Thursday, June 20, 2013

CERITA BERSAMBUNG (50)


MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH




                (10)


            MBOK Sinem menyambut Bondan de ngan isak tangis. Bondan mengira, ia kecewa de ngan menantunya, yang malah tak mau diajak tinggal bersama mbok Sinem, di rumah Bondan, meski gratis. Malah sekalian bisa ikut kerja deng an gaji yang jumlahnya lumayan.
            “ Si mbok, kok kayak anak kecil ? Kalau menantu si mbok tidak bersedia tinggal di sini, kan, no problem, mbok. Tokh, kita bisa cari yang lain. Siapa orangnya, terserah si mbok. Yang pen ting, cocok sama si mbok “
           “Ndoro Sadewa, den. Ndoro, Sade wa...Huhuhu “
           “ Ooh, bapak datang ? Ngirim duit, ya mbok? Asyiiik. Sekarang saya tahu, si mbok ter haru karena sebentar lagi dapat tips dari saya? Iya, kan? Hahahaha, Mbok..mbok..mau dapat tips, kok, malah sesenggukan. Mestinya, si mbok bersyukur pada Allah. Lalu, tersenyum. Mau ngakan seperti saya, juga nggak bakal saya larang, kok Mbok . Hahahahahaha”
           Mbok Sinem bukan tidak kesal. Tapi, kare na sangat hafal siapa dan bagaimana Bondan, ke kesalan mbok Sinem hanya dimakamkan di hati nya. Yang kemudian dilakukan mbok Sinem, se telah melupakan kesalnya, berusaha untuk me nyampaikan kabar duka. Meski mbok Sinem me rasa kesulitan menyampaikan, toh, bisa juga mbok Sinem berkata.
       “Ayah aden…ndoro Sadewa…wafat, den. Meninggal…”
       Bondan sungguh sangat terkejut. Ia tak percaya, kalimat si mbok yang terucap dengan terbata-bata, merupakan berita duka.
       “Apa mbok bilang ?” Tanya Bondan, yang tanpa sadar, meraih bahu si mbok, dan dengan reflek mengguncang tubuh pembantunya        
       “Ayah den Bondan meninggal,” sahut si Mbok dengan suara lemah
            “Apa? Bapak saya…meninggal ? “
            “ Iya, den. Dalam kecelakaan lalu lintas “
            “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…”
            Bondan melepaskan kedua tangannya da ri bahu si mbok. Ia terkulai. Tersungkur ke bumi. Tubuhnya  lemas. Bondan lalu seperti anak kecil, ia tak cuma sekedar kelihatan menangis. Tapi,  meraung raung. Meletupkan kesedihan ditinggal bapak
            “Huhuhuhuhuhuhuuuhuu, Ya Allah, Tu hanku Yang Maha Pengampun,  maafkan bapak saya. Jika bapak saya berdosa karena menelan tarkan saya, ampuni beliau, Tuhan. Ampuni ba pak  saya, Tuhan. Saya ikhlas. Saya rela…saya memaafkannya. Bapak, semoga Tuhan mengam puni semua dosa-dosa bapak, baik yang sengaja atau tidak disengaja. Baik dosa bapak yang nyata maupun dosa bapak yang tersembunyi dari manu sia…huhuhuhu
           Mbok… kapan terjadinya, mbok. Mana je nazah bapak saya, mbok. Saya ingin memandi kan jenazah bapak, mbok ”
Mbok Sinem menghampiri Bondan. Ia merunduk. Maraih kedua bahu Bondan.
             “ Ndoro meninggal dua hari lalu, den. Jenazahnya, dimakamkan kemarin pagi. Si mbok baru dapat kabar hari ini. Tadi pagi, isteri Ndoro datang. Si Mbok  tidak tahu kemana harus meng hubungi aden. “
             Bondan tertegun. 
             Tapi, sesaat berselang ia kelihatan beru saha untuk bersikap tetang. Informasi dari si mbok Sinem yang begitu singkat, dianggap seba gai info yang padat.  Membuat Bondan  maklum dan Bondan ikhlas mendapatkan kenyataan tidak bisa ikut memandikan jenazah ayahnya yang te lah dikebumikan, seperti yang dikatakan mbok Sinem.
            “Maafkan saya, mbok. Saya memang sa lah. Saya menyesal karena sejak Tari menikah, saya jadi malas membawa hape  “





Bersambung…………..

Wednesday, June 19, 2013

CERITA BERSAMBUNG (49)

MASIH ADA JALAN
Oleh:  Oesman Doblank

EMPAT PULUH SEMBILAN


                    “Qorun? Kok boss jadi bilang kayak Qorun. Qorun artinya apa , boss? Memang, orang kikir, bahasa arabnya, Qorun, boss?”
                    “Yaa, elu, bang. Masa’ sudah tua nggak tau Qorun, sih ?”
                    “Boss, saya memang nggak tau. Ka lau saya nggak tau tapi ngaku tau, kan, jadinya saya gak beda sama manusia yang sok tau tapi sebenarnya malah nggak tau, boss ?”
                    “Benar juga, lu. Tapi, sudah apa belum nih, ngerik badan gue? “
         “Kayaknya sih, sudah boss. Tapi, jangan pulang dulu, boss. Kecuali, setelah menjelaskan qorun.Boleh,kan,  kalau saya kepingin tahu ?”
         Sabar membereskan alat kerik dan menaruh di tempatnya. Bondan kembali menge nakan bajunya. Menghela nafas panjang. Ia merasa agak sehat. Setelah menyeruput kopinya, Bondan menjawab keingin-tahuan bang Sabar
tentang Qorun.
           Bondan berharap, bang Sabar yang usai ia jelaskan tentang Qorun lalu manggut-manggut benar - benar memahami, mengapa orang kikir alias pelit diidentikan dengan qorun.
           “Kok, bisa, ya, boss, Qorun berubah jadi orang pelit dan menganggap kekayaannya bukan dari Allah ?”
            “ Bang, manusia itu mahluk yang maha tidak sempurna. Jiwanya, seperti cuaca. Selalu berubah. Waktu miskin Qorun memang taat pada Allah. Tapi, ketaatannya sangat tradisional. Arti nya, tidak diperkuat oleh ilmu agama dan akhlak mulia.
            Makanya, yang kemudian terpikir setelah ia kaya raya, kekayaannya itu dianggap bukan datang dari Allah. Tapi, dari kerja kerasnya semata. Jadi, wajar jika ia, lantas kikir, pelit. Mengapa? Karena ia membenarkan pola pikir nya, dan mengabaikan kebenaran yang datang dari Allah.
             Padahal, kerja keras dan manajemen ke kayaannya sudah benar. Tapi, karena ia tidak me nerima kebenaran yang datang dari Allah, mem buat dirinya jatuh ke lembah takabur. Allah, kan,  nggak suka sama hambanya yang takabur. Deng an kekuasaannya, teramat mudah bagi Allah un tuk kembali memiskinkan Qorun “
             “Mudah-mudahan saya sanggup menja di orang yang suka beramal, boss. Meski cuma jadi tukang ojek. Nggap apa-apa, kan, boss?”.
             “Siapa pun kita, apapun pangkat dan ke dudukan kita, nggak pernah dipersoalkan oleh Allah, bang. Yang dinilai oleh Allah, hanya satu Apakah kita bertaqwa apa cuma ngaku bertaqwa
Kalau bertaqwa, gemar beramal ibadah. Kalau cu ma ngaku bertaqwa, sama saja bohong. Sebab, pasti nggak suka beramal dan merasa berat da lam melaksanakan ibadah “
              “Oke, boss. Sekarang. Terserah, boss. Mau nginap lagi di rumah kontrakan saya yang begini adanya, silahkan. Kalau mau pulang, juga terserah, boss saja. Sekali lagi, nggak bosan saya mengucapkan terima kasih. Semoga Allah selalu memberi rahmat pada boss dan juga pada saya “
              “Amin.Gue pamit pulang saja, bang. Oh, iya, pakain kotor gue tinggal saja, yaa. Kalau nanti abang  ada waktu, nanti antar ke rumah kontrakkan gue. Oke ? Tapi kalo gak sempat, gue rela kok dipakai sama abang ”
              “Oke, boss. Saya siap antar boss sampai ke rumah “
              “ Bang…gue kan baru masuk angin. Ka lau pulang pakai motor, malah bisa makin sakit
Kalau sakit gue makin gawat, abang mau tangung jawab? Jadi, lebih baik lu nggak usah pusing. Gue, kan bisa pulang naik  taksi. “
              Sabar bukan tidak merasa kecewa. Perasaan kecewa menyelinap di hatinya
              Hanya, tak lama. Sabar  lantas sadar, kalau Bondan memang punya alasan kuat untuk tidak merepotkan dirinya. Juga kondisinya yang memang bisa merepotkan jika kembali diajak menerabas kota besar seperti Jakarta, dengan memakai sepeda motor                      
            


Bersambung………

CERITA BERSAMBUNG (48)

MASIH ADA JALAN.
Oleh : Oesman Doblank


EMPAT PULUH DELAPAN



               Jadi, orang pintar yang sholeh dan shale hah itu, saat mereka jadi pemimpin, benar-benar hanya untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah. Bukan di mulut doang. Tapi, juga di kela kuan dan perbuatan.  Dia tidak akan mau menca ri kesempatan dalam kesempitan buat korupsi. Sebab, meski punya kesempatan seluas-luasnya buat korupsi, hatinya sudah mengharamkan per buatan korupsi “
                “Wow, asyik juga tuh, boss, kalau para orangtua bisa mendidik anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Saya bisa apa nggak, ya ?”
                “Bisa itu karena biasa, bang Sabar. Sia papun, kalau memang niat dan tekadnya bukan cuma di mulut atau di hati nggak akan bisa. Tapi, bila niat dan tekad itu  dilaksanakan, dibuktikan, pasti bisa. Kalau cuma niat doang, sama saja bo hong. Sebab, niat itu rencana. Sekarang ini, semi sal abang niat mau ke Bandung, kalau nggak di laksanakan dan dibuktikan dengan cara pergi ke Bandung, sampai presiden ganti tujuh kali, abang nggak pernah ke Bandung. Iya, kan?”
                 “ Jadi, yang penting bukan cuma niat doang, dong, boss?”
                 “Bang…niat memang penting. Tapi, menjadi tidak penting dan bohong punya niat ba ik, jika tidak dilaksanakan. Terlebih tanpa alasan yang kuat dan rasional.
                Contoh lainnya, mudah dimengerti, kok. Misalnya, saat abang lapar. Kan, bang Sabar ingin makan dan lantas niat mau makan. Meski isteri di rumah sudah masak, sudah menyiapkan lauk pauk, lengkap sama sambel, dan peralatan makan. Tapi bang Sabar cuma duduk di kursi meja makan. Seharian cuma menatap sambil terus ngucapin niat, mau makan-mau makan Sampai sejuta kali pun, bang, kalau nggak ambil piring, nyendok nasi dan lauk pauk, lalu nyuap tuh makanan ke mulut, ngunyah dan nelan, yang terjadi, abang bukannya kenyang. Tapi, langsung pingsan.
                  Kenapa? Karena cuma niat mau ma kan, tapi bang Sabar nggak pernah melaksanakan makan. Semisal abang mau pipis. Terus niat mau ke kamar mandi, supaya bisa pipis. Tapi, abang tetap saja di warung janda. Akhirnya, abang pipis di kamar mandi apa di celana ?”
                   “ Pastinya, pipis di celana dan akhir nya, saya bukan di sayang tapi malah diketawain sama tuh janda, boss. Tapi, benar, juga yang boss bilang. Salah besar, kalau niat itu dianggap pen ting, jika tidak dilaksanakan terlebih tanpa alasan yang rasional,” kata Sabar, yang usai ngerok lantas mengurut-ngurut punggung Bondan.
                   “Tapi, kalau niat mau beramal, tapi kitanya nggak punya duit, pastinya, jadi susah melaksanakannya, boss ?”

                   “ Niat beramal, menurut saya, justeru paling gampang, bang. Sebab, beramal itu harus dilaksanakan kapan saja. Baik saat lapang mau pun ketika dalam sempit. Jadi, saat niat, begitu punya seribu rupiah, langsung laksanakan. Kalau nunggu sampai punya sejuta rupiah, begitu dapat sejuta rupiah, yang kemudian terpikir, sayang ba nget kalau dikasih orang lain. Jadi, aplikasinya bukan mau di amalkan, tapi malah dibawa pergi ke mall. Habis buat shoping. Niat jadi terlupa kan. Akhirnya, jadi orang kikir, kaya Qorun “



Bersambung....

Monday, June 17, 2013

CERITA BERSAMBUNG (47)

MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank

EMPAT PULUH TUJUH



           “Kok bisa begitu, boss?” Tanya Sabar, yang dengan seksama mendengarkan opini Bon dan, sambil terus mengerik punggung Bondan, yang sebagian sudah bergaris merah.
           Bondan memang merasa nggak enak ba dan. Ia tahu, jika tubuhnya masuk angin. Untuk itulah, ia mempertimbangkan akan ke dokter, la lu pulang ke rumahnya. Tapi, Sabar yang melihat kondisi Bondan, menahan dan berinisiatif mengerik tubuh Bondan yang menurut Sabar, masuk angin.
          Meski tak biasa, Bondan tak merasa terpak sa untuk dikerik. Ia memenuhi saran Sabar, karena menghargainya dan sekaligus ingin men coba bagaimana rasanya dikerik saat tubuh dise rang penyakit masuk angin
          Bondan yang membiarkan tubuhnya dike rik, kembali meneruskan ocehannya.
           “ Menurut buku yang gue baca, lebih baik punya anak sholeh dan sholehah daripada punya anak pintar. Sebab, anak pintar akhlaknya belum tentu baik. Kepintarannya, kapan saja bisa disa lah-gunakan. Itu sebabnya, banyak koruptor. Ba nyak maling krah putih. Mafia hukum, mafia pa jak. Mereka, kebanyakan orang pintar. Bertitel. Berpangkat. Tapi, akhlaknya di bawah titik nol.
           Nah, anak sholeh dan sholehah, sejak ke cil hidupnya sudah penuh adab. Penuh tata kra ma. Tahu bagaimana cara menghargai dan meng hormati orangtua. Juga tahu cara menghargai te man sebaya yang seiman, dan teman sebaya yang beda agama.
            Disiplinnya juga tinggi. Tahu aturan. Ja di, kapan waktu main dan kapan waktu belajar, sudah bisa ngatur sendiri. Mana baik dan mana tidak baik, juga sudah paham. Karena bisa dan jadi biasa, akhirnya mereka akan paham.
           Jika sudah paham, pasti memiliki kemam puan untuk membedakan mana yang hak dan ma na yang batil, mana yang boleh dan mana yang dilarang.
           Makanya, kalau abang mau punya anak sholeh dan sholehah, didik yang baik. Ajarkan sejak dini agar mereka ngerti, waktu belajar harus belajar dan waktu main baru dipersilahkan main. Kalau tidak begitu, repot, bang.
           Tapi kalau anak abang soleh dan shole hah?  Bakalan hepi sampai akhir menutup mata, bang. Mereka, tidak akan mengambil yang bu kan haknya. Tidak usil, tidak iri, tidak suka mem fitnah, tidak ingin menguasai milik orang lain. Nah, ketika akhirnya tumbuh dewasa dan jadi orang pintar, yang dipikirkan bukan kepentingan pribadi. Tapi, kepentingan sesama.
             Waktu kerja, misinya ibadah, bukan men cari harta. Tapi, ketika rezekinya berlimpah, yang dipentingkan bukan foya-foya dan berme wah-mewah di jalan setan.
             Tapi, foya-foya dan bermewah mewah di jalan Allah. Nggak bakalan kepincut mau ke dis kotik atau nite club. Nggak bakalan keranjingan shoping. Sebab, sejak kecil, paham, semua itu bukan kegiatan amal ibadah. Jadi, hartanya di pa kai buat beramaliah. Membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan.
              Yang diutamakan, tentu saja, saudara kandungnya terlebih dahulu. Baru saudara dekat yang bukan kandung. Kemudian, meluas ke orang lain yang dikenal maupun yang tidak di kenal. Tapi, dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas itu, artinya kayak orang buang air. Nah, kotoran,  kan, kalau sudah kita buang, nggak pernah mau kita ambil lagi.

               Jadi, ikhlas itu artinya semua dilakukan hanya karena Allah. Kalau sudah begitu, ya, cuma berharap keridhoan dari Allah. Nggak mau di puji orang lain. Nggak ngungkit dan nggak ngarepin apa pun dari orang lain. Apapun namanya, kalau masih mau dapat  pujian, dapat balasan dari sesama, yaa, belum full ikhlas.


Bersambung........





Sunday, June 16, 2013

CERITA BERSAMBUNG (46)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


                                          EMPAT PULUH ENAM


              Sabar mengambil keputusan untuk tidak mau meladeni ocehan lelaki brewok itu lagi.
              “Pak..bilang betul, dong, pak. Waah, bapak belum pernah nonton Ipin dan Upin, ya?”
              Sabar segera  menjalankan motornya de ngan hati-hati. Setelah lepas dari ruang setapak di antara motor yang di parkir di kanan kiri, ia bergegas. Tak berminat menoleh dan melihat, apa yang sedang dilakukan oleh lelaki brewok berpakaian necis, yang mengaku baru saja diting galkan isteri selama-lamanya             .
             Bondan celingak celinguk. Tapi, belum juga melihat sosok si tukang ojek. Ia bertanya ke seorang satpam
               “Memang, tempat parkir motor di sebe lah mana,  pak ?”
               “Tuuuh, di sana. Di halaman belakang Duduk dulu aja, dik ?”
               “ Ma kasih, pak “
               Bondan sudah ingin duduk.
               Terdengar bunyi klakson motor 
               Bondan menoleh. Dengan santun, Bon dan pamit ke pak Satpam rumah sakit. Lalu menghampiri Sabar. Mengambil helm.
               “Kalau tau  lama, saya ikut abang ke tempat parkir,” kata Bondan yang bergegas me makai helm dan naik ke motor.
               “Nanti, abang jangan sampai lupa. Ka lau ada rumah makan, kita singgah. Perut saya su dah lapar lagi “
               “Siap boss,” sahut Bondan, yang begitu melihat plang  di tempat bayar parkir terangkat, segera meluncur.
                                  *******              
            MALAM kedua, rencana tetap nginap di rumah bang Sabar, terpaksa harus kembali diper timbangkan. Bukan lantaran rumah petakan yang dikontrak bang Sabar pengap. Juga bukan karena suasananya, bising oleh suara anak-anak yang umumnya lebih betah bermain  di luar rumah tim bang kumpul bersama orangtua mereka di rumah
          Pada hal, jika para orangtua dan anak-anak nya membiasakan diri untuk tetap betah berada di rumah – meski hanya rumah kontrakan, anak-anak tak menjadi liar. Liar dalam arti, saat bela jar mereka belajar dan orangtuanya menuntun anaknya agar lebih semangat dalam  belajar. Ti dak malah lebih semangat bermain, seolah-olah, seluruh waktu mereka hanya untuk bermain
            Jika hal pertama yang dilakukan, betah dan enjoi di rumah, yang kelak akan  terbangun, tak hanya indahnya kebiasaan bercengkrama. Ta pi, juga berbagai hal lain yang membuat hubu ngan orangtua—anak, makin harmonis. Makin dekat dan mesra. Makin saling mengerti dan memahami, di mana posisi anak dan dimana po sisi orang tua, yang memang berkewajiban dan senantiasa harus mengasuh, membimbing dan mendidik anaknya, agar tumbuh dan berkembang bersama kodrat kebaikan, seperti yang diajarkan Rasulullah SAW
            Jika para orangtua bisa mendidik dengan baik, mampu mengarahkan dengan benar, dan memotivasi dengan tepat, anak-anak mereka ak an tumbuh dan berkembang  menjadi anak anak yang sejak dini, akhirnya akan lebih mengenal dan terbiasa mengutamakan dan melaksanakan  berbagai kebaikan
           Pada akhirnya, yang tertanam di jiwanya adalah akhlak mulia. Budi pekerti yang membuat anak-anak, berjiwa sholeh dan sholehah. Tak malah sebaliknya, liar dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang tidak orientatif pada ilmu dunia maupun ilmu akhirat
            Kalau saja kesadaran ke arah itu menjiwa di setiap orangtua, akan bermunculan anak-anak sholeh dan sholehah, yang duapuluh lima tahun mendatang, mampu memakmurkan dan menjadi kan Indonesia sebagai negara adi kuasa. Dan, anak seperti itu, bisa berasal dari mana saja. Tak terkecuali dari rumah petak yang sempit, panas dan pengap


Bersambung.......

Saturday, June 15, 2013

CERITA BERSAMBUNG (45)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank

EMPAT PULUH LIMA



                  Sabar buru buru menyeka air mata dan berusaha hentikan sesenggukannya. Baru kemudian dia menoleh ke arah suara. Melihat lelaki brewok berpakaian necis, Sabar tak peduli
                  “Jangan banyak tanya, lu? Gue mau nangis, kek. Mau ngakak, kek. Kenapa lu pake mau tau urusan orang”
                  Brengseknya, lelaki brewok malah tidak merasa tersinggung. Malah, dengan sangat bersahaja dia menyahut
            “Maafin saya, pak. Soalnya, saya nggak bisa nangis. Padahal, isteri saya, baru saja me ninggal dunia  “
            Sabar yang malah kesal, membentak.
            “ Terserah bapak. Toh, bapak bisa segera cari isteri lagi. Tapi, kalau kehilangan orang ba ik, kehilangan manusia berhati malaekat, kemana saya bisa nyari gantinya?”
            “Oooh, berarti kita sama-sama kehila ngan, ya, pak?”
            “Mau sama, kek, mau beda, kek, itu uru san masing-masing  !”
            Sabar yang merasa terganggu, jadi nggak bisa nahan sabar. Ia jadi lupa kalau dirinya masih tetap sesenggukan. .
            “Iya, pak. Tadi, pak dokter juga bilang, masing-masing ada jalannya. Jadi, saya disaran kan untuk tidak menangis. Sebab,  isteri mening gal karena sudah waktunya. Atas kehendak NYA, lho, pak. Sama sekali bukan atas kehendak saya. Tapi, tadi, sesaat saya sempat sedih. Bener, pak.
             Sekarang saya sudah kembali senang. Ka yaknya, sudah plong. Bebas merdeka, pak.
             Mudah mudahan, saya dapat kemudahan cari isteri pengganti Tapi,sekarang ini, kok susah ya, pak, cari perempuan yang nggak matre.
             Isteri saya itu, matre banget, pak. Nggak taunye, ibunya juga matre. Teman-teman ngerum pinya juga pada matre pak. Padahal, saya kepe ngeeen banget, cari isteri yang sholehah. Nggak matre. Sayang sama dua anak saya. Tapi, pasti su lit, ya, pak. Memang, sekarang ini zamannya zaman matre, ya, pak ?”
             “Maaf, saya sudah harus pulang. Jangan ganggu saya lagi ! “
             Sentak Sabar sambil berusaha mengelu arkan sepeda motornya .
             “Oh, bapak mau pulang? Pulang ke ma na? Saya ikut, dong , pak ?”
             “Kata bapak, isterinya baru saja  mening gal? Dari pada ikut saya pulang, kan, lebih baik bapak urus pemakaman isteri bapak. Bagaimana juga, sih ?” Sabar makin sewot
             “ Oh iya, ya, saya ini, kok bagaimana ju ga yaa? Tadi,maksudnya, kan saya mau ambil ha pe yang tertinggal di bagasi motor. Mau telpon mertua. Ngabarin anaknya sudah meninggal. Ta di, waktu saya mau bawa ke rumah sakit, sudah saya kabarkan akan membawa isteri saya ke ru mah sakit. Sekarang ini, kira-kira, menurut perki raan bapak, mertua saya masih di rumah atau ma sih dalam perjalanan ke rumah sakit, ya, pak ?”
               Sabar sudah bisa menghidupkan motor nya. Sudah bisa jalankan motornya. Namun, harus perlahan. Karena jalan  di sela sela  yang memenuhi tempat parkir, sangat sempit. Setelah  melap air matanya, ia berkata.
               “ Sebaiknya, bapak tanya kembali saja ke dokter. Saya pulang dulu. Assalammualai kum,”
               “Walaikum salam, pak. Hati-hati, pak. Jangan nerobos lampu merah. Tapi, kalau terlan jur nerobos karena bapak tidak disiplin, saat ke tangkap polisi, jangan mau diajak damai, pak Bapak bilang minta langsung ditilang saja, pak

              Kan, lebih baik uangnya disetor lang sung dan masuk ke kas negara. Buat bayar utang negara kita, pak. Kalau tidak lunas lunas, apa ka ta dunia, dan bagaimana nasib anak cucu kita nan ti, pak. Betul, kan, pak ? ” 



Bersambung.........

SILAHKAN SENYUM

TIPS MEMIKAT  SUAMI THE BEST.
oleh : Oesman Doblank

WANITA berhak berkeinginan punya suami yang paling diinginkan. Yaitu, yang baik hatinya, baik kantong dan dompetnya, baik kelakuan dan juga baik kesehatannya
Jika hal itu yang didambakan, maka hal pertama yang hrs dilakukan, perhatikan kepribadian yang paling khas dari pria yang kamu rindukan mulai dari bangun tidur sampai kepingin tidur maning. Lalu, tanya langsung dengan  sikap gentlegirl, apakah ia punya 5 syarat minimal kepribadian yang terdiri sbb :
1. Apakah kang mas punya rekening pribadi yang sehat dan gendut, di beberapa bank ?
2. Berapa hektar sawah dan kebun pribadi yang sudah disiapkan buat masa depan?
3. Apakah beberapa kendaraan yang kerap dipakai sah sebagai milik pribadi dan tidak bakal disita KPK?
4. Sudah berapa buah rumah pribadi yang dimiliki dan bebas dari incaran penegak hokum yang siap menyita?
5. Apakah tanah hasil serobotan sepuluh tahun silam sudah jadi milik pribadi dan uang hasil penjualan tanah serobotan sudah dimasukkan ke laundry?

6. Berapa juta gaji pribadi perbulan dan berapa milyar hasil korupsi berjamaah yang tersisa untuk pribadi?