Wednesday, June 26, 2013

CERITA BERSAMBUNG (54)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH EMPAT


Buktnya, Sumirah segera berdiri dari du duknya. Ia lebih dahulu melangkah ke luar rumah. Sumirah juga bertekad, dirinya tak saja ingin membuktikan siap menemani dan meman du Bondan ke pemakaman agar di sana tidak kesulitan mencari makam pak Sadewa. Tapi, juga siap menjelaskan berbagai hal dengan trans paran. Tentu saja tanpa keinginan memanfaat kan situasi untuk menggunting dalam lipatan
Artinya, jika sepanjang jalan pergi ke ma kam pak Sadewa, atau sekembalinya dari sana, ada momen yang baik untuk menjelaskan, Sumi rah akan segera memanfaatkan dengan sebaik-ba iknya. Sumirah akan bicara apa adanya. Dari A sampai Z.
Alhamdulillah.
Apa yang diinginkan Sumirah, terkabul. Saat kemacetan lalu lintas di Jakarta seperti ingin menghambat kepergian Bondan, saat itulah, Su mirah yang belum berani membuka pembicaraan karena merasa belum melihat dan belum punya peluang untuk menangkap momen yang pas, mendengar Bondan yang sejak berangkat dari rumah belum bersuara sepatah kata pun, setelah mengover kovling dan ngerem kendaraan yang dibawanya, bersuara
“ Dulu, saya sempat membenci ayah. Ta pi, kemudian saya sadar, yang terjadi adalah sebu ah lakon kehidupan yang harus dimengerti dan di pahami dengan sebaik-baiknya.
Kesiapan menerima semua yang terjadi de ngan terbuka dan dengan lapang dada, membuat saya sadar, percuma saya membenci. Untuk itu lah, saya hapus kebencian pada ayah, memaaf kan jika beliau bersalah pada anaknya, lalu meng ganti kebencian pada almarhum dengan berusaha untuk tetap menghormati karena bagaimana pun beliau adalah ayah saya.
Saya merasa lega. Karena sudah memaaf kan beliau sebelum wafat, dan saya lebih siap me nikmati kehidupan pribadi saya timbang berku tat dengan masalah yang bisa saja tak akan per nah kunjung selesai“
“Duh, Tuhan. Engkau memang segala nya. Kau telah membuka pintu hati putra suami ku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah mengabulkan doaku.”
Sumirah serasa ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
Sumirah juga menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
Itu sebabnya, Sumirah lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
“ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali apa adanya.
Sumirah tahu, Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
“ Ya, secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
Bondan spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal wanita sholehah
Sumirah yang di saat bersamaan sedang menatap ke arah Bondan, sangat tak menyangka jika perkataannya membuat Bondan menoleh se ketika dengan tatapan yang membuatnya terpera ngah. Meski Sumirah tahu, di dalamnya tak ada muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat Sumirah tak luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak. Mengingatkan Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga ayah kandung Bondan.
Untung Sumirah yang menyadari situasi tak ingin momen yang paling diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk menjinakkan hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak mengapresiasinya dengan keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah kuatir ia akan kehilangan peluang yang paling ditunggu.
Meski awalnya kendala terasa menyulitkan dan membuat Sumirah harus bersikap hati-hati, agar yang sudah direncanakan tidak beranta kan, ujung-ujungnya, yang kemudian dirasakan Sumirah adalah kemudahan.
Sumirah akhirnya mendapat peluang dan ia bisa menjelaskan berbagai hal yang perlu dije laskan. Sumirah yang leluasa mengungkap per masalahan -- yang boleh jadi membuat Bondan merasa pengap karena sejauh ini Bondan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal yang menimpa keluarga mereka, bisa terjadi, me narik nafas lega .


Bersambung.....


0 komentar:

Post a Comment