MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH
(10)
MBOK
Sinem menyambut Bondan de ngan isak tangis. Bondan mengira, ia kecewa de ngan
menantunya, yang malah tak mau diajak tinggal bersama mbok Sinem, di rumah
Bondan, meski gratis. Malah sekalian bisa ikut kerja deng an gaji yang
jumlahnya lumayan.
“ Si mbok, kok kayak anak kecil ?
Kalau menantu si mbok tidak bersedia tinggal di sini, kan, no problem, mbok.
Tokh, kita bisa cari yang lain. Siapa orangnya, terserah si mbok. Yang pen ting,
cocok sama si mbok “
“Ndoro Sadewa, den. Ndoro, Sade wa...Huhuhu
“
“ Ooh, bapak datang ? Ngirim duit,
ya mbok? Asyiiik. Sekarang saya tahu, si mbok ter haru karena sebentar lagi dapat
tips dari saya? Iya, kan? Hahahaha, Mbok..mbok..mau dapat tips, kok, malah
sesenggukan. Mestinya, si mbok bersyukur pada Allah. Lalu, tersenyum. Mau
ngakan seperti saya, juga nggak bakal saya larang, kok Mbok . Hahahahahaha”
Mbok Sinem bukan tidak kesal. Tapi,
kare na sangat hafal siapa dan bagaimana Bondan, ke kesalan mbok Sinem hanya
dimakamkan di hati nya. Yang kemudian dilakukan mbok Sinem, se telah melupakan
kesalnya, berusaha untuk me nyampaikan kabar duka. Meski mbok Sinem me rasa kesulitan
menyampaikan, toh, bisa juga mbok Sinem berkata.
“Ayah aden…ndoro
Sadewa…wafat, den. Meninggal…”
Bondan sungguh sangat terkejut. Ia tak
percaya, kalimat si mbok yang terucap dengan terbata-bata, merupakan berita
duka.
“Apa mbok bilang ?” Tanya Bondan, yang
tanpa sadar, meraih bahu si mbok, dan dengan reflek mengguncang tubuh pembantunya
“Ayah den Bondan meninggal,” sahut si
Mbok dengan suara lemah
“Apa? Bapak saya…meninggal ? “
“ Iya, den. Dalam kecelakaan lalu
lintas “
“Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…”
Bondan melepaskan kedua tangannya
da ri bahu si mbok. Ia terkulai. Tersungkur ke bumi. Tubuhnya lemas. Bondan lalu seperti anak kecil, ia tak
cuma sekedar kelihatan menangis. Tapi, meraung
raung. Meletupkan kesedihan ditinggal bapak
“Huhuhuhuhuhuhuuuhuu, Ya Allah, Tu
hanku Yang Maha Pengampun, maafkan bapak
saya. Jika bapak saya berdosa karena menelan tarkan saya, ampuni beliau, Tuhan.
Ampuni ba pak saya, Tuhan. Saya ikhlas.
Saya rela…saya memaafkannya. Bapak, semoga Tuhan mengam puni semua dosa-dosa
bapak, baik yang sengaja atau tidak disengaja. Baik dosa bapak yang nyata
maupun dosa bapak yang tersembunyi dari manu sia…huhuhuhu
Mbok… kapan terjadinya, mbok. Mana
je nazah bapak saya, mbok. Saya ingin memandi kan jenazah bapak, mbok ”
Mbok Sinem menghampiri Bondan. Ia
merunduk. Maraih kedua bahu Bondan.
“ Ndoro meninggal dua hari lalu,
den. Jenazahnya, dimakamkan kemarin pagi. Si mbok baru dapat kabar hari ini.
Tadi pagi, isteri Ndoro datang. Si Mbok
tidak tahu kemana harus meng hubungi aden. “
Bondan tertegun.
Tapi, sesaat berselang ia
kelihatan beru saha untuk bersikap tetang. Informasi dari si mbok Sinem yang begitu
singkat, dianggap seba gai info yang padat. Membuat Bondan maklum dan Bondan ikhlas mendapatkan kenyataan
tidak bisa ikut memandikan jenazah ayahnya yang te lah dikebumikan, seperti
yang dikatakan mbok Sinem.
“Maafkan saya, mbok. Saya memang sa
lah. Saya menyesal karena sejak Tari menikah, saya jadi malas membawa hape “
Bersambung…………..