NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank
ENAM BELAS
Marwan
yakin, isterinya ada di dalam karena dia mengenali sepasang sandal yang
berserakan di bawah batas teras rumah bu Maemunah, yang memang asri dan
nampaknya sepi tapi di dalam berisi ibu ibu yang boleh jadi sedang asyik
berkonfrensi tingkat gossip tinggi.
Setelah menarik nafas panjang, Marwan yang berdiri di luar pagar
mengucap salam, dan setelahnya Marwan mengetukkan gembok yang masih nyantel di
pintu pagar.
Marwan
tak hanya yakin kalau isterinya, Mirna, ada di dalam rumah bu Maemunah. Meski
bukan pegawai jawatan pedadaian, Marwan yang sebenarnya sangat emosi, juga
yakin, bisa menghadapi masalah tanpa masalah, meski penyelesaiannya
tidak diyakini bakal bebas dari masalah.Meski begitu, Marwan yang emosional
tetap berpendirian, kalau yang dia inginkan bukan bukan menjadikan kesalahan
isterinya untuk disudutkan. Tapi, dia lebih ingin bagaimana kesalahan sang
isteri nantinya bisa diperbaiki.
Bu
Maemunah, tak mengira, yang mengucap salam dan mengetuk ngetukkan gembok besar
ke besi pagar, seorang lelaki yang sudah sangat dia kenal. Saat melihat tamunya, Bu Maemunah ter kejut.
Tubuhnya gemetar. Jika ia tahu, yang
nampak je las di pelupuk matanya adalah suami Mirna, sumpah, sebulan pun ia
rela berdiam diri di rumah. Memilih tetap di dalam rumah selama sebulan, jauh
lebih baik timbang melihat sekejap sosok Marwan yang berdiri di luar pagar
rumahnya.
Marwan
tahu, mengapa bu Maemunah nampak gugup dan tak bisa menyembunyikan rasa
bersalahnya Tapi, Marwan sama sekali tak bermaksud mempermalu kan bu Maemunah.
Ia tetap menyapa dengan ramah dan seolah tak terjadi apa-apa
“ Apa
kabar, bu Mun. Boleh minta tolong pang gilkan isteri saya ?”
“Bo..boleh..Ba…ba..baik, pak. Se..sebentar, saya panggilkan,” sahut Bu
Maemunah.
Marwan
hanya tersenyum. Sama sekali tidak sinis, saat bu Maemunah bergegas masuk ke dalam ru mahnya Tak lama,
Marwan melihat isterinya ke luar da ri dalam rumah bu Maemunah. Sesaat, Mirna
menatap ke arah Marwan. Selebihnya, wajahnya yang sudah merona merah hanya
menancapkan tatapan kedua matanya ke tanah. Marni tak berani lagi mengangkat
wajah. Terlebih, menatap suaminya
“
Boleh abang minta kunci rumah ?” Tanya Mar wan, saat Mirna sudah didekatnya. Ia tak memanfa atkan
sikon untuk meletupkan emosi. Marwan sadar, ia sedang diuji. Jika tak
memaklumi, merepotkan diri sen diri. Sebab, yang lantas meledak pasti emosi.
Hal
itu yang harus dijaga oleh Marwan dengan se baik-baiknya. Bila emosinya tak
terkendalikan, Mar wan tak hanya ribut dengan isterinya. Tapi, juga bisa
merembet ke ibu ibu yang sedang berkumpul di dalam rumah. Memang, Marwan tak
tahu, siapa saja yang ada di dalam selain bu Maemunah .
Bukan
lantaran Marwan berpikir seribu kali, jika ia harus dan akhirnya bisa mengendalikan
emosi. Tapi, sebagai suami, Marwan bertanggung jawab untuk memperbaiki
kesalahannya dan juga kesalahan isterinya. Hanya, dia tak menyangka jika
isterinya tertangkap tangan tengah asyik bergunjing di rumah tetangga, dan
bukan sedang asyik menyantuni atau mengajarkan anak anak terlantar yang butuh
perhatian, sementara suaminya tengah berjuang mencari nafkah
Bersambung.......
0 komentar:
Post a Comment