NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank
SEMBILAN
“ Kenapa
kamu malah cemberut seperti itu?” tanya pak Karim.
“Iyaa, Mir..mestinya
kamu tuh senang. Batal sama si Marwan, kan kamu bisa cari lelaki lain yang wataknya sehaluan dengan
ayah kamu. Kalau malah nggak senang pernikahannya diramaikan oleh pesta yang
meriah, apa kata dunia?”
Mirna, malah
meninggalkan kedua orangtuanya dan masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.
“Kok Mirna
jadi berubah aneh seperti itu?” Tanya pak Karim
“Mana aku
tahu?” jawab Bu Karim
“ Kalau aku
tidak tahu dan ibu juga tidak tahu, lalu bagaimana caranya agar kita bisa
tahu?”
“Pak ibu
jelas kepingin tahu. Hanya, bagaimana caranya, ibu sendiri, mana tahu?” sahut
bu Karim sembari mengangkat kedua tangan dan mengangkat bahu
Pak Karim
termangu. Ia heran mengapa Mirna, putrinya, kok, mendadak jadi sontoloyo
seperti itu. Seolah ia sudah tahu dan mengerti, hasil pembicaraan ayahnya
dengan Marwan tak beda dengan kondisi lalu lintas di ibukota, yang tingkat
kemacetannya sudah sangat memusingkan kepala setiap orang yang tengah berada di
jalan raya.
PAK dan bu Karim
pikir, apa yang baru saja terjadi atawa kebuntuan perundingan tentang pesta
pernikahan yang macet total, tak membuahkan akibat apapun. Soalnya, sehari dua
setelah semua berlalu, tak ada tanda-tanda yang bisa membuat kening licin
berubah jadi berkerut.
Semua biasa saja. Sebiasa
awan biru yang tak berubah jadi hitam jika tak mendung
Saat diajak bicara dengan
ayah ibunya, Mirna memang sempat cemberut dan nyaris membuat orangtuanya kalang
kabut. Tapi sehari setelah itu - bahkan,
esok dan lusanya, Mirna sudah leluasa dan lebih banyak mengurai senyum.Kenyataan
yang menggembirakan pak dan bu Karim. Mereka tak hanya merasa bisa tidur
nyenyak. Makan dan minum pun dirasakan sangat nikmat, apalagi sang isteri
selalu memasak rendang kesukaan suami
Pak dan bu Karim tentu
saja lega.
Tapi di hari
berikutnya, bu Karim yang pagi sekitar
pukul delapan masuk ke kamar Mirna dan
bermaksud mengajaknya sarapan karena puterinya belum juga muncul ke ruang
makan, dia kontan tercekat.
Wajahnya langsung pucat
dan pikirannya jadi tidak keruan.
Bagaimana mungkin wajah bu
Karim bisa seriang seperti mendapat amplop gaji dari sang suami, jika sesampai
di kamar, yang ditemui bukan putri tercinta, melainkan secarik kertas yang sepertinya
sengaja diletakkan di ranjang Mirna.
Jika
kertas itu dalam keadaan aslinya atau semulus warna putih kertas yang biasa bu
Karim lihat, boleh jadi tak membuat bu Karim kaget. Bu Karim tercekat, kaget
dan pikirannya menjadi tidak keruan, karena kertas itu berisi tulisan yang
selama ini belum pernah bu Karim baca. Tulisan yang dibuat Mirna bukan
permintaan uang untuk piknik ke Bali atau untuk shoping ke mall. Tapi, ekpresi
kekecewaan Mirna
Ayah dan ibu yang kusayang….
Di kertas ini, Mirna hanya ingin mengatakan. Semisal bang Marwan
tidak jadi melamar dan akhirnya Mirna harus berpisah dengan kekasih tercinta,
biarlah Mirna pergi saja dari dunia.
Mirna sekarang pergi ke sebuah tempat untuk menenangkan diri. Jika
minggu depan Mirna kembali, dan belum juga ada kepastian kapan Mirna
dinikahi…percayalah…Mirna lebih baik mati.
Mirna yakin, melompat dari lantai paling tinggi sebuah mall di kawasan
Jakarta, adalah jalan terbaik yang mau tak mau harus Mirna pilih. Terlebih, saat ini melompat dari ketinggian sebuah mall sedang trendy
Wassalam,
Mirna
Usai membaca isi surat yang ditulis oleh anaknya, Bu Karim tak ingat lagi soal Jakarta Fair atau indahnya Bali. Yang langsung melintas di pikirannya cuma bagaimana kalau putrinya benar-benar membuktiksn apa yang diungkapkan di kertas dan baru saja dibaca oleh bu Karim
Bersambung....