Monday, August 12, 2013

ADA CERITA (9)

NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank


SEMBILAN



   “ Kenapa kamu malah cemberut seperti itu?” tanya pak Karim.
   “Iyaa, Mir..mestinya kamu tuh senang. Batal sama si Marwan, kan kamu bisa cari lelaki lain yang wataknya sehaluan dengan ayah kamu. Kalau malah nggak senang pernikahannya diramaikan oleh pesta yang meriah, apa kata dunia?”
   Mirna, malah meninggalkan kedua orangtuanya dan masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.
   “Kok Mirna jadi berubah aneh seperti itu?” Tanya pak Karim
   “Mana aku tahu?” jawab Bu Karim
   “ Kalau aku tidak tahu dan ibu juga tidak tahu, lalu bagaimana caranya agar kita bisa tahu?”
   “Pak ibu jelas kepingin tahu. Hanya, bagaimana caranya, ibu sendiri, mana tahu?” sahut bu Karim sembari mengangkat kedua tangan dan mengangkat bahu
    Pak Karim termangu. Ia heran mengapa Mirna, putrinya, kok, mendadak jadi sontoloyo seperti itu. Seolah ia sudah tahu dan mengerti, hasil pembicaraan ayahnya dengan Marwan tak beda dengan kondisi lalu lintas di ibukota, yang tingkat kemacetannya sudah sangat memusingkan kepala setiap orang yang tengah berada di jalan raya.


                                                                       ooooooooooooo



                                                                                (2)



PAK dan bu Karim pikir, apa yang baru saja terjadi atawa kebuntuan perundingan tentang pesta pernikahan yang macet total, tak membuahkan akibat apapun. Soalnya, sehari dua setelah semua berlalu, tak ada tanda-tanda yang bisa membuat kening licin berubah jadi berkerut.
Semua biasa saja. Sebiasa awan biru yang tak berubah jadi hitam jika tak mendung
Saat diajak bicara dengan ayah ibunya, Mirna memang sempat cemberut dan nyaris membuat orangtuanya kalang kabut. Tapi sehari setelah itu - bahkan,   esok dan lusanya, Mirna sudah leluasa dan lebih banyak mengurai senyum.Kenyataan yang menggembirakan pak dan bu Karim. Mereka tak hanya merasa bisa tidur nyenyak. Makan dan minum pun dirasakan sangat nikmat, apalagi sang isteri selalu memasak rendang kesukaan suami
Pak dan bu Karim tentu saja lega.
Tapi di hari berikutnya,  bu Karim yang pagi sekitar pukul delapan masuk ke kamar  Mirna dan bermaksud mengajaknya sarapan karena puterinya belum juga muncul ke ruang makan, dia kontan tercekat.
Wajahnya langsung pucat dan pikirannya jadi tidak keruan.
Bagaimana mungkin wajah bu Karim bisa seriang seperti mendapat amplop gaji dari sang suami, jika sesampai di kamar, yang ditemui bukan putri tercinta, melainkan secarik kertas yang sepertinya sengaja diletakkan di ranjang Mirna.
           Jika kertas itu dalam keadaan aslinya atau semulus warna putih kertas yang biasa bu Karim lihat, boleh jadi tak membuat bu Karim kaget. Bu Karim tercekat, kaget dan pikirannya menjadi tidak keruan, karena kertas itu berisi tulisan yang selama ini belum pernah bu Karim baca. Tulisan yang dibuat Mirna bukan permintaan uang untuk piknik ke Bali atau untuk shoping ke mall. Tapi, ekpresi kekecewaan Mirna

Ayah dan ibu yang kusayang….
Di kertas ini, Mirna hanya ingin mengatakan. Semisal bang Marwan tidak jadi melamar dan akhirnya Mirna harus berpisah dengan kekasih tercinta, biarlah Mirna pergi saja dari dunia.
Mirna sekarang pergi ke sebuah tempat untuk menenangkan diri. Jika minggu depan Mirna kembali, dan belum juga ada kepastian kapan Mirna dinikahi…percayalah…Mirna lebih baik mati.
Mirna yakin, melompat dari lantai paling tinggi sebuah mall di kawasan Jakarta, adalah jalan terbaik yang mau tak mau harus Mirna pilih. Terlebih, saat ini melompat dari ketinggian sebuah mall sedang trendy


Wassalam,



Mirna

Usai membaca isi surat yang ditulis oleh anaknya, Bu Karim tak ingat lagi soal Jakarta Fair atau indahnya Bali. Yang langsung melintas di pikirannya cuma bagaimana kalau putrinya benar-benar membuktiksn apa yang diungkapkan di kertas dan baru saja dibaca oleh bu Karim










Bersambung....






Wednesday, August 7, 2013

ADA CERITA ( 8)

NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank

DELAPAN


     Siapa sih yang nggak kesal mendengar jawaban seperti itu? Padahal, boleh jadi, Marwan tahu kalau yang diajak ngobrol – setidaknya sudah layak dianggap sebagai calon mantu.
     Hanya, meski kesal, bu Karim sempat mengapresiasi dengan positif karena setelah itu keluar juga kalimat dari Marwan yang dianggap oleh bu Karim sebagai pertanyaan yang membuat dirinya terobati.
     “ Memangnya ibu suka dan mau martabak?”
     Tanpa mau basa basi meski biasanya suka dengan basa basi, Bu Karim yang penuh harap mengikuti gaya MArwan yang sudah menawarkan soal martabak.
    “Memangnya nak Marwan mau membelikan martabak untuk ibu?”
    “ Kalau memang ibu mau martabak, beli sendiri saja, bu. Atau minta saja sama Bapak agar mengantarkan ibu untuk beli martabak kesukaan ibu. Percayalah bu, saya nggak akan minta kok, bu”
    Mendengar jawaban seperti itu, hati calon mertua mana sih yang nggak jengkel atau bebas dari rasa kesal?.
    Cuma, bu Karim akhirnya sadar kalau Marwan  memang bukan tipikal calon mantu yang bisa dibegini atau dibegitukan. Makanya, timbang kesalnya memuncak, bu Karim memilih untuk mengambil keputusan tidak lagi menyoal atau berbincang tentang martabak. Ia yang waktu itu kesal, hanya bergegas masuk ke kamar.
     Mau tumpahkan kesal, sang putri kesayangannya yang sejak kecil tidak pernah diperkenankan untuk sibuk di dapur, di saat bersamaan muncul. Ia memilih masuk ke kamar, karena tak ingin Mirna tahu kalau ia kesal dengan kekasih anaknya, yang ngeyel dan dianggap terlalu blak-blakan.
    “Terus, kelanjutannya bagaimana, pak?” Tanya Bu Karim, yang tentu saja berpura-pura kecewa dan sekaligus kuatir, meski  sebenarnya sangat berharap agar Marwan tidak melanjutkan hubungannya dengan Mirna.
   “Kalau aku sih, terserah dia saja. Serius pasrah,. Tapi jika tidak serius, yaa, Alhamdulillah. “
   “Kok bapak bicara seperti itu, sih?” Bu Karim yang senang mendengar jawaban suaminya, semakin kepingin untuk tetap berpura-pura kuatir. Padahal, kabar itulah yang paling diharapkan
   “Habis aku mau bagaimana lagi? Dia itu, maunya nikah tanpa pesta. Sedangkan aku sama ibu, maunya kan pernikahan anak kita diwarnai dengan pesta yang meriah. Yang mengundang decak kagum para tamu, dan juga mendatangkan keuntungan bagi kita “
  “Kalau  memang alasannya seperti itu, nggak salah, kan, pak jika saya bersikap senada dengan bapak,” kata bu Karim yang memanfaatkan situasi untuk memancing di air keruh
  “Sangat tidak salah. Sikap itu justeru sangat benar, bu. Kita harus sepakat. Hanya, kita harus tahu sikap anak kita,” sahut sang suami yang tidak ngeh kalau isterinya hanya berpura pura
   Mereka kemudian sepakat untuk mendiskusikan langsung dan secepatnya dengan Mirna. Keduanya juga sepakat, untuk mempengaruhi Mirna agar putrinya tidak kecewa dengan sikap Marwan yang nyeleneh dan jika tahap awal berhasil, mereka akan membujuk agar Mirna lebih baik memilih untuk melupakan Marwan selamanya. Bukankah begitu banyak cowok yang bertebaran di muka bumi yang lebih layak dipilih untuk dijadikan suami?
   Hanya, apa yang mereka perkirakan, tidak sama dengan kenyataan. Begitu mendengar penjelasan ayah ibunya, Mirna malah langsung menerbitkan reaksi kecewa. Sang putri yang cantik langsung menyambut kabar dari orangtuanya dengan menyetel wajah cembetut.








Bersambung…….


Tuesday, August 6, 2013

ADA CERITA (7)

NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank

TUJUH


    Sebenarnya, Pak Karim yang saat ditinggalkan oleh Marwan hanya bisa ternganga, sangat  ingin memanggil Marwan dan meminta agar dia kembali dan tetap duduk bersama untuk melanjutkan perundingan. Tapi, entah mengapa pak Karim justeru tak bisa melakukannya. Mulut pak Karim  seperti terkunci atau boleh jadi ada yang mengunci.
    Pak Karim yang  hanya bisa memandang sosok calon menantunya yang tak lama kemudian menghilang, seperti menyesali kebodohannya karena tak mampu meminta Marwan untuk tetap duduk bersamanya dalam perundingan.
     Dengan langkah gontai, pak Karim hanya bisa kembali ke kamar.
    Meski ragu, pak Karim tetap mengabarkan hasil pembicaraan dengan sang calon menantu ke isterinya. Bu Karim bukan tidak kaget. Namun, ia justeru merasa sangat senang, karena kabar yang baru saja dikatakan oleh  suaminya, memang sangat diharapkan.
     Sebab, yang diinginkan Bu Karim, putrinya, Mirna, tidak menikah dengan Marwan. Soalnya, Bu Karim sudah terlanjur yakin kalau dirinya tidak akan bisa menerima kehadiran Marwan dan dia sudah lebih dahulu menyimpulkan tidak akan pernah bisa dekat dengan calon mantunya yang dinilainya sok idealis, sok berprinsip dan kenyelenehan Marwan juga menjengkelkan.
    Maklum, bu Karim prototipe manusia yang lebih suka basa-basi. Sedangkan Marwan, malah lebih suka mengatakan apa adanya. Bahkan, sangat blak-blakan. Maunya selalu to the point. Menurut bu Karim, orang seperti Marwan, menyebalkan. Sebab, selama kenal dengan Marwan, tak pernah sekalipun anak muda itu memuji bu Karim. Baik saat dirinya tampil dengan dandanan cantik, maupun ketika bu Karim mengatakan kalau dia berasal dari keluarga terhormat karena orangtuanya termasuk salah satu dari sekian banyak orang kaya di kampungnya.
    Karakter Marwan yang ceplas ceplos lebih sering membuat bu Karim malah sebal.  
    Bukan tanpa alasan.
    Setelah Mirna mengenalkannya, bu Karim pernah sengaja berbincang dengan Marwan. Saat itu, Marwan datang dengan lenggang kangkung. Bu Karim sedang ingin martabak. Bu Karim pikir, Marwan yang meletakkan ransel dan membukanya, akan mengambil martabak kegemarannya. Gak taunya, dengan gaya yang begitu santai, Marwan malah mengeluarkan kamera dan membersihkan peralatan kerjanya. Tanpa bilang,” Maaf lhoo bu kalau mengganggu”
     Padahal, begitu bu Karim tahu apa yang diambil dan kemudian dilakukan Marwan, beliau memberi isyarat ingin dibelikan martabak dengan mengatakan:
     “Waaah, ibu kira mengeluarkan martabak. Gak taunya, yang muncul kamera,” kata bu Karim, yang meski kesal tapi mampu berakting dengan dayanya yang  sok ngajak bercanda.
     Bu Karim, yang sebenarnya kecewa tapi membalut kekecewaannya dengan gaya canda, makin merasa kecewa saat Marwan – dengan begitu tenang, mengatakan:.
     “Bu..martabak tuh harganya murah. Kalau kamera ini saya jual, dan saya belikan martabak, yang kebagian bukan cuma se-erte, bu. Tapi, se-erwe.”









Bersambung………

Monday, August 5, 2013

ADA CERITA (6)

NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank


ENAM


   Karena Marwan seperti mendesak atau ingin mendapat jawaban, Pak Karim tak lagi berpikir panjang. Merasa terpaksa, pak Karim  menjawab apa adanya
   “Yaa, saya memang bingung. Soalnya, saya belum tahu kapan tepatnya anak saya harus kamu lamar. Tapi, bukan berarti saya tidak senang, “ ujar Pak Karim
   “ Saya justeru senang karena memang menanti kesungguhan dari kamu,” tambah pak Karim
    “Syukur kalau bapak senang. Hanya, saya baru akan melamar jika bapak menyetujui dua hal yang akan saya ajukan kepada bapak,” Marwan langsung menanggapi
    “Lhoo, kenapa malah kamu yang harus ajukan syarat. Mestinya, kan saya yang berhak mengajukan syarat, “ protes pak Karim
   “Saya tidak keberatan jika bapak memang ingin mengajukan persyaratan. Dan, apa salahnya jika kita saling mengajukan persayaratan “
   “Saya setuju. Itu namanya, kita saling menghargai hak orang lain dan menjunjung tinggi azas kesama-rataan.. Karena saya setuju, silahkan kamu jelaskkapa syarat yang akan kamu ajukan “
    Marwan tak mau lagi membuang waktu. Ia berpikir harus memanfaatkan peluang yang ada di pelupuk mata dengan sebaik baiknya. Makanya, tanpa ragu, Marwan segera mengemukakan dua permintaan. Pertama, kata Marwan, ia akan melamar secara resmi sebulan ke depan dan ia tak ingin ada jawaban lebih baik dipercepat atau malah lebih baik diundur. Untuk hal kedua, Marwan menegaskan, jika memang pak Karim rela menikahkan anaknya dengan Marwan, pak Karim harus rela jika saat pernikahan berlangsung, yang menonjol hanya acara akad nikah. Bukan acara resepsi pernikahan
    “Tanpa pesta?” Potong pak Karim yang spontan  tercengang.
    “Pak…bukan tanpa pesta. Tapi, tanpa semangat foya-foya. Soalnya, yang mau menikah itu saya dengan Mirna. Sedangkan bapak, hanya mengijinkan dan menikahkan. Jadi, jika bapak setuju, bulan depan saya akan melamar dan saat pernikahan saya tak ingin ada pesta yang hanya menghamburkan uang dan hanya membuat kita semua lelah.
    Jika bapak tidak setuju, saya tidak akan melamar dan ikhlas untuk tidak menikah dengan Mirna”
    Syarat yang diinginkan Marwan,  membuat pak Karim tak hanya kelabakan. Beliau kesal setengah mati, karena syarat dari Marwan benar benar bertolak belakang dengan syarat yang ingin dia sampaikan. Syarat dari pak Karim justeru sebaliknya. Sebab, pak Karim sudah merancang, saat pernikahan putrinya, suasana pesta justeru sangat meriah.
    “Tidak bisa. Saya sama sekali tidak setuju”
    “Yaa, sudah. Jika memang bapak tidak setuju, apa boleh buat, Saya rela, kok, tidak jadi berumah tangga dengan Mirna. “
    Brengseknya, setelah itu, Marwan tak memberi ruang untuk meneruskan dialog. Tanpa peduli pada kekesalan pak Karim, Marwan langsung pamit. Pak Karim bukan tak ingin mencegah. Tapi, sinyeleneh Marwan, setelah bilang permisi malah dengan cepat meraih tangan pak Karim dan mencium dengan khidmad. Setelah itu, Marwan bergegas meninggalkan ruang tamu rumah pak Karim.









Bersambung……..

Sunday, August 4, 2013

ADA CERITA (5)

NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank


LIMA



         “Baru permukaannya saja, kamu sudah bikin saya kesal.  Kalau sampai ke dalam, saya yakin, kamu hanya membuat saya stress “
         “Waaah, ini namanya fitnah, pak. Sumpah, saya datang untuk kompromi dan sama sekali tak membawa niat untuk membuat bapak stress. Saya tidak segila yang bapak kira”
        “Kalau memang betul begitu, kenapa kamu malah seperti berniat untuk menjegal ide dan semangat saya ?”
        “Waaah, ini juga fitnah, pak? Kapan saya punya niat menjegal ide dan semangat bapak?”
        “Tadi, kamu kan bilang, ide dan semangat saya hanya menghasilkan hal mubazir “
       “Kalau yang bapak maksud tentang pesta besar-besaran untuk pernikahan saya, pendapat saya memang seperti itu, pak. Tapi, bukan berarti bisa saya jadikan alat untuk menjegal ide dan semangat bapak ?”
      “Jadi, kamu setuju dengan ide saya?”
      “Yaa, setuju saja. Toh itu ide bapak, dan bukan ide saya, kan ?”
     “Memang ini soal ide saya. Saya tentu saja harus bersyukur jika kamu setuju “
     “Jika bapak mau bersyukur, buat apa bilang bilang sama saya? Itu kan urusan pribadi bapak dengan Tuhan? Tapi, saya bersyukur jika bapak memang selalu bersyukur pada Tuhan
    Dengan begitu, saya jadi yakin, kalau calon mertua saya adalah sosok seorang hamba yang tak pernah melupakan Sang Pencipta “
    “Kamu kok jadi menceramahi saya?”
    “Pak…tolong jangan salah tafsir, pak. Kita sedang di rumah dan bukan di mesjid. Tempat yang paling tepat buat ceramah itu, yaa.. di mesjid , pak. Di sini, kan kita sedang bicara soal pernikahan saya dengan Mirna, putrid bapak”
    Bapak setuju, kan, kalau nanti sebelum  menikahi anak bapak, saya harus terlebih dahulu melamarnya?”
    “Kamu tuh, nggak bisa apa kalau tidak nyeleneh terhadap calon mertua?”
    Melihat tensi calon sang mertuanya mulai meninggi, Komeng memilih diam. Ia memilih meraih gelas berisi tee manis. Setelah mereguk teh manis dan setelah meletakkan gelas yang separuh isinya baru saja ia seruput, Komeng menyandarkan kepalanya di sofa. Ia berusaha untuk tidak menimpali kalimat yang baru saja terungkap dari bibir calon mertuanya
     “Memangnya siapa yang kamu suruh diam?” Tandas pak Karim, yang malah tambah kesal, setelah beberapa saat, Marwan yang terdiam tak juga mau bicara.
     “Nanti bapak kira saya nyeleneh?”
     “Makanya kamu jangan nyeleneh”
     “Pak…sekarang begini saja. Kapan tepatnya saya harus melamar anak bapak?”
     Pak Karim tak menyangka jika dirinya harus tersedak. Bukan karena Marwan mengalihkan fokus masalah. Tapi, isi pertanyaan yang baru diungkapkan Marwan, membuat pak Karim merasa surprise. Sebenarnya, pak Karim yang sudah berkonsultasi, memang ingin membicarakan secara khusus masalah ini.

     “Lhooo, bapak bilang saya tak boleh diam. Giliran saya bicara, bapak malah kelihatan bingung. Padahal, saya tanya soal kapan saya harus melamar anak bapak ?“ Marwan kembali memperlihatkan kesungguhannya untuk melamar putri pak Karim.











Bersambung......

Friday, August 2, 2013

ADA CERITA (4)

NYANYIAN HATI
Oleh: Oesman Doblank

EMPAT


          Padahal, saat itu juga - Jika tidak malu dengan usia dan tidak riskan dengan statusnya sebagai calon mertua yang harus dijaga dan diperlihara dengan sebaik baiknya, ngejitak Marwan atau menjewer telinga calon mantunya adalah pilihan utama yang mestinya tak noleh dibatalkan. Dua hal ini, membuat pak Karim harus ikhlas untuk meredam kejengkelannya.
          Terlebih, ia tahu, calon menantunya, memang nyeleneh. Dan kenyelenehan Marwan sudah tertangkap ketika Mirna, putrinya, membawa Marwan ke rumah dan mengenalkan pada ayahnya. Saat itu, ia lupa menyuruh Mirna menyediakan air buat Marwan dan putrinya yang memang tidak biasa melakukan pekerjaan di rumah, tidak ngeh jika ia membawa sang pacar ke rumah.
          Marwan, tak berpikir jika mereka baru ke nal. Entah karena memang haus atau hal lain, ia tidak sungkan mengatakan, ia harus pamit sebentar karena harus mencari warung atau toko, untuk membeli air mineral.
          “Lhoo, kenapa harus beli? Kalau kamu haus dan ingin minum,  di sini saja “
          “Niat saya seperti itu, pak. Sebagai tamu saya ingin disediakan minum dan dengan ikhlas menikmatinya. Tapi, apa yang harus saya minum jika sejak tadi, yang ada di meja hanya  taplak, asbak dan pot bunga “
         Nyeleneh, kan?
         Saat itu, tentu saja pak Karim merasa disentil. Ia sadar, ia salah karena tak memuliakan tamunya. Mestinya, jika ia tidak bisa beranjak dari ruang tamu karena harus menemani Marwan, segera menyuruh putrinya menyediakan air. Eeh, tahu putrinya memang malas, ia malah diam dan baru sadar setelah Marwan memperlihatkan kenyelenahannya.
          Waktu itu, tentu saja, pak Karim maklum atas sikap Marwan yang nyeleneh. Malah, ia agak kagum. Ia menilai calon mantunya berwatak blak-blakan. Berani mengatakan apa yang harus dikatakan.
          Tapi saat ini ?
          Jika ia harus maklum, bagaimana nasib ide yang sudah dikonsultasikan secara intensif ke pakar acara pernikahan. Jika tidak maklum, bagaimana jika calon mantunya malah konsisten mempertahankan pandangan pribadinya yang tak suka dengan gagasannya.
         Setelah menghela nafas dan berusaha tenang, pak Karim mulai berusaha menampilkan wibawanya.
         “ Kamu tahu, saat ini sedang berhadapan dengan siapa? “ Tanya pak Karim
         Melihat sikap calon mertuanya yang berusaha menampilkan wibawa, Marwan bukan takut malah ingin langsung tertawa. Untungnya , ia berpikir jernih. Yang kemudian diputuskan Marwan, mencoba mengamini kemauan calon mertuanya yang sedang memperlihatkan kewibawaan yang sesungguhnya.
          Tentu saja Marwan menjawab, jika ia sedang berhadapan dengan pak Karim. Ayah Mirna dan sekaligus calon mertuanya.
          “Kalau kamu tahu dengan siapa kamu berhadapan, mestinya jangan macam-macam?“
 Kata sang calon mertoku yang langsung merasa ada di atas angin
         “Macam-macam? Maaf pak, kayaknya sejak datang saya tidak macam-macam. Malah, kurang dari semacam karena saya belum membahas soal rencana bapak secara mendalam, “ kilah Marwan













Bersambung....

Thursday, August 1, 2013

ADA CERITA (3)

NYANYIAN HATI
Oleh : Oesman Doblank


TIGA


            Terlebih, jika pak Karim ingat pada pujian yang dilontarkan oleh pakar pesta pernikahan, yang mengaku tulus saat menilai dan mengatakan ide pak Karim tak sekedar hebat. Tapi juga sangat cemerlang. Kepingin rasanya ia ngegetok sang calon mantu yang dianggapnya kurang ajar itu
            Nggak ada alasan untuk tidak kesal pada Marwan, sang calon menantu yang malah mengatakan untuk apa perkawinannya diwarnai oleh kemeriahan pesta yang walaupun harus menghabiskan sekarung uang tapi pak Karim rela, eeeh, malah dianggap sebagai ide dan perbuatan yang mubazir.
            Bayangkan ! Ide hebat dan cemerlang malah dianggap mubazir. Dari mana bisa pak Karim lenyapkan kesal dan tak menuding calon mantunya  edan, jika pola pikir Marwan yang bertabrakan, hanya menonjolkan permasalahan dan melahirkan kekesalan
             “ Maaf, pak, mestinya bapak tidak perlu emosi seperti itu, “ tanggap Marwan
             “Saya tidak emosi,” sahut pak Karim yang bilang tidak emosi, tapi ia nyaris tak mampu menyembunyikan emosinya
            “ Syukur kalau bapak tidak emosi. Hanya, jika memang tidak emosi, harus bapak buktikan ”
           “Apa sih maksud kamu?” Tanya pak Karim, yang kepingiiiin banget ngejitak kepala mantunya yang berambut gondrong.
          “Maksud saya,” kata Marwan dengan begitu tenang. “ Bapak kan baru saja bilang tidak emosi. Nah, jika yang bapak katakan benar, buktikan. Bapak duduk dan bersikaplah biasa saja. Kalau bapak tegang seperti itu, mana bisa saya percaya kalau bapak tidak emosi”
          Pak Karim – mau tak mau, harus berusaha menjadi orangtua yang arif. Orangtua yg memang harus mampu menyesuaikan kata-kata yang baru saja diucapkan. Sedangkan sikap yang baru saja diperlihatkan, sangat tidak sesuai dengan apa yang baru saja ia katakana
          “Maunya kamu saya duduk seperti ini, dan tersenyum seperti ini,” kata pak Karim yang terpaksa duduk dan menyusun senyum, meski dongkolnya tak bisa remuk redam.
          “Maksud saya, yaa, bisa dikatakan begitu , pak. Kita, kan, sedang berdiskusi tentang perkawinan saya dan Mirna. Itu pun, pasti nikahnya jika saya sudah melamar secara sah. Saat ini, kan baru rencana melamar dan belum masuk ke substansinya?”
          “Tapi kamu harus melamar anak saya. Sebab, kalian kan, sudah bertunangan dan saya sudah kabarkan ke banyak orang, kamu akan melamar dan saya sudah  mempersiapkan rencana pesta perkawinan “
          ”Naaah, disitulah letaknya kenapa saya harus  secara spontan mengatakan saya  tidak simpatik kepada bapak. Padahal, bapak calon mertua saya. Padahal, selama ini saya tak punya alasan untuk tidak simpatik sama bapak Tapi hari ini“
          “Apa kamu bilang?”
          “Pak…beri saya alasan agar saya simpatik pada bapak dan juga bisa ikhlas mendukung rencana bapak, “ tegas Marwan.
          Ketegasan sikap yang diperlihatkan oleh calon mantunya, nyaris membuat pak Karim tak bisa menahan amarah. Namun, Pak Karim mencoba menetralisir emosinya.

Bersambung…….