MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank
EMPAT PULUH EMPAT
“
Menurut lu, gue ni lebih baik nginap di rumah abang, nginap di hotel
apa pulang dan tidur di rumah, yaa ?”
“ Aduuuh,
gimana, ya? Saya,jadi susah ngejawabnya, nih, boss?”
“Susah
apa nggak ngijinin gue nginap di rumah abang ?”
“Boss,
sumpah! Jangankan nginap, boss mau datang ke rumah saja, saya pasti
langsung senang setengah mati, boss. Cuma…Aduuuh, gi mana, ya?
Terus terang, boss, rumah petak yang saya kontrak, nggak layak buat
anda, boss?”
“Lu
anggap gue orang hebat, apa? Emang gue raja cipoa atawa presiden yang
nggak punya negara? Emang gue orang penting? Lu ka lau ngomong jangan
bikin gue kesal, bang. Gini-gini, gue ini bukan orang penting. Bukan
anak ra ja atawa anak presiden. Masa’ lu malah bilang, rumah lu
nggak layak buat gue?
Bang,
bilang aja terus terang. Lu tuh nggak sudi kalau gue nginap di rumah
lu. Takut terganggu, dan takut direpotin. Iya, kan ?”
“Saya
sama sekali nggak punya pikiran seperti itu, boss. Sumpah! Saya
sangat senang dan merasa terhormat jika memang boss mau ngi nap di
rumah saya. Cuma, masalahnya, saya ting gal di rumah petak. Ukurannya
cuma tiga kali tujuh meter, boss.
Sempit.
Panas, pengap. Nggak layak kalau boss nginap di rumah kontrakkan saya
“
“Lu
jangan ngomong, ngaco, bang. Gue nggak nanya berapa ukuran rumah, lu,
kok. Juga nggak nanya luas atau sempit. Yang gue tanya, boleh apa
nggak gue nginap di rumah abang? Jawaban yang kepengen gue dengar,
boleh atau tidak. Kalau boleh, cepat kita pulang ke rumah abang.
Kalau nggak boleh, gue nggak maksa. Ngerti, kan, bang apa yang gue
omongin ?”
“Sangat
ngerti, boss. Sekarang terserah boss, saja. Jika boss memang mau
nginap, silah kan. Jika tidak, saya tidak marah “
“Ooh,
gitu, bang. Jadi, lu tetap berharap gue nggak nginep? Yaa, sudah,
berarti lu nggak ngijinin gue nginep ?”
Bondan
jadi kesal. Bukan becanda jika langsung melengos lantas bergerak
dengan cepat, meninggalkan Sabar. Sabar sangat kaget. Juga sangat
menyesal. Dia tidak mengira, jika Bondan yang seharian mengesankan,
bisa ngambek berat. Tanpa malu, Sabar yang tak ingin mengecewa kan
Bondan, berteriak. Ia memanggil sambil me ngejar Bondan.
“Boss..tunggu boss.”
Sabar
yang terengah-engah, nekad. Ia memberanikan diri meraih tangan
Bondan.
“Gue
mesti tunggu apalagi?” kata Bon dan, sembari menepiskan tangannya.
“Boss
tunggu di depan sana. Saya ambil motor. Malam ini, boss harus nginap
di rumah saya “
“ Lu
ikhlas ?”
“ Insya
Allah, boss. Tunggu di depan sana, boss. Saya ke belakang, ke tempat
parkir, ambil motor “
Bondan
tersenyum.
Begitu
cepatnya ia meluluhkan kesal yang barusan saja hinggap di dirinya. Ia
menatap Sabar yang bergegas meninggalkannya, dan nampak berlari agar
bisa segera mengambil sepeda motor di tempat parkir. Dengan santai,
Bondan bergerak ke luar.
Ke pintu
keluar rumah sakit Mahal Itu Indah.
Di areal
parkir, Sabar tak segera mengeluarkan motor ke jalan setapak yang
hanya pas untuk sepeda motor. Sabar hanya terdiam sembari memandang
deretan motor yang berhimpitan, dan melihat itu dia ingat saat
berdesakan di mtro mini, yang kadang kala malah bikin kesal karena
meski sudah berdesakan kerap dipaksa sang kondektur untuk terus
merapat, Padahal, bernafas pun sudah merasa sulit.
Kelihatannya, Sabar merenung. Namun, merenung bingung. Bagaimana
tidak,jika sepanjang hari dia terus dibuat terhenyak. Bukan oleh hal
dan tindakan orang lain yang mengesalkan. Tapi, justeru tindakan,
eksiyen dari seeorang yang membuatnya bahagia. Eksiyen yang berulang
kali itulah, yang membuatnya tak henti hentinya terharu.
Sabar yang
terduduk di sepeda motornya yang semula sekedar merenung kembali
menangis. Dia tak peduli meski sempat melihat ada seseorang, yang
sepertinya ingin juga ingin mengambil sepeda motornya. Hanya, Sabar
sama sekali tak menduga jika pria brewok berusia sekitar empat puluh
tahun, berpakaian necis malah menyapa Sabar yang tengah sesenggukan.
“Pak..
Kenapa di tempat parkir bapak menangis? Bapak baru saja kehilangan
sepeda motor apa ada keluarga bapak yang meninggal dunia,”
Bersambung..........