Monday, June 17, 2013

CERITA BERSAMBUNG (47)

MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank

EMPAT PULUH TUJUH



           “Kok bisa begitu, boss?” Tanya Sabar, yang dengan seksama mendengarkan opini Bon dan, sambil terus mengerik punggung Bondan, yang sebagian sudah bergaris merah.
           Bondan memang merasa nggak enak ba dan. Ia tahu, jika tubuhnya masuk angin. Untuk itulah, ia mempertimbangkan akan ke dokter, la lu pulang ke rumahnya. Tapi, Sabar yang melihat kondisi Bondan, menahan dan berinisiatif mengerik tubuh Bondan yang menurut Sabar, masuk angin.
          Meski tak biasa, Bondan tak merasa terpak sa untuk dikerik. Ia memenuhi saran Sabar, karena menghargainya dan sekaligus ingin men coba bagaimana rasanya dikerik saat tubuh dise rang penyakit masuk angin
          Bondan yang membiarkan tubuhnya dike rik, kembali meneruskan ocehannya.
           “ Menurut buku yang gue baca, lebih baik punya anak sholeh dan sholehah daripada punya anak pintar. Sebab, anak pintar akhlaknya belum tentu baik. Kepintarannya, kapan saja bisa disa lah-gunakan. Itu sebabnya, banyak koruptor. Ba nyak maling krah putih. Mafia hukum, mafia pa jak. Mereka, kebanyakan orang pintar. Bertitel. Berpangkat. Tapi, akhlaknya di bawah titik nol.
           Nah, anak sholeh dan sholehah, sejak ke cil hidupnya sudah penuh adab. Penuh tata kra ma. Tahu bagaimana cara menghargai dan meng hormati orangtua. Juga tahu cara menghargai te man sebaya yang seiman, dan teman sebaya yang beda agama.
            Disiplinnya juga tinggi. Tahu aturan. Ja di, kapan waktu main dan kapan waktu belajar, sudah bisa ngatur sendiri. Mana baik dan mana tidak baik, juga sudah paham. Karena bisa dan jadi biasa, akhirnya mereka akan paham.
           Jika sudah paham, pasti memiliki kemam puan untuk membedakan mana yang hak dan ma na yang batil, mana yang boleh dan mana yang dilarang.
           Makanya, kalau abang mau punya anak sholeh dan sholehah, didik yang baik. Ajarkan sejak dini agar mereka ngerti, waktu belajar harus belajar dan waktu main baru dipersilahkan main. Kalau tidak begitu, repot, bang.
           Tapi kalau anak abang soleh dan shole hah?  Bakalan hepi sampai akhir menutup mata, bang. Mereka, tidak akan mengambil yang bu kan haknya. Tidak usil, tidak iri, tidak suka mem fitnah, tidak ingin menguasai milik orang lain. Nah, ketika akhirnya tumbuh dewasa dan jadi orang pintar, yang dipikirkan bukan kepentingan pribadi. Tapi, kepentingan sesama.
             Waktu kerja, misinya ibadah, bukan men cari harta. Tapi, ketika rezekinya berlimpah, yang dipentingkan bukan foya-foya dan berme wah-mewah di jalan setan.
             Tapi, foya-foya dan bermewah mewah di jalan Allah. Nggak bakalan kepincut mau ke dis kotik atau nite club. Nggak bakalan keranjingan shoping. Sebab, sejak kecil, paham, semua itu bukan kegiatan amal ibadah. Jadi, hartanya di pa kai buat beramaliah. Membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan.
              Yang diutamakan, tentu saja, saudara kandungnya terlebih dahulu. Baru saudara dekat yang bukan kandung. Kemudian, meluas ke orang lain yang dikenal maupun yang tidak di kenal. Tapi, dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas itu, artinya kayak orang buang air. Nah, kotoran,  kan, kalau sudah kita buang, nggak pernah mau kita ambil lagi.

               Jadi, ikhlas itu artinya semua dilakukan hanya karena Allah. Kalau sudah begitu, ya, cuma berharap keridhoan dari Allah. Nggak mau di puji orang lain. Nggak ngungkit dan nggak ngarepin apa pun dari orang lain. Apapun namanya, kalau masih mau dapat  pujian, dapat balasan dari sesama, yaa, belum full ikhlas.


Bersambung........





0 komentar:

Post a Comment