MASIH ADA JALAN
oleh: Oesman Doblank
SEPULUH
Karena mendadak, supir kendaraan di belakang sedan yang
dikemudikan Tarman, tak mampu mengendalikan mobil boksnya. Supirnya
dan kenaknya pun, tak sempat beristighfar, ka rena tengah berbincang
dengan kneknya. Saking asyik dan membuat supir dan knek ngakak ba
reng, tak tahu jika sedan di depan mereka ber henti mendadak.
Tak ingin celaka, boleh saja. Tak ingin terkena musibah atau
bencana, sah-sah sa ja. Siapa dan dimana pun, yang namanya manu sia,
punya keinginan yang sama. Ingin selamat. Tak ada yang ingin mendapat
kecelakaan. Berba gai bentuk musibah, mulai Tsunami sampai ban jir
yang hanya semata kaki pun, inginnya dihin darkan. Tapi, sanggupkah
manusia ‘berontak’ da ri kehendak Tuhan?
Semisal di belakang sedan yang dike mudikan Sutarman tak ada
kendaraan lainnya, bo leh jadi, pak Sadewa hanya luka di kening , ka
rena terbentur sandaran jok depan mobilnya. Ta pi, isterinya ? Belum
tentu sekedar luka ringan, setelah ia terpental akibat mobil yang
dibawa Su tarman berhenti dengan sangat mendadak
Nyatanya, di belakang sedan mewah mereka, banyak kendaraan lainnya.
Salah satu nya, mobil boks besar, mengangkut berbagai jenis sembako.
Bukan mobil itu yang membuat sedan di depannya--yang berhenti
mendadak, tertabrak. Tapi, karena pengemudinya, tengah asyik
berbincang, dan menurut kneknya, yang luka parah, ketika mereka asyik
tertawa terba hak-bahak, jarak mobi boks besar dan sedan yang
berhenti mendadak, hanya beberapa meter.
Jika supir sedan malah secara tak se ngaja menginjak rem, pengemudi
boks yang gu gup dan berusaha menginjak rem, dalam keadaan demikian,
malah menginjak gas. Tabrakan tak ter hindarkan. Benturan yang begitu
keras dan sam pai menimbulkan suara menggelegar, tak saja me
ngagetkan para penumpangnya. Orang-orang di tepi jalan pun,
terkesiap.
Mereka, seketika berhamburan. Mo bil dan kendaraan lain yang
melintas, dan jarak nya berdekatan, memang ada yang langsung saja
menghilang. Tapi, juga banyak yang menghen tikan kendaraannya
Keingin-tahuan tentang nasib pengen dara dan penumpangnye, membuat
kerumunan yang malah merepotkan pihak yang ingin mem bantu
menyelamatkan, terhalang oleh kerumunan orang yang hanya ingin
sekedar melihat nasib orang lain yang mengalami musibah.
Seketika, jalanan jadi macet total. Ke banyakan pengemudi,
tertarik menghentikan ken daraan mereka, dengan seenaknya.
“
Kayaknya, semua penumpang sedan tak tertolong. Mati semua,” kata
seseorang de ngan raut wajah yang biasa-biasa saja.
“
Pengemudi dan knek mobil boksnya mati juga?” tanya seorang
pengemudi, dari da lam mobilnya. Ia kesal, karena yang ditanya ma lah
mempercepat langkahnya.
Ia baru tahu, setelah beberapa orang mengejar sambil berteriak
kencang.
“ Copet. Copeeet. Tangkap, orang itu, copet!”
“Pantas gue tanya dia malah jalan makin cepat. Nggak taunya, tuh
orang, copet “ Gerutu si pengemudi yang lantas menggerakkan
mobilnya. Ia tak sempat memperhatikan orang-orang yang mengejar
copet, karena pengendara di belakangnya, terus membunyikan klakson.
Setelah melihat tiga ambulans yang dalam waktu singkat sudah tiba di
lokasi keja dian, orang-orang yang berkerumun tak bisa le bih lama
bertahan. Ketangkasan petugas bekerja, membuat evakuasi berlangsung
dengan begitu singkat. Ketiga mobil ambulan bergerak lagi. .
Bunyi sirene yang memekakkan teli nga, entah sekedar
menyuarakan permintaan agar diberi keleluasaan untuk melaju dengan
kencang, atau sekaligus menyuarakan duka cita.
Yang jelas, orang-orang yang berkeru mun tak ada yang
berkomentar, segalanya berja lan dengan cepat. Seperti halnya ketiga
mobil am bulan, yang bergerak beriringan. Entah menuju rumah sakit
terjauh atau paling dekat. Yang jelas, mereka hanya bisa memandang
dan setelah am bulan lenyap dari pandangan mata, satu persatu
meninggalkan lokasi kejadian.
Dua petugas polantas nampak sibuk melaksanakan tugas. Mengatur
kembali agar ke macetan segera teratasi. Seorang lagi, sibuk ber
komunikasi, sampai akhirnya, ia memberi aba-aba pada pengemudi mobil
derek agar leluasa me laksanakan tugasnya. Membawa mobil sedan me wah
yang rusak berat ke kantor polisi. Dan mobil boks besar, yang juga
diderek ke tempat yang sama.
Bondan terbangun. Kondisi tubuhnya be lum pulih. Jauh dari segar.
Memang sangat ken tara, jika Bondan masih lemas. Tapi suhu tubuh nya
sudah berubah. Tidak lagi panas, seperti sebelum dikompres. Bondan
baru ingin memang gil mbok Sinem. Tapi, saat ia menoleh ke pintu
kamar, matanya menangkap sosok mbok Sinem, yang pantatnya terduduk di
lantai, kepalanya tersandar ke tempat tidur Bondan.
Bondan membatalkan niat, memanggil mbok Sinem. Meski tubuhnya
masih terasa le mas, Bondan meraih bantal. Dan perlahan ia me
nggerakkan tubuhnya ke tepian ranjang. Dengan sangat hati-hati,
Bondan meraih bahu mbok Si nem. Meski perlahan, ia bisa menarik tubuh
si mbok, yang sedemikian lelap. Bondan melihat ruang yang cukup,
untuk menempatkan batal empuk ke sisi bagian bawah ranjangnya.
Bondan sempat terengah-engah. Tapi, kepala si mbok sudah bersandar ke
bantal empuk. Membuatnya lega. Terlebih, mbok Si nem terlihat sangat
letih. Begitu lelapnya, hingga tak terbangun saat Bondan
mengangkatnya. Bon dan menatap sejenak wajah mbok Sinem yang te rus
lelap karena lelah menjaga dan mengurusnya.
Bondan melihat jam tangannya. Ia tersentak. Soalnya sudah setengah
enam. Sudah menjelang maghrib. Bondan menguatkan diri, melangkah ke
kamar mandi. Meski perlahan, ia bisa sampai ke pintu kamar mandi.
Tapi, niatnya masuk terhambat. Ia mendengar jelas suara, si mbok.
“ Deeeen… Maaf…mbok tertidur. Biar si mbok membantu memapah”
Bondan menoleh. Melihat si mbok bergegas berdiri. Meletakkan bantal
ke ranjang nya. Menghampiri Bondan dengan tergesa. Tapi, Bondan
menolak keinginan mbok Sinem, yang ingin memapahnya ke dalam kamar
yang hanya tiga meter dari ranjangnya
Bersambung
0 komentar:
Post a Comment