MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank
EMPAT PULUH TUJUH
“Kok bisa begitu, boss?” Tanya
Sabar, yang dengan seksama mendengarkan opini Bon dan, sambil terus mengerik
punggung Bondan, yang sebagian sudah bergaris merah.
Bondan memang merasa nggak enak ba dan.
Ia tahu, jika tubuhnya masuk angin. Untuk itulah, ia mempertimbangkan akan ke
dokter, la lu pulang ke rumahnya. Tapi, Sabar yang melihat kondisi Bondan,
menahan dan berinisiatif mengerik tubuh Bondan yang menurut Sabar, masuk angin.
Meski tak biasa, Bondan tak merasa
terpak sa untuk dikerik. Ia memenuhi saran Sabar, karena menghargainya dan
sekaligus ingin men coba bagaimana rasanya dikerik saat tubuh dise rang
penyakit masuk angin
Bondan yang membiarkan tubuhnya dike rik, kembali
meneruskan ocehannya.
“ Menurut buku yang gue baca, lebih
baik punya anak sholeh dan sholehah daripada punya anak pintar. Sebab, anak
pintar akhlaknya belum tentu baik. Kepintarannya, kapan saja bisa disa
lah-gunakan. Itu sebabnya, banyak koruptor. Ba nyak maling krah putih. Mafia
hukum, mafia pa jak. Mereka, kebanyakan orang pintar. Bertitel. Berpangkat.
Tapi, akhlaknya di bawah titik nol.
Nah, anak sholeh dan sholehah, sejak
ke cil hidupnya sudah penuh adab. Penuh tata kra ma. Tahu bagaimana cara
menghargai dan meng hormati orangtua. Juga tahu cara menghargai te man sebaya
yang seiman, dan teman sebaya yang beda agama.
Disiplinnya juga tinggi. Tahu
aturan. Ja di, kapan waktu main dan kapan waktu belajar, sudah bisa ngatur
sendiri. Mana baik dan mana tidak baik, juga sudah paham. Karena bisa dan jadi
biasa, akhirnya mereka akan paham.
Jika sudah paham, pasti memiliki
kemam puan untuk membedakan mana yang hak dan ma na yang batil, mana yang boleh
dan mana yang dilarang.
Makanya, kalau abang mau punya anak
sholeh dan sholehah, didik yang baik. Ajarkan sejak dini agar mereka ngerti,
waktu belajar harus belajar dan waktu main baru dipersilahkan main. Kalau tidak
begitu, repot, bang.
Tapi kalau anak abang soleh dan
shole hah? Bakalan hepi sampai akhir
menutup mata, bang. Mereka, tidak akan mengambil yang bu kan haknya. Tidak usil,
tidak iri, tidak suka mem fitnah, tidak ingin menguasai milik orang lain. Nah,
ketika akhirnya tumbuh dewasa dan jadi orang pintar, yang dipikirkan bukan
kepentingan pribadi. Tapi, kepentingan sesama.
Waktu kerja, misinya ibadah, bukan
men cari harta. Tapi, ketika rezekinya berlimpah, yang dipentingkan bukan
foya-foya dan berme wah-mewah di jalan setan.
Tapi, foya-foya dan bermewah mewah
di jalan Allah. Nggak bakalan kepincut mau ke dis kotik atau nite club. Nggak
bakalan keranjingan shoping. Sebab, sejak kecil, paham, semua itu bukan
kegiatan amal ibadah. Jadi, hartanya di pa kai buat beramaliah. Membantu orang
lain yang sedang dalam kesusahan.
Yang diutamakan, tentu saja,
saudara kandungnya terlebih dahulu. Baru saudara dekat yang bukan kandung.
Kemudian, meluas ke orang lain yang dikenal maupun yang tidak di kenal. Tapi,
dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas itu, artinya kayak orang buang air. Nah,
kotoran, kan, kalau sudah kita buang, nggak
pernah mau kita ambil lagi.
Jadi, ikhlas itu artinya semua
dilakukan hanya karena Allah. Kalau sudah begitu, ya, cuma berharap keridhoan
dari Allah. Nggak mau di puji orang lain. Nggak ngungkit dan nggak ngarepin
apa pun dari orang lain. Apapun namanya, kalau masih mau dapat
pujian, dapat balasan dari sesama, yaa, belum full ikhlas.
Bersambung........
0 komentar:
Post a Comment