MASIH ADA
JALAN
oleh : Oesman Doblank
EMPAT PULUH TIGA
Sebenarnya
berat sekali Ariyani melepas pelukan. Ia masih ingin menikmati degup
kebai kan yang bermukim di jiwa Bondan. Ia ingin, de gupnya menjalar
ke hati suaminya, ke dirinya, ke bayinya. Ke kedua anaknya, yang
dititipkan di ru mah orangtuanya, karena ia di rumah sakit.
Sedangkan
Sabar, suaminya, harus ngojek. Memang, ngojek bukan pekerjaan hina.
Di mata Allah, lebih mulia dari Menteri atau pejebat yang gemar
korup. Lebih mulia dari perampok berdasi atau perampok bergolok.
Hanya, isteri
pengojek, harus pintar ber syukur. Saat suaminya pulang dan hanya
bawa hasil pas-pasan untuk makan, dada dan jiwa harus selalu lapang.
Jika sudah terbiasa, pasti bisa. Sebab, bersyukur adalah menerima
segala ketetapan dari Allah dengan lapang dada. Dan bila hasrat
mensyukuri nikmat dari Allah selalu menggelora dan menjiwa, yang
bersemayam di dada yang lapang, itulah ketenangan dan keten traman
yang membahagiakan.
oooooo0oooooo
(9)
SABAR yang dengan
sabar menunggu namanya dipanggil, masih asyik duduk di kursi ruang
tunggu sambil termangu, tersentak. Ia ka get saat Bondan menepuk
bahunya.
“Nggak
dengar, barusan nama isteri lu dipanggil kasir”
Sabar bergegas
menghampiri kasir. Lang sung menanyakan biaya yang harus ia bayar,
jika besok sore membawa isterinya pulang. Kasir wa nita, melihat ke
komputer. Menyebut jumlah re kening atas nama isteri Sabar
“ Jadi,
semuanya lima juta?”
Kasir mengangguk
sambil senyum.Sabar menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
Dadanya plong. Duit di tas pinggangnya, lebih dari delapan juta.
Berarti, masih banyak lebih Sabar segera menulanasi biaya perawatan
isterinya.
“Pokoknya,
besok sore saya bawa isteri saya pulang. Lalu saya kembali nemuin
mbak. Lebih dan kurangnya, besok saya selesaikan,”
kata Sabar.
Ia lalu
bergegas menghampiri Bondan.
“Boss,
kayaknya cuma habis sekitar enam jutaan,” Sabar menyerahkan kertas
bukti pembayaran. Bondan meraih dan memperhati kan bukti tanda
pembayaran
“Yaa, syukur
Alhamdulillah, lah, bang. Berarti sisanya, kan, bisa lu gunakan buat
beli keperluan bayi, lu, bang ?”
“Ja..jadi,
tidak saya kembalikan ke boss saja ?”
Bondan
melotot. Kesal.
“Tuh duit,
kan, dari tadi sudah lu pe gang? Itu rezeki lu dari Allah, bang.
Bukan dari gue. Kalau lu mau kembalikan, yaa, jangan ke gue.
Kembaliin saja langsung ke Allah. Lu udeh kenal atawa tau apa nggak
di mana alamat Allah ?” Ujar Komeng
Sabar
langsung terharu. Seketika, ada yang mengembang di bola matanya.
“Awas, lu,
bang. Sekali lagi sesenggukan, gue batalin niat gue nginep di rumah,
lu ?”
Kali ini,
sabar berusaha keras untuk tidak menangis. Ia ingin mengabulkan
permintaan Bon dan, yang ingin dirinya tetap tegar dan terus sa bar
“Naaah,
gitu dong, lu. Tegar, bang, te gar. Jangan sebentar-bentar nangis.
Malu-maluin, gue aje, lu “
Bondan
mengembalikan surat tanda bukti pembayaran. Sabar segera
memasukkannya ke tas pinggang
“ Yang
barusan boss bilang, serius?”
“Nginap di
rumah, lu? “
Sabar
mengangguk. Dadanya berdegup. Ia berharap, Bondan sebatas bercanda.
Jika seri us? Mau tidur di mana? Rumah petak yang dikon trak, hanya
membuat nafas sesak. Ventilasinya tak beraturan. Atapnya pun hanya
dari asbes. Ji ka siang, panas dan berisik oleh hingar- bingar suara
anak-anak.
Malam, pasti
pengap. Sebuah kipas angin kecil miliknya, yang kadang rusak saat di
pakai, malah membuat tamunya akan kegerahan. Tak mungkin Bondan
merasa nyaman, bila benar ingin nginap di rumahnya
Bersambung..........
0 komentar:
Post a Comment