Friday, August 23, 2013

ADA CERITA (16)

NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank


ENAM BELAS
         

         Marwan yakin, isterinya ada di dalam karena dia mengenali sepasang sandal yang berserakan di bawah batas teras rumah bu Maemunah, yang memang asri dan nampaknya sepi tapi di dalam berisi ibu ibu yang boleh jadi sedang asyik berkonfrensi tingkat gossip tinggi.
          Setelah menarik nafas panjang, Marwan yang berdiri di luar pagar mengucap salam, dan setelahnya Marwan mengetukkan gembok yang masih nyantel di pintu pagar.
          Marwan tak hanya yakin kalau isterinya, Mirna, ada di dalam rumah bu Maemunah. Meski bukan pegawai jawatan pedadaian, Marwan yang sebenarnya sangat emosi, juga yakin,  bisa menghadapi  masalah tanpa masalah, meski penyelesaiannya tidak diyakini bakal bebas dari masalah.Meski begitu, Marwan yang emosional tetap berpendirian, kalau yang dia inginkan bukan bukan menjadikan kesalahan isterinya untuk disudutkan. Tapi, dia lebih ingin bagaimana kesalahan sang isteri nantinya bisa diperbaiki.
         Bu Maemunah, tak mengira, yang mengucap salam dan mengetuk ngetukkan gembok besar ke besi pagar, seorang lelaki yang sudah sangat dia kenal. Saat  melihat tamunya, Bu Maemunah ter kejut. Tubuhnya  gemetar. Jika ia tahu, yang nampak je las di pelupuk matanya adalah suami Mirna, sumpah, sebulan pun ia rela berdiam diri di rumah. Memilih tetap di dalam rumah selama sebulan, jauh lebih baik timbang melihat sekejap sosok Marwan yang berdiri di luar pagar rumahnya.
         Marwan tahu, mengapa bu Maemunah nampak gugup dan tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya Tapi, Marwan sama sekali tak bermaksud mempermalu kan bu Maemunah. Ia tetap menyapa dengan ramah dan seolah tak terjadi apa-apa
          “ Apa kabar, bu Mun. Boleh minta tolong pang gilkan isteri saya ?”
          “Bo..boleh..Ba…ba..baik, pak. Se..sebentar, saya panggilkan,” sahut Bu Maemunah.
         Marwan hanya tersenyum. Sama sekali tidak sinis, saat bu Maemunah  bergegas masuk ke dalam ru mahnya Tak lama, Marwan melihat isterinya ke luar da ri dalam rumah bu Maemunah. Sesaat, Mirna menatap ke arah Marwan. Selebihnya, wajahnya yang sudah merona merah hanya menancapkan tatapan kedua matanya ke tanah. Marni tak berani lagi mengangkat wajah. Terlebih, menatap suaminya
         “ Boleh abang minta kunci rumah ?” Tanya Mar wan, saat  Mirna sudah didekatnya. Ia tak memanfa atkan sikon untuk meletupkan emosi. Marwan sadar, ia sedang diuji. Jika tak memaklumi, merepotkan diri sen diri. Sebab, yang lantas meledak pasti emosi.
         Hal itu yang harus dijaga oleh Marwan dengan se baik-baiknya. Bila emosinya tak terkendalikan, Mar wan tak hanya ribut dengan isterinya. Tapi, juga bisa merembet ke ibu ibu yang sedang berkumpul di dalam rumah. Memang, Marwan tak tahu, siapa saja yang ada di dalam selain bu Maemunah .   

         Bukan lantaran Marwan berpikir seribu kali, jika ia harus dan akhirnya bisa mengendalikan emosi. Tapi, sebagai suami, Marwan bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahannya dan juga kesalahan isterinya. Hanya, dia tak menyangka jika isterinya tertangkap tangan tengah asyik bergunjing di rumah tetangga, dan bukan sedang asyik menyantuni atau mengajarkan anak anak terlantar yang butuh perhatian, sementara suaminya tengah berjuang mencari nafkah







Bersambung.......

0 komentar:

Post a Comment