NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank
SEPULUH
Wow..siapa yang tidak
kaget lebih dari setengah mati? Bagaimana mungkin pikiran bu Karim tidak jadi
semrawut. Tak heran jika beliau langsung kentut, eh, kalang kabut. Malah, juga
wajar jika usai membaca pesan putrinya, bu Karim berteriak sekencangnya
memanggil suami tercinta.
“Ada apa?” Tanya pak Karim
yang hanya menutupi tubuhnya dengan handuk, karena saat ia mendengar teriakan
isterinya tengah berada di kamar mandi
“Ini..ini…ada ini,” sahut
bu Karim yang hanya bisa menyodorkan kertas di tangannya.
“Mau serahkan kertas saja
kok sampai berteriak seperti orang kesurupan, sih, bu ?”
“Ini..ini,” bu Karim yang
sudah gugup hanya mampu menyodorkan kertas ke suaminya.
Ia tak bisa atau tak
sanggup menjelaskan dengan kata-kata.
Untung, pak Karim yang
meski hanya sejenak tapi sempat mengencangkan lilitan handuk di pinggangnya,
memiliki inisiatif untuk mengambil kertas dari tangan isterinya. Tanpa buang
waktu, pak Karim langsung membaca pesan Mirna
“Haaah ?!” Usai membaca,
pak Karim kontan ternganga.
Untung, meski usianya
sudah hampir enam puluh tahun, pak Karim bebas dari penyakit jantung atau
penyakit kronis lainnya. Jika sebaliknya? Hanya Tuhan yang tahu apakah pak
Karim hanya sekedar shock atau malah lebih dari shock alias meninggal dunia
“Anak kita mau bunuh diri,
bu ?” sergah pak Karim.
Percuma pak Karim
menyimpulkan..
Bu Karim sudah ngegelosor
di lantai kamar Mirna. Pak Karim yang biasa mampu menghadapi masalah dengan
tenang, kali ini, jangankan mau tenang. Dalam keadaan gugup saja, pikirannya
langsung cerentang perenang.
Apa yang harus kulakukan?
Jika terlebih dahulu mencari Marwan dan menjelas kan ia rela mengikuti kemauan
calon mantunya, apakah Mirna akan bisa diselamatkan? Jika benar niat bunuh
dirinya masih minggu depan, memang keputusan pak Karim mengalah dan lebih
berpihak pada keinginan Marwan, bisa menyelamatkan Mirna.
Tapi
bagaimana jika Mirna bilang minggu depan tapi sebenarnya direalisasi
secepatnya. Oooh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?
Untung, tak lama, bu Karim membuka mata dan dia terbangun. Meski masih
terlihat lemas, pak Karim mulai lega. Perlahan , ia mendekat ke isterinya. Pak
Karim membelai pipi isteri tercinta. Meraih tubuh isteri dan mengangkat dengan
sekuat tenaga.
“Bagaimana dengan Mirna, pak ?”
“Bu..tenang dulu. Rileks dan jangan dulu dipikirkan. Percayalah, anak
kita tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak “
“Bapak masih mau merayu agar saya tenang, sementara pikiran saya
terbang, ke awang-awang, melayang-layang, tak tahu harus melakukan apa, karena
kuatir habis memikirkan anak tercinta, Mirna.
Bagaimana kalau ada kabar tentang anak
kita yang kedapatan mati setelah meloncat dari hotel paling tinggi atau mall,
pak?” Ujar Bu Karim yang tak mampu menghalau rasa cemas
Bersambung....
Bersambung....
0 komentar:
Post a Comment