NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank
LIMA
“Baru
permukaannya saja, kamu sudah bikin saya kesal.
Kalau sampai ke dalam, saya yakin, kamu hanya membuat saya stress “
“Waaah, ini namanya fitnah, pak. Sumpah, saya datang untuk kompromi dan
sama sekali tak membawa niat untuk membuat bapak stress. Saya tidak segila yang
bapak kira”
“Kalau
memang betul begitu, kenapa kamu malah seperti berniat untuk menjegal ide dan
semangat saya ?”
“Waaah,
ini juga fitnah, pak? Kapan saya punya niat menjegal ide dan semangat bapak?”
“Tadi,
kamu kan bilang, ide dan semangat saya hanya menghasilkan hal mubazir “
“Kalau
yang bapak maksud tentang pesta besar-besaran untuk pernikahan saya, pendapat
saya memang seperti itu, pak. Tapi, bukan berarti bisa saya jadikan alat untuk
menjegal ide dan semangat bapak ?”
“Jadi, kamu setuju dengan ide saya?”
“Yaa,
setuju saja. Toh itu ide bapak, dan bukan ide saya, kan ?”
“Memang
ini soal ide saya. Saya tentu saja harus bersyukur jika kamu setuju “
“Jika
bapak mau bersyukur, buat apa bilang bilang sama saya? Itu kan urusan pribadi
bapak dengan Tuhan? Tapi, saya bersyukur jika bapak memang selalu bersyukur
pada Tuhan
Dengan
begitu, saya jadi yakin, kalau calon mertua saya adalah sosok seorang hamba
yang tak pernah melupakan Sang Pencipta “
“Kamu kok
jadi menceramahi saya?”
“Pak…tolong
jangan salah tafsir, pak. Kita sedang di rumah dan bukan di mesjid. Tempat yang
paling tepat buat ceramah itu, yaa.. di mesjid , pak. Di sini, kan kita sedang
bicara soal pernikahan saya dengan Mirna, putrid bapak”
Bapak
setuju, kan, kalau nanti sebelum
menikahi anak bapak, saya harus terlebih dahulu melamarnya?”
“Kamu tuh,
nggak bisa apa kalau tidak nyeleneh terhadap calon mertua?”
Melihat
tensi calon sang mertuanya mulai meninggi, Komeng memilih diam. Ia memilih
meraih gelas berisi tee manis. Setelah mereguk teh manis dan setelah meletakkan
gelas yang separuh isinya baru saja ia seruput, Komeng menyandarkan kepalanya
di sofa. Ia berusaha untuk tidak menimpali kalimat yang baru saja terungkap
dari bibir calon mertuanya
“Memangnya
siapa yang kamu suruh diam?” Tandas pak Karim, yang malah tambah kesal, setelah
beberapa saat, Marwan yang terdiam tak juga mau bicara.
“Nanti
bapak kira saya nyeleneh?”
“Makanya
kamu jangan nyeleneh”
“Pak…sekarang
begini saja. Kapan tepatnya saya harus melamar anak bapak?”
Pak Karim
tak menyangka jika dirinya harus tersedak. Bukan karena Marwan mengalihkan
fokus masalah. Tapi, isi pertanyaan yang baru diungkapkan Marwan, membuat pak
Karim merasa surprise. Sebenarnya, pak Karim yang sudah berkonsultasi, memang
ingin membicarakan secara khusus masalah ini.
“Lhooo,
bapak bilang saya tak boleh diam. Giliran saya bicara, bapak malah kelihatan
bingung. Padahal, saya tanya soal kapan saya harus melamar anak bapak ?“ Marwan
kembali memperlihatkan kesungguhannya untuk melamar putri pak Karim.
Bersambung......
0 komentar:
Post a Comment