Wednesday, May 8, 2013

CERITA BERSAMBUNG (13)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


TIGA BELAS

(5)

MENINGGALKAN prilaku buruk, tidak semudah meninggalkan jejak langkah. Bahkan, lebih sulit dari mengecat es dan menghitung buih-buih di luasnya lautan dan samudra. Tapi, siapa pun yang bisa, sanggup dan berhasil mengubah prilaku buruknya, dia adalah seseorang yang hebat.
Perkasa dalam arti sesungguhnya. Karena berarti dia telah berhasil mengubah kebodohan nurani menjadi kecerdasan yang membuat pribadinya mulia.
Hanya, apakah setelah berhasil mengubah prilaku buruk, ia sanggup mengembangkan kecer dasan hatinya menjadi kemuliaan yang tangannya menyelamatkan dan bibirnya menentramkan siapa saja dan juga dirinya? Bagaimana jika malah kembali lagi ke prilaku semula?
Jelas patut dipertanyakan. Terlebih, Bondan baru melangkah ke babak baru sebuah kehidu pan. Babak yang sungguh sangat asing. Selama ini ia hanya bergelut dalam kemelut. Dalam cen tang perenangnya jiwa yang rapuh. Jiwa yang ha nya dikendalikan oleh hawa nafsu. Lepas dari se gala sebab yang bisa membuat Bondan begitu
Memang, sekecil apapun, kemungkinan un tuk menjadi Bondan seutuhnya, tetap terbuka. Dan kemungkinan itu --sekecil apa pun, adalah peluang. Terlebih, bersamaan dengan itu, muncul kesadaran untuk mewujudkan. Hanya, bagai ma na pun, tetap tergantung siapa yang melakukan dan apa motif utamanya mengubah prilaku.
Apakah digunakan sepenuhnya untuk tujuan mengubah prilaku, atau hanya sebatas mengisi ti tik jenuh. Bila sepenuhnya untuk mengubah prilaku, berarti kemungkian yang secuil dan kesada ran yang tumbuh, adalah hidayah dan juga karunia. Jika sebaliknya, bukan hidayah. Tapi, se mata mata hanya sebagai titik jenuh dan kelelahan dalam pencapaian yang tak pernah jelas, mana ujung mana pangkalnya.
Bondan sadar, ia bukan tak cuma bisa kembali ke asal muasal. Kemungkinan kembali, juste ru lebih besar. Sebab, ia baru mulai mengubah dan belum benar-benar berubah. Sedangkan selama ini, sudah nyaris tenggelam bersama kebiasaan buruknya.
Kalau keraguan masih tersisa, kalau tekad tidak sebulat keinginan yang mutlak ingin dicapai, kalau iming-iming kemewahan masih menyisakan pesona, Bondan tak punya tekad untuk hijrah. Hanya, Bondan tak punya keberanian untuk menyebut yang dilakukan sebagai prilaku orang yang ingin hijrah.
Bondan hanya ingin mengubah jalan hidup dan menyelaraskan jati dirinya dengan jalan hidup yang berbeda dengan masa silamnya
Pada Mbok Sinem, pun, ia tak pamit dengan alasan ingin hijrah Ia hanya bilang akan me nikmati suasana baru dengan mondok di sebuah pesantren di luar kota. Tempat tepatnya di mana, ia belum bisa memastikan. Ia baru akan mencari pesantren, yang menurutnya cocok untuk menjelajah dan menikmati hidup barunya. Tentu sambil belajar dan mendalami agama
“Lalu, bagaimana dengan si mbok, den ?”
“Ya, tidak harus bagaimana-bagaimana, mbok. Si mbok tetap tinggal di sini. Toh, sebulan sekali saya pulang “
“Sendirian ? “
“ Si mbok kan, pernah bilang, anak si mbok bekerja di Jakarta dan belum punya rumah. Ajak saja dia tinggal di sini. “
“ Tapi, den ?”
“ Si mbok nggak usah kuatir. Mantu si mbok, kan tidak kerja. Saya akan minta agar dia membantu si mbok mengurus rumah. Bilang sama dia, tinggal dan makan di si sini, saya gratis kan. Tapi, jika ia juga bekerja di sini, saya tak mau gratisan. Tiap bulan, pasti saya beri gaji “
“Sebaiknya, apa tidak si mbok saja yang minta pensiun, den. Si mbok siap kok, kembali ke kampung. Toh, asal usul si mbok memang hanya orang desa “
“ Mbok, saya masih butuh si mbok untuk jaga dan merawat rumah. Lagipula, saya tak me nganggap si mbok orang lain. Mbok sudah saya anggap orangtua saya “`
“Tapi,mantu si mbok itu,orangnya sangat malas, den. Suaminya hanya buruh pabrik, tapi pola hidupnya, seperti orang kaya. Si mbok kuatir, den Bondan malah….” Mbok Sinem tak bisa menuntaskan kalimatnya.Bondan memberi isya rat agar si mbok Sinem tak terus bicara.
“ Mbok…Apa salahnya jika dicoba. Kita beri dia kesempatan. Barangkali saja, begitu ia tinggal bersama si mbok, prilakunya berubah. Oke ?’
“ Tapi saya tidak ingin disalahkan, den “
“ Saya janji tak akan menyalahkan. Yang penting, jika si mbok menilai tak ada perubahan, bilang ke saya. Kita minta dia ke luar dan saya siap carikan rumah kontrakan untuk anak si mbok dan keluarganya. Sekarang, saya pamit, mbok. Hati-hati. Assalammualaikum “

Bersambung......

CERITA BERSAMBUNG (12)


ADA PINTU DI JENDELA
oleh : Oesman Doblank

DUA BELAS


RUMAHNYA hanya sebatas tempat berteduh, agar terhindar terpaan hembusan angin yang bergemuruh, dari terik mentari yang panasnya menyengat, membakar kulit, dan dari derasnya guyuran hujan atau rintik gerimis, yang kesemuanya hanya membuat hatinya miris.
Kalau azan Maghrib tidak menggema, ia ingin menghentikan Tomo, yang tengah melang kah ke arahnya. Menemaninya ngobrol atau menemaninya berkeliling, karena telah sekian lama Bondan pernah lagi mengetahui perkembangan di komplek perumahan di mana ia tinggal
Bondan hanya menghentikan Tomo. Setelah merogoh dompet, mengambil selembar lima puluh ribuan, Bondan menyodorkannya ke Tomo
“Tips antar tabung gas,” kata Bondan pada Tomo yang tercengang dan dia tak segera mengambil lima puluh ribuan yang disodorkan Bondan
“ Buat makan malam dan beli rokok,” Bondan menambahkan, dan dengan gerakan yang cepat, memasukkan uang di tangannya ke saku baju Tomo, setelahnya Bondan bergegas mening galkan Tomo, yang sehari-hari bekerja di toko engkoh Tie Liang Tai.
“ Terima kasih, boss. Semoga rezeki boss makin berlimpah ruah,” kata Tomo.
Toma lantas berpaling ke arah Bondan yang terus berjalan setelah meninggalkan Tomo yang nampak begitu terharu karena tak menduga jika di jelang Maghrib ia memperoleh rezeki yang jumlahnya, menurut Tomo, lebih dari lumayan.
Bondan merogoh, mengambil lembaran lima puluh ribuan. Memandang. Entah takjub entah heran. Nyatanya, Tomo sepertinya tak percaya pada kenyataan. Padahal, lembaran lima puluh ribuan, yang sudah ada di tangannya bukan uang palsu atau uang untuk main monopoli. Tapi, uang asli. Jika dibelikan krupuk, cukup buat lauk selama sebulan
Tapi, akhirnya Tomo sadar. Senyumnya mengembang. Ia sempat mencium kertas berharga di tangannya. Dan, jika ia sampai ke toko tempatnya bekerja, ia pasti akan kembali ternganga. Terlebih, jika bossnya benar-benar jujur dan langsung menyerahkan uang tips yang dititipkan Bondan untuk Tomo.
“ Edan… sudah nitip uang tip sama boss, kok barusan, di jalan, memberi uang tip lagi? Malah, lebih besar. Oh, tengkiyu Tuhan “
Bisa saja sambil ngelonjak kegirangan, Tomo bilang seperti itu. Toh, Bondan tak tahu dan Tomo yakin, anak muda yang bai hati itu juga tidak kepingin tahu apakah ia girang setengah mati atau sebaliknya. Tapi, yang jelas, Tomo tak bisa menahan tetesan ari mata yang tiba saja mengalir.
Tomo terharu. Tak menyangka kalau dia dipertemukan dengan seorang anak muda yang bak hati.


Bersambung......

CERITA BERSAMBUNG (11)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


SEBELAS


“Mbook…biar saya sendiri saja. Saya sudah kuat, kok. “
“Tapi, den,” mbok kuatir dan merasa tidak enak.”
“Mbok…sebaiknya si mbok istirahat. Jika tidak mau istirahat, tolong bikinkan kopi susu untuk saya. Si mbok harus percaya, saya sudah tidak apa apa. Coba pegang, tubuh saya sudah tak panas lagi, kan?”
Bondan, meraih tangan si mbok, mena rik nya. Menempelkannya ke sekujur leher Bondan. Juga ke keningnya.
“ Si mbok percaya, kan, kalau saya sudah sehat?” Kata Bondan, tentu saja ia meyakinkan, karena tahu, si Mbok terlihat kuatir dan sekaligus merasa bersalah, telah melalaikan tugasnya. Tetap tertidur, saat den Bondan terbangun.
“ Sekalian si mbok bikinkan roti bakar, ya?” Mbok Sinem benar-benar sudah nampak lega. Bukan baru saja selamat dari rasa bersalah.Tapi, sikap den Bondan membuatnya lega.
Si mbok tahu, den Bondan sengaja meraih tangan si mbok. Selain menjelaskan tubuhnya sudah tidak panas lagi, sekaligus menenangkan hati si Mbok. Bondan tahu, si mbok kuatir karena hal apa. Namun, tak ia ungkapkan. Bondan malah menenangkan diri si mbok Sinem dengan cara, yang membuat Mbok Sinem jadi tenang. Jadi lega.
Si mbok Sinem bergegas ke luar dari kamar Bondan, setelah Bondan merapatkan pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Sambil melangkah ke dapur, tak henti-hentinya si mbok bergumam. Ia berdoa untuk Bondan.
“ Duuuh Gusti yang Maha Agung, sehatkan dan kuatkan den Bondan “
Bondan menikmati tubuhnya yang kuyup oleh guyuran air hangat dari shower. Tangannya sibuk berge rak, ke sana kemari. Menggosok punggung, perut, ketiak, dan tubuh lainnya, dengan sabun cair. Ia lalu meraih shampoo. Mencuci rambutnya yang gondrong. Bondan tak hanya merasakan hangatnya air yang mengucur dari shower. Tapi, juga merasakan segar. Dengan mandi air hangat, ia merasa sudah seperti sediakala, sudah pulih. Sudah sehat
“ Den..kopi susu dan roti bakarnya sudah di meja. Si mbok permisi dulu. Mau ke warung, beli gas. “
Kalau saja Bondan tak mendengar suara si mbok, Bondan yang baru saja mematikan kran shower air panas, berniat lebih lama di kamar mandi. Ia tak perlu bergegas mengeringkan tubuh dengan handuk. Toh, belum mendengar gema azan Maghrib.
Bondan bergegas meraih handuk dan melilitkan handuk warna hijau di tubuhnya. Ia segera ke luar kamar mandi. Ke luar kamar tidur. Karena tak melihat sosok si mbok, Bondan berteriak. Memanggil .
“ Mbooook…tunggu “
Bondan tak banyak berharap, Ia mengira mbok Sinem sudah ke luar untuk ke warung, membeli gas. Perlahan ia kembali ke kamar. Mengambil celana dalam. Celana pendek dan t’shirt. Ia bergegas mengenakan celana dalamnya, karena mendengar suara langkah mendekat. Untung, saat pintuk diketuk, Bondan sudah bercelana pendek.
“ Masuk, mbok “
Begitu masuk ke kamar, mbok Sinem yang melihat Bondan sibuk memakai kaos, menunggu sejenak. Ia baru bertanya setelah melihat Bondan sudah rapi memakai kaos, yang bagian depanya tertulis. Gantung Koruptor. Di bawah tulisan, dua orang duduk di dahan. Tangannya memegang dan dalam posisi siap menarik tubuh koruptor, yang lehernya sudah dijerat dengan tambang besar


Bersambung

Monday, May 6, 2013

SKETSA



MAKAN DAN SHOPING DI MALL
oleh : Oesman Doblank


SEJAK mall Lupa Daratan di bukan, Komeng belum pernah ngajak isteri dan kedua anaknya main ke sana. Terlebih makan di salah satu restoran yang ada. Terlebih lagi, ngeborong pakaian dan keperluan lain nya.
Tapi di Minggu pagi yang cerah, begitu bangun tidur, Komeng langsung kumpulkan anak isterinya. Ke pada mereka, diumumkan, agar cepat mandi dan mempercantik diri karena mereka akan diajak ke Mall Lupa Daratan dan Komeng mempersilahkan isteri dan anak-anaknya untuk beli apa saja yang mereka suka.
Pokoknya, kita borong habis. Mau apa saja, please-please azza dah. Okeee ?”
Boing dan Mimin langsung jingkrak-jingkrak. Mereka gembira.
Akhirnya, tiba juga saat bagi mereka pergi shoping ke Mall Lupa Daratan, nyang kata banyak orang, harga di sana memang mahal mahal. Tapi bisa langsung bikin naik gengsi meski rasa makanannya lebih asyik rasa makanan di rumah yang dibikin sendiri.
Ooh, iyee, be. Emangnye babe dapat lotere kok bisa-bisanye ngedadak ngajak kite ke mall lupa daratan,” kata Mimin, anaknya yang selalu saja kepingin tahu.
Tenang saja,” sahut Komeng sambil buka lemari.
Lantas, dengan sangat penasaran, Komeng obrak-abrik isi lemari. Komeng pusing sendiri. Lantaran, duit yang ingin diambilnya, tak juga ditemui.
Rasanye, semalem, babe masukin karung yang isinye duit semua, ke lemari. Kok, sekarang malah nggak ada, yee ?” Komeng ngegerundel.
Abang..abang…makanye kalo ngalap mimpi jangan nyang terlalu indah. Akibatnye, kan, kasian anak-anak, bang.Baru aje girang bukan alang kepalang, harapannye udeh langsung melayang. Untung, si Mimin sama si Boing kagak mentokin palanye ke tiang”
Maafin gue. Gue kagak sadar, duit sekarung nyang semalem gue taro ke lemari, ternyata, cuman sebates mimpi doangan. “
Komeng yang jadi kagak kepingin ketawa sedikit pun, menatap kedua anaknya yang kayaknya kagak tau lagi, bagaimana cara tertawa yang baik dan menyehatkan.


SKETSA KITA


 Sketsa

AUU AH GELAAAAP
oleh; Oesman Doblank

LAGI asoi nyantai di rumah, Komeng yang sudah enam bulan nganggur kedatangan tetangga pas sebelah rumah yang sedang renovasi rumahnya menjadi dua lantai, Dia minta tolong dan berharap Komeng berkenan membantu pekerjaan ngecor dak, di rumahnya. Komeng yang sama sekali tak iri dengan rezeki tetangga sebelah yang sedang melimpah, tentu saja girang.
Alhamdulillah…hari ini, ada juga rezeki datang menghampiriku,” Komeng membati dan membayangkan, nanti sore dapat uang senilai jasa tukang.
Komeng akan ikhlas bila bayaran yang diterima setara dengan tukang . Bukankah timbang dapur tidak ngebul, lebih baik nguras tenaga tapi menghasilkan? Komeng langsung lupa kalo ia pernah kerja di kantor dan selalu tampil berdasi dengan bayaran yang lumayan.
Esoknya, pagi pagi Komeng sudah stand-by
Ngangkut adukan dari bawah ke atas emang cuma seember-seember. Tapi lantaran terus menerus, capeknya jadi terasa. Pinggang serasa mau gempor. Tapi, Komeng ikhlas, karena harapan dapat uang tidak kandas, berkat kesiapan Komeng melaksanakan tugas dan berjibaku dengan kerja keras.
Senja pun tiba. Komeng yang kecapean dan mau cepat-cepat pulang, girang bukan main saat sang tetangga memanggilnya.
Alhamdulillah…akhirnya…hari ini aku dapat uang. Terima kasih Tuhan,” kata Komeng dalam hati, bersama kegembiraannya yang bertubi-tubi.
Begitu Komeng mendekat, Mas Qorun langsung menyalaminya. Dan, tanpa beban mental, ia berkata :
Terima kasih, yaa, bang Komeng. Saya doa kan, semoga bantuan yang bang Komeng berikan kepada saya menjadi amal dan ibadah yang diridhoi oleh Allah Subhanallah Taala “
Sama-sama, mas. Terima kasih juga atas doa nya,” sahut Komeng, yang sesungguhnya kepingin ba nget mewek saat itu juga, lantaran ia hanya diberi ucapan terima kasih, dan sama sekali tidak diberi upah meski sudah kerja seharian dan sampai sedemikian kelelahan. Hampir patah dia punya pinggang
Komeng yang sudah sangat capek, merasa makin capek. Lantaran samas sekali tak disangka, harapan yang dibentangkan, tak seindah kenyataan yang nampak di pelupuk mata. Meski begitu, Komeng tetap bersyukur. Sebab, upah tak digapai, tetap ada yang sampai. Yaitu, doa tetangganya.
Sesampai di rumah, Komeng yang kepingin istirahat, langsung tercekat. Soalnya, bokinnya mengingatkan
Bang..ingat, yaa..besok, kalau rekening listerik tidak dilunasin, aliran listerik di rumah kita bakal dicabut“
Komeng hanya mampu menyahut dengan sang at singkat. “ Yaa, aku tahu “
Padahal, selain tahu, Komeng juga sangat yakin, mulai besok malam, kalau benar benar dicabut, Komeng cuma bisa bilang “ Auuu aaah, gelaaaaap “ Sedangkan isterinya bakal bilang, karena di rumah gelap aku akan ngungsi ke rumah nyakop bokapku
Mudah mudahan ente nyang ngenes sama nasib ogud, nggak di PHK lantaran perusahaan bangkrut,” kata Komeng, ia berdoa dalam hati, dengan harapan tidak banyak orang yang bernasib seperti dirinya

CERPEN (BAGII)



Cerpen                                                                               oleh: Oesman Doblank

HARI SUDAH SENJA 

 

Sudah sekitar tujuh tahun Babe mengajar anak-anak mengaji di rumahnya.

Anak-anak yang sejak awal Babe membuka pengajian di rumah sudah mengaji di sana, tetap datang mengaji meski sudah duduk di SMA. Hanya, tidak setiap hari. Mereka ha nya hadir seminggu se kali, setiap malam Jum’at.
Babe tak lagi mewajibkan mereka menga ji. Muridnya yang sudah di SMA, diajak untuk membahas siapa Allah dan mengapa Sang Kha lik mengutus Rasulullah Saw untuk memperbai ki akhlak manusia, dan bukan untuk menikmati sepuasnya segala yang diciptakan Allah yang bertebaran di dunia.
Tentu saja orangtua mereka senang. Soal nya, sejak ngaji di rumah Babe, anak-anaknya malah bisa jadi juara di sekolahnya. Sehari-hari, betah di rumah. Rajin membantu orangtua dan semakin berbudi pekerti. Tak seorang pun yang terpengaruh oleh rusaknya lingkungan. Padahal, banyak anak-anak remaja di lingku ngan mereka, yang sudah akrab dengan ganja dan minuman keras.
Babe sangat ingin menolong remaja yang suka bermabuk-mabukan, menghisap ganja dan gemar pulang pagi. Tapi, ia merasa tak leluasa, Sebab, orangtuanye tak pernah menganjurkan anak-anaknya belajar mengaji di rumah Babe.
Mereka lebih suka mendaftarkan anaknya di tempat bergengsi. Yang gurunya dianggap pintar karena sering tampil di televisi, punya titel – termasuk gelar Haji, bayarannya pun mahal, dan tempatnya sangat sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, mewah dan ber-ac.
Sedangkan di tempat Babe, sangat seder hana. Ruangannya sempit. Tak dipungut baya ran. Kelebihannya, hanya sebatas teh manis panas, buatan isteri babe yang setiap malam di sediakan untuk dinikmati anak anak, seusai me ngaji.
Hal lainnya, Babe tak punya gelar. Di du nia pendidikan hanya SMU, diperibadatan, tak ada tanda-tanda bisa memiliki gelar Haji.
Jika Babe tak menyesal karena tak bisa membantu semua anak di komplek tempat ia tinggal untuk mengenal dan paham tentang akhlak, karena ia tahu,sebenarnya, orangtua me reka yang kerap mengecilkan Babe-- karena ha nya mampu tinggal di rumah kontrakkan, telah mendaftarkan anak-anaknya ke lembaga pendi dikan yang dianggap sangat bergengsi.
Lembaga yang selalu beriklan di koran, te levisi dan tak bosan menyebar brosur yang isi nya, mampu mencetak para siswa menjadi manusia yang beriman dan berilmu.
Sedangkan Babe, hanya berusaha menjelas kan, seperti apa akhlak yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, kepada para Sahabat dan para pengikutnya, yang kagum pada Rasulul lah, karena kesederhanaannya itu indah dan mulia. Karena dengan kesederhanannya, tangan nya menyelamatkan dan mulutnya menentram kan.
Setelah menjelaskan, Babe selalu berusaha untuk mengaplikasikan. Jika ia menjelaskan ki kir itu celaka, Babe membuktikan memberi itu membahagiakan orang lain. Jika Babe menjelas kan, tulus itu gudang berkah, sejak mengajar ngaji anak-anak, ia tak pernah meminta upah.
Tiap diundang ceramah di berbagai tem pat, tiap dapat giliran jadi khotib Jum’at di mesjid, Babe melakukannya dengan tulus. Ka rena menurut Babe tulus itu tanpa pamrih, ia hanya berharap upah dari sisi Allah. Menurut Babe, upah dari Allah, jauh lebih baik dan ber sifat kekal.
Lalu, jika Babe diminta menjelaskan me ngapa menolak dengan halus bila diberi honor setelah ceramah atau khotbah Jum’at. Ia men jawab semampunya.
Kata Babe, para Rasul yang diperintah kan oleh Allah untuk berdakwah, melaksana kan tugasnya dengan ikhlas. Ikhlas, menurut Ba be, artinya tidak meminta atau berharap dapat upah. Jika sudah menyebut ikhlas, dengan ala san apapun, hati tidak boleh tergoda untuk ber harap apalagi meminta upah.
Maka bertakwalah kepada Allah dan taat lah kepadaku. Dan aku tidak minta upah kepa damu untuk usaha ini, upahku hanya dari Allah, Tuhan Semesta Alam.
Asy Syu’ara 179 – 180,

******

SELALU ada, yang membayar lebih.Wak tu mulai ngojek, Babe heran. Tapi, setelah bebe rapa hari kemudian, Babe yakin, begitulah cara Allah Subhanallah Ta’ala, memberi rezeki, se hingga dua anaknya tetap bisa sekolah. Bisa makan, dan setiap malam, isterinya, tetap bisa menyuguhkan teh manis panas untuk anak anak , seusai mereka mengaji
Allah jualah yang menggerakkan hati seo rang penumpang ojeknya, yang baru pertama kali naik ojek Babe, tapi tanpa ragu, meminta agar Babe berkenan mampir ke rumahnya.
Setelah Babe menyeruput teh hangat di te pi kolam renang yang terletak di belakang ru mah mewah, Babe baru tahu, penumpangnya sengaja minta turun pada supirnya, karena ia melihat Babe di pangkalan ojek, sedang duduk di motornya.
Karena ia yakin pernah mengenal Babe saat berceramah di kantornya, penumpang yang ternyata the big boss perusahaan cukup besar dan ternama, sangat penasaran pada Babe dan sangat ingin mengenal siapa Babe sebenarnya.
“Ya, inilah saya. pagi sampai Ashar beker ja sebagai tukang ojek. Malam mengajar ngaji, dan di waktu tertentu, jika ada yang meminta ceramah, saya ceramah,” kata Babe.
Ia juga menjelaskan, sama sekali tak mera sa terpaksa, menjadi tukang ojek. Sebab, sete lah minta pensiun dini dari pns, harus tetap memberi nafkah untuk keluarga.
“ Jadi, bapak malah minta pensiun saat ak an naik pangkat?” Tanyanya
“Menurut saya, bukan saat naik pangkat.
Tapi, itulah saat beban hati nurani saya bertambah berat. Saya pasti dipindahkan ke tem pat basah. Jika tidak ikut basah, malah disinisi. Malah dibilang sok suci.
Daripada saya menanggung beban sok su ci, saya pilih minta pensiun dini. Teman dan saudara-saudara saya, kaget. Hanya isteri saya yang memberi ucapan selamat.
Dia, juga bilang, lebih ikhlas saya pensiun timbang setiap pulang ke rumah, dia selalu ber tanya, apakah uang yang saya serahkan, di da lamnya penuh berkah atau campuran berkah dan tidak berkah.
Saya merasa beruntung, karena isteri saya masih tetap seiring sejalan dalam mengayuh bi duk rumah tangga.
Begitulah saya
Sama sekali tak ada apa-apanya.
Mungkin karena itu, teman teman dan sau dara kandung saya, menilai saya orang bodoh.
Tapi saya tetap merasa sangat beruntung, sebab, isteri saya memberi ucapan selamat “
The big boss alias pak Margono manggut manggut, setelah mendengarkan penjelasan Ba be. Tak lama, mereka larut dalam perbincangan yang mengasyikkan.
Mulai soal politik, hukum, ekonomi, dan so sial, yang meski pun sama sekali tak dibahas se
cara mendalam – hanya sekilas pintas, tapi membuat mereka jadi merasa akrab.
Pak Margono harus merelakan Babe, yang setelah ikut shalat Ashar di rumahnya, langsung pamit karena ia harus pulang, dan sampai magh rib, jika luang, selalu berkumpul dengan isteri dan dua anaknya di rumah. Saat-saat itulah, kata Babe, ia dan keluarga berkomunikasi dan saling berbagi.
Tapi, pak Margono tak lupa meminta ala mat rumah Babe. Tanpa ragu, Babe menulis ala mat rumahnya, lengkap dengan nomor hape
Keesokan harinya, Babe terpaksa menunda keberangkatannya mengantar Dinda ke sekolah dan setelah itu baru menuju ke pangkalan ojek, karena saat akan meninggalkan rumah, pak Mar gono tiba di depan rumah, bersama mobilnya.
Babe segera mengajaknya masuk. Ia tak risi mengajak pak Margono duduk di ruang tamu ru mahnya, meski kursi di ruang tamunya, hampir semua robek. Malah, bagian tengah sofa pan jangnya, sudah jebol. Tapi, pak Margono justru duduk di sofa panjang, yang karet busanya bermunculan ke luar karena kain penutupnya sudah pada amburadul
Isteri babe bergegas menyuguhkan teh pa nas. Dinda, putrinya, bergegas cium tangan Babe, lalu ke ibunya, dan tanpa ragu, ia cium tangan ke Margono. Setelah itu ia pamit.
Dinda tetap berangkat, karena ia tak ingin terlambat sampai ke sekolah. Dinda, sama seka li tidak merasa kesal, meski ayahnya batal me ngantarnya ke sekolah
Pak Margono, tak merasa kikuk, meski harus duduk di sofa rusak. Juga tak kikuk, keti ka sangat ingin menikmati teh panas buatan isteri Babe, meski baru saja diletakkan di meja ruang tamu, oleh isteri Babe.
Setelah mereguk teh panas yang dirasa begi tu nikmat, pak Margono meminta isteri Babe, untuk ikut ngobrol bersamanya.
“Ada hal yang juga ingin saya sampaikan kepada ibu,” jelas pak Margono.
Isteri Babe bergegas ke belakang untuk menaruh baki, yang baru saja ia pakai untuk membawa cangkir berisi teh panas, yang baru saja disajikan ke tamunya. Setelah merapikan kembali jilbab pan jangnya, ia kembali ke ru ang tamu. Tanpa ragu, isteri Babe duduk di sisi suaminya
Meski sudah tahu, pak Margono sudah men cicipi teh yang disajikan isterinya, Babe yang belum tahu mau ngomong apa, kembali mem persilahkan pak Margono untuk menikmati saji an ala kadarnya.
“Terima kasih, pak. Nanti, setelah urusan se lesai, pasti saya habiskan. Soalnya, tehnya serasa lebih nikmat,” kata pak Margono, yang lalu sibuk membuka tasnya.
Ia lalu mengambil amplop standar, yang di sudut kiri atas, berlogo sebuah perusahaan. Meletakkannya di meja. Babe dan isterinya tak kepincut untuk memperhatikan amplop yang se pertinya biasa saja. Tak ada isinya.
Babe dan isterinya baru tahu isi amplop sebenarnya, setelah pak Margono menutup tas echolac-nya, ia meraih kembali amplop di me ja, mengeluarkan isterinya. Ternyata, sebuah cek.
Baru jelas berapa nilai yang tertera dan bisa dicairkan di bank mana, setelah pak Margono menjelaskan, ia ingin membiayai Babe dan isterinya melaksanakan ibadah haji.
“Ini bukan hal yang mengejutkan. Setiap ta hun, saya selalu menyisihkan keuntungan peru sahaan, untuk biaya ongkos naik haji sekitar lima sampai enam orang karyawan.
Tahun depan, sepertinya, tak ada lagi karya wan yang dapat jatah. Semua sudah, dan jika tiga orang karyawan yang tersisa belum dapat jatah, karena mereka belum setahun bekerja.
Jadi, tolong bapak dan ibu terima.
Tak usah mendaftar ke Depag, karena bapak dan ibu harus ONH plus. Terserah, ingin menggunakan biro perjalanan yang mana. Yang jelas, selain untuk ONH, juga cukup untuk biaya di sana dan untuk biaya anak-anak di rumah “
Babe dan isterinya berpandangan.
Saling merangkul erat
Lalu sesenggukan
Air mata mereka berjatuhan
Dandi, kakak Dinda, yang sekolah siang, bergegas ke luar dari kamar. Setelah tahu, mengapa ayah ibunya menangis, Dandi memeluk orangtuanya.
Babe melepas pelukan isteri dan anaknya. Ia mendekat dan memeluk pak Margono. Mengucapkan terima kasih. Lalu, mengatakan, ia tak bisa membalas karena yang bisa memba las hal seperti ini, hanya Allah, Tuhan Yang Maha besar
“Kalau begitu, saya permisi karena harus segera ke kantor. Semoga bermanfaat, saya hanya bisa mendoakan, agar bapak dan ibu menjadi haji yang mabrur, ” kata pak Margono, sembari mengulurkan tangannya ke Dandi, yang ingin menyalaminya
“Terima kasih, pak Margono,” kata isteri babe.
“Sama-sama, bu. Oh iya, saya harus menghabiskan dulu, teh yang nikmatnya luar biasa ini”
Pak Margono meraih cangkir teh. Dengan ikhlas ia menyeruput isinya.
Menyeruput nikmat yang terasa tak ada habisnya.



Sunday, May 5, 2013

CERPEN : BAGIAN SATU


Oesman Doblank


HARI
TELAH
SENJA




BABE sama sekali tak kecewa, saat tiba di rumah adik kandungnya, hanya ditemui Mi nah, salah seorang dari tiga pembantu yang be kerja di rumah Tinni Sumarni, adik bungsu Babe. Ia tetap meminta Minah untuk menaruh pisang ambon di meja makan, agar Dindin, ke ponakannya, yang suka pisang ambon, menik mati oleh-oleh yang dibawanya.
Minah yang bergegas menyediakan ko pi untuk babe, menginformasikan, tuan beserta nyonya dan kedua kakaknya, setengah jam sebe lum Babe sampai, sudah berangkat bareng. Mereka menuju ke sebuah restoran mewah, un tuk menghadiri pesta ulang tahun Tasya yang ke delapan.
Tasya, juga keponakan Babe. Ia putri kedua Sutisna, adik pertama babe. Dan kata Minah, Adik dan kakak babe, sudah meluncur bersama keluarga masing-masing, untuk menik mati suasana pesta ulang tahun Tasya yang di gelar di sebuah restoran mewah.
“Memang uwa tidak diundang?” Tanya Minah. Ia jelas kepingin tahu, mengapa Babe justeru datang ke rumah majikannya, dan bukan berangkat ke tempat ulang tahun Tasya
“Pastinya, ya diundang. Hanya, saya lu pa mencatat hari, tanggal dan waktunya. Jadi, setelah selesai antar langganan, saya malah me luncur ke mari,” sahut Babe.
Babe terpaksa berbohong
Ia tak ingin membahas apapun dengan Minah. Bukan karena ia pembantu di rumah adik kandungnya. Tapi, urusan keluarga Babe tak layak dicampuri oleh siapa pun, termasuk Minah, yang menurut Babe, lebih pantas me ngurus urusannya sendiri. Atau setidaknya, lebih baik ia konsen dengan tugasnya sebagai pembantu. Bila bisa bekerja dengan baik, pasti leluasa untuk minta kenaikan gaji dan setiap lebaran diizinkan pulang kampung.
“Oh iya, uwa sudah tahu belum, tuan dan nyonya mau umroh ?”
“Kok kamu tau, sih?”
“Ya, pasti taulah, Wa. Minggu lalu, kan diajak tuan dan nyonya ke rumah pak Sadikin. Semua keluarga uwa, hadir,lho. Cuma uwa saja yang tidak datang “
“Iya, saya sering nggak punya waktu, ka rena kebetulan sibuk ngojek “
“Uwa tau, nggak. Minggu lalu itu, memba has berangkat umroh bersama, untuk yang keli ma kalinya. Guru ngaji keluarga uwa dan suami nya, juga diajak lho, wa “
“Oh, yaa? Sok tau amat, sih, kamu?”
“Lhoo, kan, waktu itu, bu Ustadzah dan suaminya hadir di rumah Tuan Sadikin. Saya denger, pada setuju iuran untuk membiayai ongkos bu ustadzah dan suaminya,” jelas Mi nah, lebih rinci lagi.
Babe terpana.
“Kok, uwa malah nggak diajak, ya?”
Babe hanya tersenyum.
Ia lantas buru-buru pamit. Bukan lantaran kesal atau emosi. Ia memilih cepat pulang, ka rena kuatir Minah nyeplos. Soalnya, bisa saja ia menyimpulkan, dan tanpa bermaksud menyu dutkan Babe, Minah yang banyak omong, bisa bilang, begini atau begitu. Babe yang bergegas pulang, hanya berpesan agar Minah menyam paikan salam ke adiknya.
******
CUMA Babe yang belum pernah me nginjakkan kakinya ke Mekkah dan Madinah, belum pernah menikmati indahnya tawaf dan asyiknya melempar jumroh. Sedangkan ketiga adik dan kedua kakaknya, malah selalu satu kloter, dalam dua kali kesempatan melaksana kan ibadah haji.
Babe memang pernah melihat Ka’bah dan keinternasionalan bandara King Abdul Aziz yang megah, di televisi. Sampai saat ini, hasratnya berumroh pun, masih tetap terbingkai dalam mimpi. Sedangkan kedua kakak, tiga adik dan lima iparnya, sudah empat kali melak sanakan umroh
Mendengar rencana adik dan kakak kan dungnya akan melaksanakan umroh ke lima, Babe tetap meninggalkan pisang ambon yang dibawanya. Ia tak tertarik untuk kembali membawanya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Babe tak mencerita kan perihal pesta ulang tahun keponakannya yang dilangsungkan di sebuah restoran mewah. Babe hanya menginformasikan rencana saudara kandungnya, yang dua bulan mendatang akan melaksanakan umroh untuk kali yang kelima
Di keluarganya, babe doang yang tidak dipanggil dengan sebutan haji. Ketiga adik dan dua kakaknya—juga suami atau isterinya, sela lu dipanggil dengan Haji dan Hajjah.
Di antara enam bersaudara pasangan almarhum bapak Wiranata Sandjaya dan almar humah Juliati, hanya Babe yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dan belum berumroh
Kedua kakak dan tiga adiknya, tidak per nah memanggil Babe-- nama aslinya Hambali Suradinata, dengan sebutan pak Haji. Tentu sa ja mereka punya alasan kuat. Karena Hambali belum pernah berangkat ke Tanah Suci. Baik untuk ibadah haji maupun umroh
Mereka juga punya alasan kuat,untuk tidak membantu Babe. Sebab, hanya Babe yang tidak pernah memanggil Haji atau Hajjah, dan cuma Babe yang tidak pernah gembar gem bor, menceritakan sukses mereka ke sanak sau dara dan para tetangga di kampung halaman.
Hingga saat ini, tak satupun dari lima saudara Babe yang telah dua kali berhaji dan dua bulan mendatang akan umroh bareng untuk yang kelima kalinya, berinisiatif untuk be rembuk, bermusyawarah, sehingga lahir keikh lasan memberangkatkan Babe dan isterinya, ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah Haji.
Padahal, guru ngaji mereka yang tiap jumpa dimana pun selalu memanggil mereka Haji dan Hajjah, kerap mengajak wisata ziarah, gemar memuji sukses mereka, dan sering me minjam uang tapi sampai saat ini tak pernah mengembalikan--karena merasa sebagai guru, diajak oleh saudara kandung Babe berumroh.
Mereka merasa berhak dan pantas me manggil guru ngaji mereka dan suaminya deng an sebutan Hajjah dan Haji. Juga bangga, kare na guru ngajinya bisa menambah namanya de ngan Hj, dan k arena ia berhasil mengajak su aminya ke Tanah Suci, melaksanakan ibadah haji, suaminya pun menempelkan H di depan nama aslinya.
Terlebih, guru ngajinya dan juga suami nya, sering menyebutkan, mereka bisa melak sanakan ibadah haji ke Tanah Suci, karena di biayai oleh dua kakak dan tiga adik Babe, yang ikhlas membiayai pelaksanaan ibadah haji mereka
Babe tidak pernah marah.
Terlebih kesal sampai ledakkan emosi
Babe tidak pernah sedih
Terlebih mencaci maki
Babe tidak pernah iri terlebih benci
Babe malah semakin tahu diri
Ia tetap menghargai saudara kandungnya.
Tetap menghormati kedua kakak dan keti ga adiknya. Sebab, mereka saudara kandung Ba be. Bahkan, Babe menghargai dan menghorma ti ipar-iparnya. Bagi Babe, menghargai dan menghormati saudara kandung, sangat penting. Jika mereka tak menghargai, menghormati dan tak membantu Babe, bukan hal penting.
Sebab, yang Babe lakukan hanya karena Allah. Bukan lantaran saudara kandungnya, ba nyak harta, dalam kemewahan dan mampu membiayai ibadah haji guru ngaji mereka dan suaminya
Babe tetap bersilaturahmi. Selalu ber usaha membawa apa saja yang bisa dibawa ke rumah ketiga adik dan kedua kakaknya. Alasan Babe, sangat sederhana. Bersilaturahmi dan bi sa memberi dengan ikhlas, disukai Allah
Menurut almarhum ayahnya, dalam kon disi apapun, lebih baik suka memberi daripada meminta, terlebih sengaja tengadahkan tangan.
Babe tak pernah mempersoalkan, me ngapa ketiga adik dan kedua kakak serta ipar-iparnya--hingga saat ini, semakin jarang bersila turahmi ke rumahnya. Juga tak pernah mem bantunya. Padahal, babe sering mendengar, sau dara kandungnya, kerap menggelar acara amal--berbagi dengan kaum dhuafa, secara bergan tian.
“Itu bukan hal penting, bu “ Tegas Babe , ketika ia kembali mengajak isterinya bersilatu rahmi, ke rumah Tinni Astuti, dan kerumah saudara kandungnya yang lain
Babe yang mendengar kabar adik bung sunya, Tinni Astuti, sedang hamil anak ketiga nya, tak tersinggung apalagi marah, mendengar penolakan isterinya
“Tapi saya harus diperbolehkan menga nggapnya sebagai hal penting,” tegas isteri Ba be, sembari menyeka butiran air mata yang ber jatuhan di pipinya.
“Itu karena ibu punya keinginan agar kakak dan adik saya juga berkunjung ke rumah kita, kan? “
“Apa itu salah ?”
“Mungkin, malah benar, bila dasar yang ibu jadikan pertimbangan adalah keinginan ag ar mereka juga balas mengunjungi dan mau ber bagi. Iya, kan ?”
“Bang…saya ini manusia biasa, dan ha nya seorang perempuan. Kalau pun saya ingin mereka berkunjung ke rumah kita, bukan untuk menuntut agar saudara abang menghormati dan menghargai saya.
Saya justru berharap mereka menghar gai dan menghormati abang, karena abang su ami saya dan sekandung dengan mereka.
Sampai kapanpun, abang tetap terikat dalam hubungan keluarga. Saya, semisal kita bercerai, atau abang meninggal terlebih dahulu, tak punya ikatan apa-apa lagi, selain karena setiap hamba harus tetap taat pada Allah, bang. Tapi abang ?”
Isteri Babe tak bisa menahan tangis
“Abang tidak perlu terus menerus me ngalah. Sabar dan mengalah itu, ada batasnya, bang. Saya sedih, karena mereka tak meng hargai dan menghormati abang
Kita sering mendengar, mereka kerap mengundang anak-anak yatim dan orang-orang miskin, ke rumahnya. Tapi tiap abang datang ke rumah saudara kandung abang, tak pernah dapat apa-apa, kecuali cerita semata.
Mestinya, paling tidak, mereka mena nyakan, apakah abang yang sudah enam bulan tidak bekerja, bisa memberi makan isteri dan dua anak abang? Tidak pernah,kan, bang?.
Apa abang tidak sedih? Tidak kecewa? Mereka itu saudara kandung abang. Tapi perla kuan mereka terhadap abang?
Saya sedih, bang.
Saya sangat kecewa.
Abang selalu berusaha bersilaturahmi, berusaha membawa apa yang bisa abang beri kan kepada saudara abang. Tapi mereka? Jangankan berkunjung atau memberi. Menel pon abang dan sekedar menanyakan kondisi abang saja, sampai saat ini, tak pernah bang ?”
Babe mengambil sapu tangan di saku celananya. Menyeka air mata yang membasahi pipi isterinya. Babe jadi terbawa suasana. Ia ikut sedih karena isterinya kelihatan sedang sedih Bukan sedih karena ketiga adik, dua kakak dan ipar-iparnya, tak pernah berkunjung ke rumah Babe. Juga tak pernah pernah mem bantu Babe, meski Babe kadang ditanya dan selalu menjelaskan, setiap pagi sampai sore ia hanya bisa mengojek.
“Akhirnya, abang sedih. Sedihnya abang seperti kesedihan saya, kan ?” Kata isteri Baba, yang akhirnya melihat, suaminya bisa mengucurkan air mata.
Babe tetap berusaha tersenyum
“Saya sedih karena isteri saya sedih dan menangis. Bukan karena saudara kandung saya semakin jarang berkunjung, tak pernah
berbagi dan entah kapan punya waktu untuk ber kunjung ke ru mah kita, “ ujar Babe.
Ia sama sekali tak berbohong
Babe sedih karena isterinya menangis,
Ia tak nau lagi ikut dengan Babe--ber kunjung ke rumah Tinni Astuti, adik bungsu Ba be, yang sedang hamil dua bulan, untuk anak ketiganya.
Tinni dan suaminya, tinggal di kawasan perumahan mewah. Babe, tinggal di kawasan perumahan KPR. Sudah sebelas tahun, Babe tinggal di perumahan Banjir Emas Indah. Sejak pindah ke sana, hingga saat ini, Babe hanya bisa ngontrak
“Bang…saya tak tahu lagi bagaimana cara saya menjelaskan, agar abang mengerti sa ya kecewa karena mereka sama sekali tak meng hargai dan menghormati abang”
“Ibu tak perlu menjelaskan dan juga tak usah mencari cara apapun untuk menjelaskan. Saya biasa menerima kenyataan seperti ini, kok bu. Juga biasa menghargai dan menghormati mereka. Jika mereka bersikap sebaliknya terha dap saya, tak pernah saya persoalkan “
“Ya, terserah abang. Tapi,saya sudah ti dak mau ikut lagi “
Babe tak memaksa isterinya.
Ia hanya minta isterinya mengikhlaskan suaminya pergi ke rumah Tinni. Menurut Babe, dia harus tahu, apakah Doni, suami adiknya, yang tahu sudah dua kali isterinye hamil, tak pernah membawakan rujak untuk Tinni, meski Doni sendiri yang cerita, di dekat kantornya ada rujak enak
*****

Di rumah kontrakan Babe, semakin ba nyak anak-anak yang belajar mengaji. Setiap malam, isterinya sibuk menyediakan teh manis untuk anak-anak, yang memang haus seusai mengaji. Anak-anak senang minikmati teh, bua tan isteri Babe, karena terasa sedemikian sedap saat dinikmati.
Padahal, di rumahnya, anak-anak sering dan bisa sampai lima atau enam kali minum teh. Tapi, teh seduhan isteri guru ngaji mereka, selalu terasa lebih nikmat
Beberapa ibu, ada yang sampai sengaja datang untuk membuktikan nikmatnya rasa teh buatan isteri Babe. Mereka kesal, karena anak nya terus mengatakan, rasa teh buatan ibunya tak pernah senikmat rasa teh, buatan isteri Ba be. Terlebih, anak-anak tidak diwajibkan men cuci gelas, yang mereka pakai untuk minum