MASIH ADA
JALAN
oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH EMPAT
Buktnya,
Sumirah segera berdiri dari du duknya. Ia lebih dahulu melangkah ke
luar rumah. Sumirah juga bertekad, dirinya tak saja ingin membuktikan
siap menemani dan meman du Bondan ke pemakaman agar di sana tidak
kesulitan mencari makam pak Sadewa. Tapi, juga siap menjelaskan
berbagai hal dengan trans paran. Tentu saja tanpa keinginan
memanfaat kan situasi untuk menggunting dalam lipatan
Artinya, jika
sepanjang jalan pergi ke ma kam pak Sadewa, atau sekembalinya dari
sana, ada momen yang baik untuk menjelaskan, Sumi rah akan segera
memanfaatkan dengan sebaik-ba iknya. Sumirah akan bicara apa adanya.
Dari A sampai Z.
Alhamdulillah.
Apa yang
diinginkan Sumirah, terkabul. Saat kemacetan lalu lintas di Jakarta
seperti ingin menghambat kepergian Bondan, saat itulah, Su mirah yang
belum berani membuka pembicaraan karena merasa belum melihat dan
belum punya peluang untuk menangkap momen yang pas, mendengar Bondan
yang sejak berangkat dari rumah belum bersuara sepatah kata pun,
setelah mengover kovling dan ngerem kendaraan yang dibawanya,
bersuara
“ Dulu, saya
sempat membenci ayah. Ta pi, kemudian saya sadar, yang terjadi adalah
sebu ah lakon kehidupan yang harus dimengerti dan di pahami dengan
sebaik-baiknya.
Kesiapan
menerima semua yang terjadi de ngan terbuka dan dengan lapang dada,
membuat saya sadar, percuma saya membenci. Untuk itu lah, saya hapus
kebencian pada ayah, memaaf kan jika beliau bersalah pada anaknya,
lalu meng ganti kebencian pada almarhum dengan berusaha untuk tetap
menghormati karena bagaimana pun beliau adalah ayah saya.
Saya merasa
lega. Karena sudah memaaf kan beliau sebelum wafat, dan saya lebih
siap me nikmati kehidupan pribadi saya timbang berku tat dengan
masalah yang bisa saja tak akan per nah kunjung selesai“
“Duh,
Tuhan. Engkau memang segala nya. Kau telah membuka pintu hati putra
suami ku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah
mengabulkan doaku.”
Sumirah serasa
ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu
lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia
malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan
yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
Sumirah juga
menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang
paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat
kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang
harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan
bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
Itu sebabnya, Sumirah
lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di
saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah
menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon
maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap
peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
“ Maaf?
Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut
Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali
apa adanya.
Sumirah tahu,
Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali
bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan
apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka
atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
“ Ya,
secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu
yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi,
meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas
kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana
kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang
bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada
beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika
Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak
berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu
serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele.
Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
Bondan
spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali
tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang
terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada
sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak
salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga
cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu
kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan
sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke
ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar
tipikal wanita sholehah
Sumirah yang
di saat bersamaan sedang menatap ke arah Bondan, sangat tak menyangka
jika perkataannya membuat Bondan menoleh se ketika dengan tatapan
yang membuatnya terpera ngah. Meski Sumirah tahu, di dalamnya tak ada
muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat Sumirah tak
luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak.
Mengingatkan Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga
ayah kandung Bondan.
Untung
Sumirah yang menyadari situasi tak ingin momen yang paling
diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk
menjinakkan hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak
mengapresiasinya dengan keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah
kuatir ia akan kehilangan peluang yang paling ditunggu.
Meski awalnya
kendala terasa menyulitkan dan membuat Sumirah harus bersikap
hati-hati, agar yang sudah direncanakan tidak beranta kan,
ujung-ujungnya, yang kemudian dirasakan Sumirah adalah kemudahan.
Sumirah
akhirnya mendapat peluang dan ia bisa menjelaskan berbagai hal yang
perlu dije laskan. Sumirah yang leluasa mengungkap per masalahan --
yang boleh jadi membuat Bondan merasa pengap karena sejauh ini Bondan
tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal yang menimpa
keluarga mereka, bisa terjadi, me narik nafas lega .
Bersambung.....
0 komentar:
Post a Comment