MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
TIGA PULUH ENAM
“Bang…istighfar, bang. Istighfar. Abang sudah mengganggu tata
tertib di ruang rawat “
“Kamu tidak
usah suruh-suruh saya. Saya tak bisa tidak menangis, Ani. Sejak tadi,
saya te rus menangis. Hanya, kamu tidak tahu. Tidak pernah
mengerti dan tidak paham. Saya bawa makanan pemberian, boss, kamu
malah kesal, malah suruh saya kalau dapat duit harus irit. Saya
lihatkan isi tas pinggang, kamu malah curigai saya.
Mestinya, kamu
tanya saya dengan cara baik-baik, lalu, kamu beri saya kesempatan
untuk menjelaskan. Tapi, kamu cuma bisa memperlihatkan rasa takut.
Kuatir tidak bisa bayar biaya perawatan rumah sakit. Padahal, saya
sudah bilang, Allah itu Maha Besar, Maha Memberi Rezeki. Kenapa kamu
malah tidak mengerti? “
“Pak,
maaf…kami harus bertugas. Kami bedua, permisi dulu, yaa ?”
Karyawan kantin
yang membawa bingkisan buah-buahan, membe ranikan diri untuk menyela
tangisan Sabar. Se bab, ia dan temannya tak mungkin bisa berlama lama
di ruang itu. Bagaimana pun, meraka lebih berpikir harus segera
kembali ke kantin untuk bekerja, timbang berlama-lama dan akibatnya
malah kena tegur atasan.
Sabar yang
sejak tadi menghadap ke din ding, menoleh. Sambil terus menangis, ia
mena tap kedua karyawan kantin. Sesaat kemudian, ia bergegas membuka
resleting tas pinggangnya. Mengambil selembar ratusan ribu rupiah.
Kedua karyawan
kantin rumah sakit, ma kin bingung, karena Sabar yang terus menangis
menyodorkan uang ke mereka. Isteri Sabar, juga heran, karena suaminya
memberi selembar ra tusan ribu rupiah, tapi ia tak berani mencegah.
Dan keheranan, menjalar ke semua orang yang ada dalam ruang rawat
“Kalian
tidak boleh pergi, kecuali setelah menerima uang ini “
“Ta..tapi..pak
Sabar. Ta..tadi, pak Bondan sudah memberi kami uang tip “
“Iya, pak.
Tolong ijinkan kami kembali melaksanakan tugas “
Sabar yang
masih sesenggukan, mengham piri dua karyawan, yang tak tahu harus
berbuat apa. Keduanya tercengang, karena dengan gera kan cepat, Sabar
yang masih sesenggukan, memasukkan uang di tangannya ke saku baju
salah seorang karyawan kantin.
“ Terima
kasih, kalian telah berbuat baik untuk saya. Silahkan kembali bekerja
“
Setelah
saling pandang, keduanya berge as meninggalkan ruang nomor 313.Sabar
kemba li ke tempat semula. Terus menangis.
“ Bang…saya
sudah ngerti. Saya sudah paham, kenapa abang nangis. Tolong jangan na
ngis lagi, bang. Bu..bapak..semua yang ada di si ni, maafkan saya dan
suami saya, ya ?”
“Iyaa..nggak
apa-apa, bu. Tadi, kita me mang kaget. Sekarang, sudah nggak apa-apa,
kok. Toh, cuma nangis. Terharu, memang mesti nangis. Itu baru logis.
Kalau marah-marah, baru kita pada gerah. Iya, kan, bu ?
Sabar, baru
sadar, kalau ia baru saja bikin onar. Tapi, ia tidak malu buat minta
maaf.
Dua satpam,
yang muncul mendadak, celi ngak-celinguk. Tentu saja bingung. Mereka
baru saja dapat laporan ada yang bikin gaduh, nyatanya, ruang nomor
313, sangat kondusif. Sejenak, mereka saling tatap. Setelah itu,
dengan cepat dan tanpa pamit, bergegas meninggalkan ruangan
Bersambung........
0 komentar:
Post a Comment