Wednesday, June 12, 2013

CERITA BERSAMBUNG (43)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

EMPAT PULUH TIGA

Sebenarnya berat sekali Ariyani melepas pelukan. Ia masih ingin menikmati degup kebai kan yang bermukim di jiwa Bondan. Ia ingin, de gupnya menjalar ke hati suaminya, ke dirinya, ke bayinya. Ke kedua anaknya, yang dititipkan di ru mah orangtuanya, karena ia di rumah sakit.
Sedangkan Sabar, suaminya, harus ngojek. Memang, ngojek bukan pekerjaan hina. Di mata Allah, lebih mulia dari Menteri atau pejebat yang gemar korup. Lebih mulia dari perampok berdasi atau perampok bergolok.
Hanya, isteri pengojek, harus pintar ber syukur. Saat suaminya pulang dan hanya bawa hasil pas-pasan untuk makan, dada dan jiwa harus selalu lapang. Jika sudah terbiasa, pasti bisa. Sebab, bersyukur adalah menerima segala ketetapan dari Allah dengan lapang dada. Dan bila hasrat mensyukuri nikmat dari Allah selalu menggelora dan menjiwa, yang bersemayam di dada yang lapang, itulah ketenangan dan keten traman yang membahagiakan.

                                                                    oooooo0oooooo


(9)

SABAR yang dengan sabar menunggu namanya dipanggil, masih asyik duduk di kursi ruang tunggu sambil termangu, tersentak. Ia ka get saat Bondan menepuk bahunya.
“Nggak dengar, barusan nama isteri lu dipanggil kasir”
Sabar bergegas menghampiri kasir. Lang sung menanyakan biaya yang harus ia bayar, jika besok sore membawa isterinya pulang. Kasir wa nita, melihat ke komputer. Menyebut jumlah re kening atas nama isteri Sabar
“ Jadi, semuanya lima juta?”
Kasir mengangguk sambil senyum.Sabar menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Dadanya plong. Duit di tas pinggangnya, lebih dari delapan juta. Berarti, masih banyak lebih Sabar segera menulanasi biaya perawatan isterinya.
“Pokoknya, besok sore saya bawa isteri saya pulang. Lalu saya kembali nemuin mbak. Lebih dan kurangnya, besok saya selesaikan,”
kata Sabar.
Ia lalu bergegas menghampiri Bondan.
“Boss, kayaknya cuma habis sekitar enam jutaan,” Sabar menyerahkan kertas bukti pembayaran. Bondan meraih dan memperhati kan bukti tanda pembayaran
“Yaa, syukur Alhamdulillah, lah, bang. Berarti sisanya, kan, bisa lu gunakan buat beli keperluan bayi, lu, bang ?”
“Ja..jadi, tidak saya kembalikan ke boss saja ?”
Bondan melotot. Kesal.
“Tuh duit, kan, dari tadi sudah lu pe gang? Itu rezeki lu dari Allah, bang. Bukan dari gue. Kalau lu mau kembalikan, yaa, jangan ke gue. Kembaliin saja langsung ke Allah. Lu udeh kenal atawa tau apa nggak di mana alamat Allah ?” Ujar Komeng
Sabar langsung terharu. Seketika, ada yang mengembang di bola matanya.
“Awas, lu, bang. Sekali lagi sesenggukan, gue batalin niat gue nginep di rumah, lu ?”
Kali ini, sabar berusaha keras untuk tidak menangis. Ia ingin mengabulkan permintaan Bon dan, yang ingin dirinya tetap tegar dan terus sa bar
“Naaah, gitu dong, lu. Tegar, bang, te gar. Jangan sebentar-bentar nangis. Malu-maluin, gue aje, lu “
Bondan mengembalikan surat tanda bukti pembayaran. Sabar segera memasukkannya ke tas pinggang
“ Yang barusan boss bilang, serius?”
“Nginap di rumah, lu? “
Sabar mengangguk. Dadanya berdegup. Ia berharap, Bondan sebatas bercanda. Jika seri us? Mau tidur di mana? Rumah petak yang dikon trak, hanya membuat nafas sesak. Ventilasinya tak beraturan. Atapnya pun hanya dari asbes. Ji ka siang, panas dan berisik oleh hingar- bingar suara anak-anak.
Malam, pasti pengap. Sebuah kipas angin kecil miliknya, yang kadang rusak saat di pakai, malah membuat tamunya akan kegerahan. Tak mungkin Bondan merasa nyaman, bila benar ingin nginap di rumahnya


Bersambung..........


0 komentar:

Post a Comment