NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank
TUJUH
Sebenarnya,
Pak Karim yang saat ditinggalkan oleh Marwan hanya bisa ternganga, sangat ingin memanggil Marwan dan meminta agar dia kembali
dan tetap duduk bersama untuk melanjutkan perundingan. Tapi, entah mengapa pak
Karim justeru tak bisa melakukannya. Mulut pak Karim seperti terkunci atau boleh jadi ada yang
mengunci.
Pak Karim
yang hanya bisa memandang sosok calon
menantunya yang tak lama kemudian menghilang, seperti menyesali kebodohannya
karena tak mampu meminta Marwan untuk tetap duduk bersamanya dalam perundingan.
Dengan langkah gontai, pak Karim hanya bisa kembali
ke kamar.
Meski ragu,
pak Karim tetap mengabarkan hasil pembicaraan dengan sang calon menantu ke
isterinya. Bu Karim bukan tidak kaget. Namun, ia justeru merasa sangat senang, karena
kabar yang baru saja dikatakan oleh suaminya, memang sangat diharapkan.
Sebab, yang
diinginkan Bu Karim, putrinya, Mirna, tidak menikah dengan Marwan. Soalnya, Bu
Karim sudah terlanjur yakin kalau dirinya tidak akan bisa menerima kehadiran
Marwan dan dia sudah lebih dahulu menyimpulkan tidak akan pernah bisa dekat
dengan calon mantunya yang dinilainya sok idealis, sok berprinsip dan
kenyelenehan Marwan juga menjengkelkan.
Maklum, bu
Karim prototipe manusia yang lebih suka basa-basi. Sedangkan Marwan, malah lebih
suka mengatakan apa adanya. Bahkan, sangat blak-blakan. Maunya selalu to the
point. Menurut bu Karim, orang seperti Marwan, menyebalkan. Sebab, selama kenal
dengan Marwan, tak pernah sekalipun anak muda itu memuji bu Karim. Baik saat
dirinya tampil dengan dandanan cantik, maupun ketika bu Karim mengatakan kalau
dia berasal dari keluarga terhormat karena orangtuanya termasuk salah satu dari
sekian banyak orang kaya di kampungnya.
Karakter
Marwan yang ceplas ceplos lebih sering membuat bu Karim malah sebal.
Bukan tanpa
alasan.
Setelah
Mirna mengenalkannya, bu Karim pernah sengaja berbincang dengan Marwan. Saat
itu, Marwan datang dengan lenggang kangkung. Bu Karim sedang ingin martabak. Bu
Karim pikir, Marwan yang meletakkan ransel dan membukanya, akan mengambil
martabak kegemarannya. Gak taunya, dengan gaya yang begitu santai, Marwan malah
mengeluarkan kamera dan membersihkan peralatan kerjanya. Tanpa bilang,” Maaf
lhoo bu kalau mengganggu”
Padahal, begitu
bu Karim tahu apa yang diambil dan kemudian dilakukan Marwan, beliau memberi
isyarat ingin dibelikan martabak dengan mengatakan:
“Waaah,
ibu kira mengeluarkan martabak. Gak taunya, yang muncul kamera,” kata bu Karim,
yang meski kesal tapi mampu berakting dengan dayanya yang sok ngajak bercanda.
Bu Karim,
yang sebenarnya kecewa tapi membalut kekecewaannya dengan gaya canda, makin
merasa kecewa saat Marwan – dengan begitu tenang, mengatakan:.
“Bu..martabak tuh harganya murah. Kalau kamera ini saya jual, dan saya
belikan martabak, yang kebagian bukan cuma se-erte, bu. Tapi, se-erwe.”
Bersambung………
0 komentar:
Post a Comment