe, bukan hal penting.
Sebab, yang
Babe lakukan hanya karena Allah. Bukan lantaran saudara kandungnya,
ba nyak harta, dalam kemewahan dan mampu membiayai ibadah haji guru
ngaji mereka dan suaminya
Babe tetap
bersilaturahmi. Selalu ber usaha membawa apa saja yang bisa dibawa ke
rumah ketiga adik dan kedua kakaknya. Alasan Babe, sangat sederhana.
Bersilaturahmi dan bi sa memberi dengan ikhlas, disukai Allah
Menurut
almarhum ayahnya, dalam kon disi apapun, lebih baik suka memberi
daripada meminta, terlebih sengaja tengadahkan tangan.
Babe tak
pernah mempersoalkan, me ngapa ketiga adik dan kedua kakak serta
ipar-iparnya--hingga saat ini, semakin jarang bersila turahmi ke
rumahnya. Juga tak pernah mem bantunya. Padahal, babe sering
mendengar, sau dara kandungnya, kerap menggelar acara amal--berbagi
dengan kaum dhuafa, secara bergan tian.
“Itu bukan
hal penting, bu “ Tegas Babe , ketika ia kembali mengajak isterinya
bersilatu rahmi, ke rumah Tinni Astuti, dan kerumah saudara
kandungnya yang lain
Babe yang
mendengar kabar adik bung sunya, Tinni Astuti, sedang hamil anak
ketiga nya, tak tersinggung apalagi marah, mendengar penolakan
isterinya
“Tapi saya
harus diperbolehkan menga nggapnya sebagai hal penting,” tegas
isteri Ba be, sembari menyeka butiran air mata yang ber jatuhan di
pipinya.
“Itu karena
ibu punya keinginan agar kakak dan adik saya juga berkunjung ke rumah
kita, kan? “
“Apa itu
salah ?”
“Mungkin,
malah benar, bila dasar yang ibu jadikan pertimbangan adalah
keinginan ag ar mereka juga balas mengunjungi dan mau ber bagi. Iya,
kan ?”
“Bang…saya
ini manusia biasa, dan ha nya seorang perempuan. Kalau pun saya
ingin mereka berkunjung ke rumah kita, bukan untuk menuntut agar
saudara abang menghormati dan menghargai saya.
Saya justru
berharap mereka menghar gai dan menghormati abang, karena abang su
ami saya dan sekandung dengan mereka.
Sampai
kapanpun, abang tetap terikat dalam hubungan keluarga. Saya, semisal
kita bercerai, atau abang meninggal terlebih dahulu, tak punya ikatan
apa-apa lagi, selain karena setiap hamba harus tetap taat pada
Allah, bang. Tapi abang ?”
Isteri Babe
tak bisa menahan tangis
“Abang
tidak perlu terus menerus me ngalah. Sabar dan mengalah itu, ada
batasnya, bang. Saya sedih, karena mereka tak meng hargai dan
menghormati abang
Kita sering
mendengar, mereka kerap mengundang anak-anak yatim dan orang-orang
miskin, ke rumahnya. Tapi tiap abang datang ke rumah saudara kandung
abang, tak pernah dapat apa-apa, kecuali cerita semata.
Mestinya,
paling tidak, mereka mena nyakan, apakah abang yang sudah enam bulan
tidak bekerja, bisa memberi makan isteri dan dua anak abang? Tidak
pernah,kan, bang?.
Apa abang
tidak sedih? Tidak kecewa? Mereka itu saudara kandung abang. Tapi
perla kuan mereka terhadap abang?
Saya sedih,
bang.
Saya sangat
kecewa.
Abang selalu
berusaha bersilaturahmi, berusaha membawa apa yang bisa abang beri
kan kepada saudara abang. Tapi mereka? Jangankan berkunjung atau
memberi. Menel pon abang dan sekedar menanyakan kondisi abang saja,
sampai saat ini, tak pernah bang ?”
Babe
mengambil sapu tangan di saku celananya. Menyeka air mata yang
membasahi pipi isterinya. Babe jadi terbawa suasana. Ia ikut sedih
karena isterinya kelihatan sedang sedih Bukan sedih karena ketiga
adik, dua kakak dan ipar-iparnya, tak pernah berkunjung ke rumah
Babe. Juga tak pernah pernah mem bantu Babe, meski Babe kadang
ditanya dan selalu menjelaskan, setiap pagi sampai sore ia hanya bisa
mengojek.
“Akhirnya,
abang sedih. Sedihnya abang seperti kesedihan saya, kan ?” Kata
isteri Baba, yang akhirnya melihat, suaminya bisa mengucurkan air
mata.
Babe tetap
berusaha tersenyum
“Saya
sedih karena isteri saya sedih dan menangis. Bukan karena saudara
kandung saya semakin jarang berkunjung, tak pernah
berbagi dan entah kapan
punya waktu untuk ber kunjung ke ru mah kita, “ ujar Babe.
Ia sama
sekali tak berbohong
Babe sedih
karena isterinya menangis,
Ia tak nau
lagi ikut dengan Babe--ber kunjung ke rumah Tinni Astuti, adik bungsu
Ba be, yang sedang hamil dua bulan, untuk anak ketiganya.
Tinni dan
suaminya, tinggal di kawasan perumahan mewah. Babe, tinggal di
kawasan perumahan KPR. Sudah sebelas tahun, Babe tinggal di
perumahan Banjir Emas Indah. Sejak pindah ke sana, hingga saat ini,
Babe hanya bisa ngontrak
“Bang…saya
tak tahu lagi bagaimana cara saya menjelaskan, agar abang mengerti sa
ya kecewa karena mereka sama sekali tak meng hargai dan menghormati
abang”
“Ibu tak
perlu menjelaskan dan juga tak usah mencari cara apapun untuk
menjelaskan. Saya biasa menerima kenyataan seperti ini, kok bu. Juga
biasa menghargai dan menghormati mereka. Jika mereka bersikap
sebaliknya terha dap saya, tak pernah saya persoalkan “
“Ya,
terserah abang. Tapi,saya sudah ti dak mau ikut lagi “
Babe tak
memaksa isterinya.
Ia hanya minta
isterinya mengikhlaskan suaminya pergi ke rumah Tinni. Menurut Babe,
dia harus tahu, apakah Doni, suami adiknya, yang tahu sudah dua kali
isterinye hamil, tak pernah membawakan rujak untuk Tinni, meski Doni
sendiri yang cerita, di dekat kantornya ada rujak enak
*****
Di rumah
kontrakan Babe, semakin ba nyak anak-anak yang belajar mengaji.
Setiap malam, isterinya sibuk menyediakan teh manis untuk anak-anak,
yang memang haus seusai mengaji. Anak-anak senang minikmati teh, bua
tan isteri Babe, karena terasa sedemikian sedap saat dinikmati.
Padahal, di
rumahnya, anak-anak sering dan bisa sampai lima atau enam kali minum
teh. Tapi, teh seduhan isteri guru ngaji mereka, selalu terasa lebih
nikmat
Beberapa ibu,
ada yang sampai sengaja datang untuk membuktikan nikmatnya rasa teh
buatan isteri Babe. Mereka kesal, karena anak nya terus mengatakan,
rasa teh buatan ibunya tak pernah senikmat rasa teh, buatan isteri Ba
be. Terlebih, anak-anak tidak diwajibkan men cuci gelas, yang mereka
pakai untuk minum
0 komentar:
Post a Comment