MASIH
ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH SATU
Si mbok
Sinem, jadi lega. Karena Bondan tak menyalahkannya. Ia segera
membantu mengangkat tubuh Bondan, yang masih dalam kondusi lunglai.
“ Den, ayo
bangun, den. Temui isteri bapak den Bondan. Beliau menunggu sejak
tadi pagi, den. Bersama kedua anaknya “
“
Jadi..isteri bapak saya ada di dalam, mbok?”
Mbok Sinem
mengangguk. Ia lalu memapah Bondan, ke dalam rumah. Membawanya ke
ruang keluarga. Di sana, isteri pak Sadewa, yang tengah duduk bersama
duka, yang pipinya masih sembab, melihat mbok Sinem. Ia berdiri.
Menatap mbok Sinem yang memapah Bondan, anak tirinya. Memang
Sumirah, terlihat sangat kikuk. Tapi, sesaat kemudian, ia menghampiri
Bondan, yang menatapnya dengan pandangan lesu.
Bondan
menjawab ucapan salam ibu tirinya, yang tubuhnya tertutup rapat
karena dia mengenakan busana muslim. Jilbabnya, panjang, sampai ke
pinggul.
Tanpa ragu,
Sumirah yang menguatkan diri, yang sudah berani datang ke rumah putra
suaminya, menghampiri anak tirinya dan menyalami putra suaminya,
Bondan.
Sumirah tak
menyangka, jika Bondan tak hanya meraih tangannya. Tapi, juga
mencium tangannya dengan takzim.
“Maafkan
saya…saya tak mengurus pemakaman bapak, “ kata Bondan, sambil
melepas genggaman tangan Sumirah
“ Saya
yang harus berminat meminta maaf. Sebab, baru bisa datang, baru bisa
menyam paikan kabar duka. Mestinya, tidak seperti ini. Hanya, saya
sendiri tak tahu harus berbuat apa, ketika semua terjadi dengan
begitu saja.
Saat
kejadian, saya sedang di rumah. Sehari sebelumnya, bapak memang
pamit dan pergi bersama supir, karena ditelpon oleh isterinya yang
lain, dan bapak diminta untuk mengantarnya ke rumah sakit karena usia
kandungannya yang sudah lebih dari sembilan bulan, sangat butuh
perhatian bapak. Alasan itulah, bapak yang mestinya memenuhi jadwal
bersama saya di rumah, bergegas meninggalkan rumah.
Saya hanya
berpikir tak akan terjadi apa pun. Toh, mengantar isteri yang akan
melahirkan merupakan hal yang lazim. Hal yang tak akan pernah
terpikir oleh siapa pun, kalau dalam perjalanan ke rumah akit selalu
ada resiko yang harus siap ditanggung, yaitu risiko kedatangan maut.
Nyatanya, dalam perjalanan itulah, hal yang tak pernah diperkirakan
terjadi, dan…,” Sumirah, yang berusaha menjelaskan dengan
gamblang mengapa ia baru sempat datang pagi ini dan baru bisa
mengabarkan langsung kepada Bondan, terdiam sejenak.
Bersambung.......
0 komentar:
Post a Comment