Thursday, July 11, 2013

BALLADA SANG HARGA

oleh : Oesman Doblank

       Bagaimana mungkin jengkol nggak kaget. Saat sedang menari riang, musik yang semula berdentam mendadak koit. Begitu sang Jengkol menoleh ke pusat suara, sesosok mahluk yang kayaknya baru mematikan tape recorder, berdiri dan memandang dirinya dengan sinis.
       " Siapa anda dan mengapa datang tak memberi salam tapi berani mematikan musik kegemaran saya?" Tanya Sang Jengkol, yang kalau semula kaget kini nampak kesal.
       " Jangan kamu teruskan tarian jika hanya untuk bersenang senang di atas penderitaan masyarakat," ujar sang mahluk yang setelah mengingatkan lantas menyebut siapa dirinya.
      " Lhoo.. aku mau menari  atau menangis pilu, bukan urusanmu. Dan, mengapa pula kau peduli dengan masyarakat?" Kata Jengkol
      " Bagaimana mungkin aku bisa cuwek, jika kau tiba tiba berulah? Bukankah kau memakai namaku tapi saat menaikkan peringkat tak kompromi lagi denganku?"
     " Wah..wah...wah... kamu jangan menyalahkan aku. Peringkatku naik menjadi enam sampai tujuh puluh ribu bukan karena keinginanku. Tapi, keinginan mereka yang menguasai areal pasar. Jadi, ketika mereka melakukannya, aku malah kecewa. Cuma, apa dayaku bila orang orang pasar sangat berkuasa dan memang selalu bertindak semaunya"
    " Jadi, ketika dinaikkan dan aku dikaitkan, kamu kecewa?"
    "Friend... bagaimana mungkin aku bisa gembira? Jika aku distabilkan, orang orang kecil berpenghasilan rendah, bisa dengan mudah menjamahku. Menikmatiku, dan aku sangat senang karena orang kecil leluasa menikmati rasaku, yang walaupun mereka dengan terus terang mengatakan aku bau, tapi tak pernah malu mengatakan suka makan jengkol.  Sebaliknya, aku tak suka pada mereka yang berlimpah uang, sebab, mereka selalu melecehkanku dan kerap sok tidak suka. Padahal, diam diam mereka tak hanya menikmatiku Sebab, saat peringkatku dinaikkan, hanya mereka yang dengan malu tapi hobi, mampu membeli dan menjamahku"
    " Bisa aku percaya apa yang baru saja kamu katakan?" Tanya Sang Harga
    Jengkol bahkan berani bersumpah dengan mengatakan rela dirinya disambar petir sehingga di masa penen berikutnya tak ada lagi tumbuh buah jengkol jika semua pohon jengkol tumbang atau terbakar.
    " Boleh kutahu mengapa yang lain, tanpa sepengetahuanku juga ikut menaikkan peringkatnya dan membuat masyarakat menjerit dan disaat seperti itu, selalu aku yang disalahkan. Bahkan, ada yang mengatakan aku sombong, karena jika sudah naik aku tak pernah bersedia turun. Padahal, aku bukan pejabat, dan juga bukan penguasa yang maunya naik tapi malas turun"
   Jengkol berpikir sejenak. Lalu, menarik nafas panjang. Baru kemudian dia menjelaskan.
   Menurutnya, yang lain ikutan naik karena pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM.
   " Saat itu aku justeru tidak setuju diriku dinaikkan," sahut sang Harga
   "Nyatanya, premium tetap naik dan kenaikan itu membuat yang lain punya alasan untuk menyesuaikan situasi dan kondisi karena angkutan jadi mahal," kata sang jengkol/
   " Aku tak suka alasan klasik seperti itu." sergah sang harga.
   " Kau boleh tak suka. Nyatanya, di awal Ramadhan rekan rekanku malah berlomba lomba menaikan peringkat. Daging sapi, misalnya. Juga ayam, di bulan suci, bukan mencari berkah dan hikmah malah berebut menaikkan peringkat. Aku juga dengar dan lihat, ibu ibu menjerit. hanya, apa dayaku, friend?"
  " Apakah hal ini juga diakibatkan oleh ulah orang pasar?"
 " Tak hanya mereka. Para tengkulak dan produsen, juga paling menentukan. Boleh jadi, mereka yang mengatur agar kenaikanmu seolah olah hal biasa, karena di bulan ramadhan, pemintaan terhadap bahan pokok dan tambahan melonjak tajam"
 " tapi kan tidak perlu sampai mencapai langit. Karena aku sendiri tak pernah bisa mencapai langit," keluh sang harga
 " Friend... siapa pun yang mengelola kami, jika nafsu meraup untung besarnya tak dikendalikan atau dibiarkan semakin liar, tak mungkin kami bisa mengubah hasrat mereka memperkaya diri"
 Sang Harga terdiam.
 Dia kesal, namun tak mampu mencegah keinginan liar para pencari keuntungan, yang di bulan Ramadhan dan di saat BBM disesuaikan, malah berlomba lomba membangun dunia perdagangan dengan menyetel volume dirinya sekehendak hati.
Alasan alasan mereka, jauh dari kepedulian terhadap mereka yang tak mampu. Hanya, harga sendiri juga bingung, sebab, saat semua harga semua kebutuhan melonjak, ibu ibu malah menyatakan maklum karena BBM naik dan Ramadhan tiba.
 Mestinya, ibu ibu atau siapapun yang ke pasar, menahan diri. Malah, mestinya, tak membeli dan tak berhasrat membeli apapun yang harganya mahal. Jika ibu ibu bisa dan mau melawan dengan cara tidak membeli sesuatu yang mahal, para pedagang pasti berpikir untuk menurunkan dirinya. Kenapa? Karena jika ibu ibu tak membeli, barang menjadi tidak laku. Jika tidak laku, bawang, cabe dan sejenisnya, yang akan busuk. Kalau busuk, barulah para orang pasar merasakan risiko menanggung kerugian akibat ulahnya yang menaikkan harga seenaknya.
" Akkh, kalau saja ibu ibu mau melakukan hal itu, diriku tak akan dilangitkan seenak bero oleh para pedagang, baik mereka yang hanya mengecer maupun pedagang besar yang selalu bertekad mencari keuntungan besar, tanpa mau berpartisipasi untuk mencari berkah agar orang orang miskin bisa tetap belanja." keluh sang harga, yang akhirnya hanya berharap agar ibu ibu melawan.
Tokh, tak makan daging sapi yang juga dikorupsi, tak makan ayam, tak makan barang yang harganya selangit, tak mati.
Berbuka puasa dengan makanan paling sederhana pun, tetap bermakna. Tokh bukan makan apa dan harganya berapa. Tapi, bagaimana bisa berpusa lahir dan batin agar hasrat bertaqwa direaliasikan dengan benar dan tepat sehingga sampai ke areal ibadah berdimensi taqwa.







.    

0 komentar:

Post a Comment