MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Qorun? Kok boss jadi
bilang kayak Qorun. Qorun artinya apa , boss? Memang, orang kikir, bahasa
arabnya, Qorun, boss?”
“Yaa, elu, bang. Masa’
sudah tua nggak tau Qorun, sih ?”
“Boss, saya memang nggak
tau. Ka lau saya nggak tau tapi ngaku tau, kan, jadinya saya gak beda sama manusia
yang sok tau tapi sebenarnya malah nggak tau, boss ?”
“Benar juga, lu. Tapi,
sudah apa belum nih, ngerik badan gue? “
“Kayaknya sih, sudah boss. Tapi,
jangan pulang dulu, boss. Kecuali, setelah menjelaskan qorun.Boleh,kan, kalau saya kepingin tahu ?”
Sabar membereskan alat kerik dan
menaruh di tempatnya. Bondan kembali menge nakan bajunya. Menghela nafas
panjang. Ia merasa agak sehat. Setelah menyeruput kopinya, Bondan menjawab keingin-tahuan
bang Sabar
tentang Qorun.
Bondan berharap, bang Sabar yang
usai ia jelaskan tentang Qorun lalu manggut-manggut benar - benar memahami,
mengapa orang kikir alias pelit diidentikan dengan qorun.
“Kok, bisa, ya, boss, Qorun berubah
jadi orang pelit dan menganggap kekayaannya bukan dari Allah ?”
“ Bang, manusia itu mahluk yang maha tidak
sempurna. Jiwanya, seperti cuaca. Selalu berubah. Waktu miskin Qorun memang
taat pada Allah. Tapi, ketaatannya sangat tradisional. Arti nya, tidak
diperkuat oleh ilmu agama dan akhlak mulia.
Makanya, yang kemudian terpikir
setelah ia kaya raya, kekayaannya itu dianggap bukan datang dari Allah. Tapi,
dari kerja kerasnya semata. Jadi, wajar jika ia, lantas kikir, pelit. Mengapa?
Karena ia membenarkan pola pikir nya, dan mengabaikan kebenaran yang datang
dari Allah.
Padahal, kerja keras dan manajemen
ke kayaannya sudah benar. Tapi, karena ia tidak me nerima kebenaran yang datang
dari Allah, mem buat dirinya jatuh ke lembah takabur. Allah, kan, nggak suka sama hambanya yang takabur. Deng an
kekuasaannya, teramat mudah bagi Allah un tuk kembali memiskinkan Qorun “
“Mudah-mudahan saya sanggup menja
di orang yang suka beramal, boss. Meski cuma jadi tukang ojek. Nggap apa-apa,
kan, boss?”.
“Siapa pun kita, apapun pangkat
dan ke dudukan kita, nggak pernah dipersoalkan oleh Allah, bang. Yang dinilai
oleh Allah, hanya satu Apakah kita bertaqwa apa cuma ngaku bertaqwa
Kalau bertaqwa, gemar beramal
ibadah. Kalau cu ma ngaku bertaqwa, sama saja bohong. Sebab, pasti nggak suka
beramal dan merasa berat da lam melaksanakan ibadah “
“Oke, boss. Sekarang. Terserah,
boss. Mau nginap lagi di rumah kontrakan saya yang begini adanya, silahkan.
Kalau mau pulang, juga terserah, boss saja. Sekali lagi, nggak bosan saya mengucapkan
terima kasih. Semoga Allah selalu memberi rahmat pada boss dan juga pada saya “
“Amin.Gue pamit pulang saja,
bang. Oh, iya, pakain kotor gue tinggal saja, yaa. Kalau nanti abang ada waktu, nanti antar ke rumah kontrakkan
gue. Oke ? Tapi kalo gak sempat, gue rela kok dipakai sama abang ”
“Oke, boss. Saya siap antar boss
sampai ke rumah “
“ Bang…gue kan baru masuk angin.
Ka lau pulang pakai motor, malah bisa makin sakit
Kalau sakit gue makin gawat,
abang mau tangung jawab? Jadi, lebih baik lu nggak usah pusing. Gue, kan bisa pulang
naik taksi. “
Sabar bukan tidak merasa kecewa. Perasaan kecewa menyelinap di hatinya
Hanya, tak lama. Sabar lantas sadar, kalau Bondan
memang punya alasan kuat untuk tidak merepotkan dirinya. Juga kondisinya yang memang bisa merepotkan jika kembali diajak menerabas kota besar seperti Jakarta, dengan memakai sepeda motor
Bersambung………
0 komentar:
Post a Comment