Friday, June 28, 2013

CERITA BERSAMBUNG (56)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH ENAM


(11)

BONDAN harus bisa dan ikhlas memaklumi, segala sesuatu yang telah dan terlanjur terjadi. Baik untuk hal yang membuatnya pernah merasa kehilangan kasih sayang, maupun yang membuat dirinya harus kehilangan seorang ayah, dimana untuk keinginan pribadinya yang sebatas mengurus memandikan dan memakamkan jenazah almarhum, saja justeru tak mendapatkan peluang melaksanakannya.
Begitu pun hilangnya peluang untuk membuktikan kalau dirinya bisa menerima, memaklumi dan sekaligus mampu memenej kekecewaan menjadi hal berguna yang membuahkan kedamaian , ketenangan dan kebahagiaan. Bondan juga harus rela kehilangan peluang untuk membalas kebaikan ayahnya yang bagaimana pun konkritnya memperlakukan Bondan, tetap saja harus dihormati dan Bondan harus menganggapnya sebagai sosok yang bagaimana pun telah sangat berjasa, karena almarhum ayahnya sudah membesarkan putranya dengan cara dan dalam kondisi yang dihadapinya .
Ia pun benar-benar harus memaklumi, mengapa Sumirah, ibu tirinya, baru mengabarkan kematian ayahnya, setelah acara pemakaman dan bukan saat jenazah disemayamkan.
Bondan yakin, Sumirah bicara apa adanya dan memang begitu kondisinya. Artinya, Sumi rah yang sama sekali tak mengira suaminya me ninggal dunia, tak bisa berbuat banyak. Selain ka rena saat kejadian ia di rumah dan ayahnya se dang mengantar ibu tiri Bondan yang lain, saat peristiwa, juga ada yang memanfaatkan kesem patan dalam kesempitan.
Membuat pihak rumah sakit tak bisa me ngontak atau menghubungi keluarga korban, ka rena dompet semua penumpang sedan hilang. Ta ngan-tangan jahil yang tega memenggal orang yang dalam kondisi duka nestapa, membuat se mua korban kehilangan identitas. Kalau saja peristiwa tabrakan itu tak muncul di media cetak, Sumirah tak akan pernah tahu jika tak saja pak Sadewa yang wafat. Marina dan juga supir setia mereka, juga wafat.
Itu sebabnya, menurut Sumirah, ia tak bi sa berbuat banyak. Jangankan langung mengabar kan, membawa jenazah pulang untuk disemayam kan saja, Sumirah tak memiliki peluang. Saat dia datang ke rumah sakit, ketiga jenazah sudah siap dimakamkan. Sumirah hanya bisa meneteskan se senggukan. Akhirnya ia lebih memilih turut me ngantar jenazah ke pemakaman, timbang harus membawa pulang untuk disemayamkan, karena jenazah pak Sadewa, Marina dan supirnya, lebih pantas secepatnya dimakamkan timbang harus di bawa pulang ke rumah Sumirah untuk disema yamkan
Begitu pun untuk hal lainnya.
Bondan yakin, sekecil apapun tak akan datang dan tak akan menimpa dirinya jika bukan lantaran kehendak sang Khalik. Tapi lantaran telah diatur dan merupakah kehendak Illahi Rab bi, segala sesuatunya harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Ikhlas itu akan bermagma di jiwa, bila mau, bisa mengerti, bisa memahami dan sanggup menerima segala kehendak Sang Penga sih dan Penyayang,
Itu sebabnya Bondan tetap kuat, tegar dan ia sama sekali tidak shock
Dulu, berbagai peristiwa yang menimpa dirinya, selalu dianggap malapetaka. Bondan tak pernah bisa mengerti dan memahaminya. Malah, pernah mengira Tuhan tidak sayang padanya. Untuk itulah ia kecewa dan frustrasi. Larut da lam kekecewaan dan hanya melakukan hal yang dianggapnya menyenangkan.
Kini, Bondan yang pernah merasa kecewa dan frustrasi, justeru memahami mengapa semua bisa terjadi. Mengapa ia harus mengalami nasib malang dan mengapa semua yang datang dan menerpa dirinya, ia hadapi dan ia terima dengan lapang dada dan kebesaran jiwa.
Hikmah yang kemudian dapat ia petik dari sikapnya yang berubah total dan kedewasaannya yang mulai mengental, benar-benar dahsyat. Bondan sama sekali tak menyangka, jika ia sang at disayang ayahnya. Bondan baru tahu, jika ayahnya sangat memperhatikan. Tak mengira ji ka apapun yang dimiliki ayahnya – kecuali isteri, dijadikan sebagai milik Bondan.



Bersambung...............

Thursday, June 27, 2013

CERITA BERSAMBUNG (55)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH LIMA


Pada akhirnya, Sumirah benar-benar me rasakan betapa indahnya nikmat berdoa dan sela lu bersyukur pada Sang Khalik. Sumirah, kini sudah merasa lega dan ia bisa pasrah, karena te lah menyampaikan hal yang sebelumnya tak hanya tidak diketahui oleh Bondan. Tapi, juga hal lain yang tak sekedar untuk diketahui. Bon dan justeru harus mengapresiasi dengan sebaik baiknya. Bahkan, dengan kebijakan, kearifan dan kedewasaan berfikir, bersikap dan bertindak.
Dan, sejak segalanya diungkapkan, Su mirah hanya tinggal menunggu reaksi dan sekali gus apresiasi dari Bondan. Jika dari aspek perka winan ayahnya dengan dua wanita lain, dijadikan alasan kuat oleh Bondan untuk bersikap dan ber tindak tegas karena alasan itulah yang membuat diri nya menderita, dan atas penderitaannya selama ini, Bondan lantas ingin membalas sakit hatinya, tak seorang pun yang berhak mencegah Bondan untuk mengambil keputusan dalam bentuk apapun, meski dampaknya sangat tidak mengenakkan bagi Sumirah
Jika pun sebaliknya – dalam arti Bondan melupakan masa silam, dan akhirnya ia mengap resiasi soal warisan pak Sadewa yang semua dikhususkan untuknya dan untuk itu, Bondan yang diwasiatkan sebagai pemilik seluruh harta keka yaan pak Sadewa, bersikap arif dan bijak dalam mengambil keputusan, bukan berarti Sumi rah merasakan hal sebaliknya.
Bagi Sumirah, yang terpenting ia telah menjelaskan segalanya dan menyampaikan ama nah almarhum suaminya, Amanah paling penting yang harus ia sampaikan kepada Bondan, adalah target paling utama. Makanya setelah target dicapai, semua terasa melegakan Tak ada lagi beban. Selebihnya, benar-benar ia serahkan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dan keputusan serta kebijakan apapun yang setelah itu akan ditentukan oleh anak kan dung suaminya, yang oleh pak Sadewa ditempat kan sebagai akhli waris paling utama dan untuk itu, Bondan berhak atas berbagai jenis kekayaan milik pak Sadewa, Sumirah tak akan berusaha untuk mempengaruhi Bondan, agar dia diperha tikan dan anak-anaknya diberi bagian
Sumirah juga tak mau melakukan pro tes atau hal apapun. Sebab, jika hal itu ia laku kan, sama artinya ia bodoh. Mengapa? Jika ia protes, untuk apa ia melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Jelas tidak lucu, jika pasca penyampaian amanah, Sumirah malah protes karena merasa berhak atas kekayaan pak Sadewa.
Timbang setelah itu ia protes, kan jauh lebih baik amanah pak Sadewa ia selewengkan. Ia yakin, sangat mudah memanipulasi surat-surat berharga yang kesemuanya sudah ia serahkan dan kini sudah berada di tangan Bondan. Terlebih, saat ini, begitu banyak orang yang ber sedia membantu siapa pun – asal bayarannya sesuai dengan permintaan, meski harus melaku kan perbuatan yang melanggar hukum dunia dan hukum Allah
Tapi, buat apa jika malah mencelakakan dan hanya membuat jiwa yang tenang jadi nestapa. Jadi kehilangan magnit imani, yang selama ini melekat dengan begitu kuat dan dijaga sebaik-baiknya agar tidak cacat.
Sumirah yang sudah merasa sedemikian plong, merebahkan dirinya di kasur. Ia tatap kedua anaknya yang sudah sedemikian lelap dalam tidur. Setelah menciumi kedua anaknya, Sumirah yang selalu melakukan hal itu dikala anaknya sudah lelap dalam tidur, barulah Sumirah bangkit dan dari ranjang dan dia melangkah ke kamar mandi.
Sumirah yang meski pun merasa lelah, tetap bergegas berwudhu.
Dia berharap, malamnya habis untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik, yang teah memberinya kelapangan sehingga setelah bertemu dengan Bondan, dia merasa wajib bersyukur karena Sumirah yakin, yang dia dapatkan bisa terjadi karena izin dan pertolongan dariNYA.


Bersambung.......


Wednesday, June 26, 2013

CERITA BERSAMBUNG (54)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH EMPAT


Buktnya, Sumirah segera berdiri dari du duknya. Ia lebih dahulu melangkah ke luar rumah. Sumirah juga bertekad, dirinya tak saja ingin membuktikan siap menemani dan meman du Bondan ke pemakaman agar di sana tidak kesulitan mencari makam pak Sadewa. Tapi, juga siap menjelaskan berbagai hal dengan trans paran. Tentu saja tanpa keinginan memanfaat kan situasi untuk menggunting dalam lipatan
Artinya, jika sepanjang jalan pergi ke ma kam pak Sadewa, atau sekembalinya dari sana, ada momen yang baik untuk menjelaskan, Sumi rah akan segera memanfaatkan dengan sebaik-ba iknya. Sumirah akan bicara apa adanya. Dari A sampai Z.
Alhamdulillah.
Apa yang diinginkan Sumirah, terkabul. Saat kemacetan lalu lintas di Jakarta seperti ingin menghambat kepergian Bondan, saat itulah, Su mirah yang belum berani membuka pembicaraan karena merasa belum melihat dan belum punya peluang untuk menangkap momen yang pas, mendengar Bondan yang sejak berangkat dari rumah belum bersuara sepatah kata pun, setelah mengover kovling dan ngerem kendaraan yang dibawanya, bersuara
“ Dulu, saya sempat membenci ayah. Ta pi, kemudian saya sadar, yang terjadi adalah sebu ah lakon kehidupan yang harus dimengerti dan di pahami dengan sebaik-baiknya.
Kesiapan menerima semua yang terjadi de ngan terbuka dan dengan lapang dada, membuat saya sadar, percuma saya membenci. Untuk itu lah, saya hapus kebencian pada ayah, memaaf kan jika beliau bersalah pada anaknya, lalu meng ganti kebencian pada almarhum dengan berusaha untuk tetap menghormati karena bagaimana pun beliau adalah ayah saya.
Saya merasa lega. Karena sudah memaaf kan beliau sebelum wafat, dan saya lebih siap me nikmati kehidupan pribadi saya timbang berku tat dengan masalah yang bisa saja tak akan per nah kunjung selesai“
“Duh, Tuhan. Engkau memang segala nya. Kau telah membuka pintu hati putra suami ku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah mengabulkan doaku.”
Sumirah serasa ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
Sumirah juga menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
Itu sebabnya, Sumirah lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
“ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali apa adanya.
Sumirah tahu, Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
“ Ya, secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
Bondan spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal wanita sholehah
Sumirah yang di saat bersamaan sedang menatap ke arah Bondan, sangat tak menyangka jika perkataannya membuat Bondan menoleh se ketika dengan tatapan yang membuatnya terpera ngah. Meski Sumirah tahu, di dalamnya tak ada muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat Sumirah tak luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak. Mengingatkan Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga ayah kandung Bondan.
Untung Sumirah yang menyadari situasi tak ingin momen yang paling diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk menjinakkan hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak mengapresiasinya dengan keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah kuatir ia akan kehilangan peluang yang paling ditunggu.
Meski awalnya kendala terasa menyulitkan dan membuat Sumirah harus bersikap hati-hati, agar yang sudah direncanakan tidak beranta kan, ujung-ujungnya, yang kemudian dirasakan Sumirah adalah kemudahan.
Sumirah akhirnya mendapat peluang dan ia bisa menjelaskan berbagai hal yang perlu dije laskan. Sumirah yang leluasa mengungkap per masalahan -- yang boleh jadi membuat Bondan merasa pengap karena sejauh ini Bondan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal yang menimpa keluarga mereka, bisa terjadi, me narik nafas lega .


Bersambung.....


Sunday, June 23, 2013

CERITA BERSAMBUNG (53)

MASIH ADA JALAN
oleh :Oesman Doblank


LIMA PULUH TIGA

“Saya lebih suka dipanggil bu. Sebab, saya isteri pak Sadewa. Tapi, terserah Bondan mau memanggil saya dengan sebutan apa. Yang jelas, saya datang bukan sebatas ingin mengabarkan tentang berita duka. Tapi, juga ingin membiarakan banyak hal. Saya akan menjelaskan semua, jika memang diberi kesempatan untuk melakukannya “
Bondan menarik nafas. Memandang sesaat ke Sumirah. Tanpa bermaksud menikmati paras cantik Sumirah, yang meski tertutup rapat namun siapapun akan mengatakan kalau Sumirah cantik. Sebagai wanita, sangat wajahnya dibalut kerudung, me mang sangat menawan, untuk maksud yang tidak baik. Bondan sadar, wanita cantik di depan mata nya, meski masih terbilang muda dan penuh peso na, adalah isteri ayahnya.
“ Bagaimana kalau ibu duduk dulu,” kata Bondan, yang mulai nampak tenang dan kuat..
Bondan sudah tidak gugup lagi. Pipinya pun sudah kering dari air mata yang sempat mem basahi pipinya. Bondan sudah menyeka air mata duka. Dan, Bondan yang sudah melihat Sumirah, ibu tirinya, duduk di sofa sambil sesekali mena tap ke arah Bondan, kembali bersuara
“Saat ini, saya hanya ingin melakukan sa tu hal, pergi berkunjung ke makam ayah. Jika ibu bersedia mengantar, terima kasih. Tapi, jika ibu lelah atau tidak bersedia karena hal lain, tolong berikan alamat makam tempat ayah saya dikebu mikan, karena saya ingin secepatnya ke sana“
Sumirah sadar, ia tidak boleh kecewa karena Bondan yang ingin diajaknya membicarakan masalaj keluarga, malah minta alamat dan akan ziarah ke makam ayahnya. Berarti Sumirah harus bersa bar. Namun, Sumirah yang belum melihat peluang untuk menjelaskan permasalahan.tetap yakin, ia akan memperoleh kesempatan untuk menjelaskan permasalahan dan semua hal yang perlu dia ungkapkan agar Bondan mengerti dan memahami semuanya.
Selain agar Bondan tidak lagi berteka-teki, mengapa ayahnya menikah lagi dengan Sumirah dan seorang wanita lainnya yang sudah wafat beberapa hari silam bersama pak Sadewa, juga agar bisa menyelesaikan permasalahan yang harus siap dihadapi oleh keluarga pak Sadewa, pasca wafatnya beliau akibat kecelakaan lalu lintas
Banyak yang akan dijelaskan, tapi harus menanti dengan sabar, memang membuat Sumi rah harus menghadapinya dengan hati berdebar. Dikatakan demikian, karena kesempatan untuk menjelaskan, bisa saja malah tidak diperolehnya. Dan jika hal itu yang terjadi, Sumirah belum da pat menentukan apa yang harus dilakukan, agar tetap dapat peluang untuk menjelaskan.
Dan Sumirah yang mau tak mau harus memilih lebih baik bersabar, segera memberita nama, alamat pemakaman dan sekaligus letak makam pak Sadewa yang telah beristirahat deng an tenang di tempat peristirahatan terakhirnya
“Jika memang Bondan butuh teman, Ibu bersedia kok, mengantarkan, “ tambah Sumirah
“Tapi, hanya jika ibu tidak lelah. Jika ca pek, silahkan istirahat dan nanti kita bicara pan jang lebar “
“ Ibu memang perlu istirahat. Tapi, bukan berarti lelah,” jawab Sumirah
Ibu tiri Bondan, tak sekedar mem perlihat kan semangat menemani Bondan pergi ke pema kaman, tapi juga memperlihatkan sikapnya yang diwarnai keikhlasan. .


Bersambung...........


CERITA BERSAMBUNG (52)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH DUA


Setelah menyeka air mata di sudut matanya, Sumirah kembali meneruskan kalimatnya
“Mestinya, kabar itu saya sampaikan ketika bapak wafat atau sebelum dimakamkan. Hanya, tak mungkin saya lakukan, karena saya sendiri baru tahu kalau bapak sudah pergi menjelang almarhum dikebumikan.
Ssetelah mendapat kabar dari rumah sakit, saya tak tak tahu harus berbuat apa. Sebab, pihak rumah sakit yang baru bisa menghubungi saya, menjelaskan, jenazah bapak sudah akan di makamkan, setelah dua hari disemayamkan dan pihak rumah sakit sebelumnya tak tahu kemana harus mengabarkan.
Apa sebab dan mengapa bisa terjadi se perti itu, baru saya ketahui setelah saya tiba di sana. Mereka menjelaskan, tak menemukan tanda pengenal korban. Saya yakin, dokumen bapak seperti ktp dan sim, tak mungkin tertinggal. Lebih mungkin diambil orang saat terjadi kecelakaan, “ tutur Sumirah, meski membiarkan air matanya menetes, tapi berusaha untuk tidak menangis, meski akhirnya ia tetap sesenggukan..
Dan, Sumirah tak mampu lagi menjelaskan lebih banyak, karena setelah itu ia terkulai lemas. Sumirah hanya bisa pasrah. Semisal Bondan menuding ia sengaja tidak mengabarkan karena punya maksud tertentu, Sumirah tak akan tersinggung atau marah. Ia ikhlas, karena tak salah jika Bondan yang sangat kecewa, berpendapat dan lalu dengan kesal atau sambil marah, menilai dirinya sebagai wanita brengsek, yang setelah merebut ayahnya, malah tak segera mengabarkan tentang ayahnya yang telah meninggal dunia
Tapi, sama sekali Sumirah tak menyangka, jika Bondan, yang mendengar dan menyimak penjelasan Sumirah, tak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Malah, melihat Sumirah lunglai, Bondan memanggil Mbok Sinem dan ia meminta tolong kepada mbok Sinem agar mengambilkan obat gosok atau minyak kayu putih
Begitu telatennya Bondan menggosok-gosokkan minyak kayu putih di atas bibir Sumirah. Apa yang dilakukan Bondan, membuat Sumirah yang sesungguhnya sedang dalam keadaan shock, membuat Sumirah tenang dan ia menjadi kuat nenangkannya. karena kepergiaan pak Sadewa yang terjadi dengan begitu saja sangat mengejutkannya, ditinggal pergi oleh pak Sadewa poermukaan membantu Su mirah agar ibu tirinya yang nampak begitu lemas karena keletihan, tidak lantas pingsan
Kenyataan yang nampak begitu jelas di pelupuk mata Sumirah, benar-benar di luar duga annya. Jadinya, tak saja membuat Sumirah lega. Tapi sekaligus membuatnya leluasa untuk bicara banyak hal. Sumirah mencoba memanfaatkan pe luang yang dianggapnya sangat terbuka. Tujuan Sumirah bukan untuk mengambil hati atau mera ih simpati. Sebatas menjelaskan dan berharap Bondan mengerti dan memahami apa yang se sungguhnya telah terjadi.
Boleh jadi, sampai saat ini Bondan masih membenci, tak saja pada ayahnya. Tapi juga membenci dirinya, atas tudingan merebut pak Sadewa dari sisi ibu Bondan. Juga boleh jadi, Bondan pun tidak simpatik pada isteri ketiga ayahnya yang telah tewas bersama pak Sadewa, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, beberapa hari silam.
“Di mana bapak dimakamkan, tante…eh, maksud saya, bu ?” tanya Bondan, yang tak bisa menyembunyikan kegugupan, karena ia memang baru pertama kali bertemu dan belum tahu, harus memanggil apa pada Sumirah.
Terlebih usia Sumirah, ibu tirinya hanya bertaut sekitar lima tahunan, dengan Bondan. Jadi, bisa dimaklumi jika Bondan gugup.




Bersambung.......

Friday, June 21, 2013

CERITA BERSAMBUNG (51)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH SATU


Si mbok Sinem, jadi lega. Karena Bondan tak menyalahkannya. Ia segera membantu mengangkat tubuh Bondan, yang masih dalam kondusi lunglai.
“ Den, ayo bangun, den. Temui isteri bapak den Bondan. Beliau menunggu sejak tadi pagi, den. Bersama kedua anaknya “
“ Jadi..isteri bapak saya ada di dalam, mbok?”
Mbok Sinem mengangguk. Ia lalu memapah Bondan, ke dalam rumah. Membawanya ke ruang keluarga. Di sana, isteri pak Sadewa, yang tengah duduk bersama duka, yang pipinya masih sembab, melihat mbok Sinem. Ia berdiri. Menatap mbok Sinem yang memapah Bondan, anak tirinya. Memang Sumirah, terlihat sangat kikuk. Tapi, sesaat kemudian, ia menghampiri Bondan, yang menatapnya dengan pandangan lesu.
Bondan menjawab ucapan salam ibu tirinya, yang tubuhnya tertutup rapat karena dia mengenakan busana muslim. Jilbabnya, panjang, sampai ke pinggul.
Tanpa ragu, Sumirah yang menguatkan diri, yang sudah berani datang ke rumah putra suaminya, menghampiri anak tirinya dan menyalami putra suaminya, Bondan.
Sumirah tak menyangka, jika Bondan tak hanya meraih tangannya. Tapi, juga mencium tangannya dengan takzim.
“Maafkan saya…saya tak mengurus pemakaman bapak, “ kata Bondan, sambil melepas genggaman tangan Sumirah
“ Saya yang harus berminat meminta maaf. Sebab, baru bisa datang, baru bisa menyam paikan kabar duka. Mestinya, tidak seperti ini. Hanya, saya sendiri tak tahu harus berbuat apa, ketika semua terjadi dengan begitu saja.
Saat kejadian, saya sedang di rumah. Sehari sebelumnya, bapak memang pamit dan pergi bersama supir, karena ditelpon oleh isterinya yang lain, dan bapak diminta untuk mengantarnya ke rumah sakit karena usia kandungannya yang sudah lebih dari sembilan bulan, sangat butuh perhatian bapak. Alasan itulah, bapak yang mestinya memenuhi jadwal bersama saya di rumah, bergegas meninggalkan rumah.
Saya hanya berpikir tak akan terjadi apa pun. Toh, mengantar isteri yang akan melahirkan merupakan hal yang lazim. Hal yang tak akan pernah terpikir oleh siapa pun, kalau dalam perjalanan ke rumah akit selalu ada resiko yang harus siap ditanggung, yaitu risiko kedatangan maut. Nyatanya, dalam perjalanan itulah, hal yang tak pernah diperkirakan terjadi, dan…,” Sumirah, yang berusaha menjelaskan dengan gamblang mengapa ia baru sempat datang pagi ini dan baru bisa mengabarkan langsung kepada Bondan, terdiam sejenak.


Bersambung.......



Thursday, June 20, 2013

CERITA BERSAMBUNG (50)


MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH




                (10)


            MBOK Sinem menyambut Bondan de ngan isak tangis. Bondan mengira, ia kecewa de ngan menantunya, yang malah tak mau diajak tinggal bersama mbok Sinem, di rumah Bondan, meski gratis. Malah sekalian bisa ikut kerja deng an gaji yang jumlahnya lumayan.
            “ Si mbok, kok kayak anak kecil ? Kalau menantu si mbok tidak bersedia tinggal di sini, kan, no problem, mbok. Tokh, kita bisa cari yang lain. Siapa orangnya, terserah si mbok. Yang pen ting, cocok sama si mbok “
           “Ndoro Sadewa, den. Ndoro, Sade wa...Huhuhu “
           “ Ooh, bapak datang ? Ngirim duit, ya mbok? Asyiiik. Sekarang saya tahu, si mbok ter haru karena sebentar lagi dapat tips dari saya? Iya, kan? Hahahaha, Mbok..mbok..mau dapat tips, kok, malah sesenggukan. Mestinya, si mbok bersyukur pada Allah. Lalu, tersenyum. Mau ngakan seperti saya, juga nggak bakal saya larang, kok Mbok . Hahahahahaha”
           Mbok Sinem bukan tidak kesal. Tapi, kare na sangat hafal siapa dan bagaimana Bondan, ke kesalan mbok Sinem hanya dimakamkan di hati nya. Yang kemudian dilakukan mbok Sinem, se telah melupakan kesalnya, berusaha untuk me nyampaikan kabar duka. Meski mbok Sinem me rasa kesulitan menyampaikan, toh, bisa juga mbok Sinem berkata.
       “Ayah aden…ndoro Sadewa…wafat, den. Meninggal…”
       Bondan sungguh sangat terkejut. Ia tak percaya, kalimat si mbok yang terucap dengan terbata-bata, merupakan berita duka.
       “Apa mbok bilang ?” Tanya Bondan, yang tanpa sadar, meraih bahu si mbok, dan dengan reflek mengguncang tubuh pembantunya        
       “Ayah den Bondan meninggal,” sahut si Mbok dengan suara lemah
            “Apa? Bapak saya…meninggal ? “
            “ Iya, den. Dalam kecelakaan lalu lintas “
            “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun…”
            Bondan melepaskan kedua tangannya da ri bahu si mbok. Ia terkulai. Tersungkur ke bumi. Tubuhnya  lemas. Bondan lalu seperti anak kecil, ia tak cuma sekedar kelihatan menangis. Tapi,  meraung raung. Meletupkan kesedihan ditinggal bapak
            “Huhuhuhuhuhuhuuuhuu, Ya Allah, Tu hanku Yang Maha Pengampun,  maafkan bapak saya. Jika bapak saya berdosa karena menelan tarkan saya, ampuni beliau, Tuhan. Ampuni ba pak  saya, Tuhan. Saya ikhlas. Saya rela…saya memaafkannya. Bapak, semoga Tuhan mengam puni semua dosa-dosa bapak, baik yang sengaja atau tidak disengaja. Baik dosa bapak yang nyata maupun dosa bapak yang tersembunyi dari manu sia…huhuhuhu
           Mbok… kapan terjadinya, mbok. Mana je nazah bapak saya, mbok. Saya ingin memandi kan jenazah bapak, mbok ”
Mbok Sinem menghampiri Bondan. Ia merunduk. Maraih kedua bahu Bondan.
             “ Ndoro meninggal dua hari lalu, den. Jenazahnya, dimakamkan kemarin pagi. Si mbok baru dapat kabar hari ini. Tadi pagi, isteri Ndoro datang. Si Mbok  tidak tahu kemana harus meng hubungi aden. “
             Bondan tertegun. 
             Tapi, sesaat berselang ia kelihatan beru saha untuk bersikap tetang. Informasi dari si mbok Sinem yang begitu singkat, dianggap seba gai info yang padat.  Membuat Bondan  maklum dan Bondan ikhlas mendapatkan kenyataan tidak bisa ikut memandikan jenazah ayahnya yang te lah dikebumikan, seperti yang dikatakan mbok Sinem.
            “Maafkan saya, mbok. Saya memang sa lah. Saya menyesal karena sejak Tari menikah, saya jadi malas membawa hape  “





Bersambung…………..