JALAN MASIH PANJANG
Oleh : Oesman Doblank
Oleh : Oesman Doblank
TIGA
Kebanyakan
pengemudi – entah angkutan umum atau mobil pribadi, lebih ingin mendahului timbang didahului.
Semua sepertinya hanya ingin cepat sampai di tujuan, timbang lebih baik saling
mengalah atau sedikit bersabar.
Agaknya, jalan
raya sudah dianggap tak pantas untuk mengaplikasikan kesabaran. Padahal,
kesabaran harus mengejawantah dimana dan kapan saja. Bukan malah dianggap tak
pantas diterapkan di jalan raya
Sepertinya keinginan membangun budaya tertib dalam berlalu
lintas justeru sudah semakin ter singkir
dari hati masyarakat pengguna jalan. Entah bagaimana cara meluruskan jika yang
nampak melekat dengan begitu kokoh di jiwa para pengemudi, hanya egoisme. Ingin
selalu berada di depan dan lebih dahulu dari yang lain
Padahal, sikap
dan kepribadian yang malah semakin menonjol
ini, tak hanya merugikan banyak orang. Tapi juga sangat merugikan setiap
pribadi. Terlebih, kecelakaan bisa terjadi kapan , di mana dan bisa menimpa
siapa saja. Dan jika ujung ujungnya jalan raya jadi pusat kemacetan lalu
lintas, entah berapa banyak BBM terbuang sia sia.
Komeng hanya
bisa tersenyum saat seorang pengemudi motor terjatuh, karena menghindari mikrolet
di depannya yang berhenti mendadak. Ketika orang-orang berhamburan – entah mau
menolong atau malah ingin mencari peluang meraih keuntungan, Komeng lebih ingin
masuk ke sebuah taksi yang ngetem di tepi jalan dan meminta sang pengemudi
untuk segera meluncur.
“ Kemana pak? “
pengemudi taksi yang baru saja melarikan mobilnya mencoba menjalin rasa akrab.
“ Grogol, pak “
Komeng menyahut seperlunya.
Bukan tak ingin
berakrab-akrab. Tapi Komeng tahu diri kalau ia sudah lelah. Capek. Bukan
lantaran ia tak dimengerti oleh Badrun dan hanya ia yang paham tentang Badrun.
Tapi, sejak pagi, ia sudah meninggalkan rumah. Setelah melaksanakan tugas
rutinnya, bermain dan membimbing anak-anak jalanan di kawasan Kebayoran Lama, Komeng
ke Blok M. Meski hampir sejam ia berada di Gramedia, selama di sana
hanya numpang membaca. Tak berarti tidak punya niat membeli buku. Dia hanya
mampu membaca karena memang sedang bokek.
Uang di
dompetnya hanya cukup untuk ongkos.
Kalaupun ia bersedia memenuhi ajakan Badrun yang ingin mendiskusikan soal PNS
di sebuah tempat bergengsi, karena Badrun yang janji mentraktir. Jika tidak, ia
pasti tidak naik taksi. Tapi, naik bus.
“ Saya prihatin,
lho dik, dengan nasib pengendara motor
yang terjatuh
karena ulah sopir mikrolet “
Sebenarnya,
Komeng sudah ingin menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Tapi, saat
melirik ia jelas melihat sopir taksi memperhatikan dari kaca spion dan sangat
ingin berdialog, Komeng terpaksa menimpali.
“ Oh yaa ?”
“ Memangnya adik
sama sekali tak prihatin ?”
“ Kalau bicara
soal prihatin, keprihatinan saya jauh lebih dahsyat, pak ?”
“ Maksud adik ?”
Sopir taksi menekan pedal gas lebih dalam.
“ Yaa, saya baru
tidak prihatin jika para pengemudi kendaraan memilih berhati hati.Tidak ngebut
seenaknya, dan selalu memikirkan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain
“
Sopir taksi
bukan tidak tersinggung. Tapi, tampaknya ia memilih berusaha menjinakkan
ketersinggungannya. Dan, ia berhasil. Sebab, yang kemudian dilakukan olehnya
terasa sangat melegakan Komeng. Terlebih, sang supir yang jelas berasal dari
Sumatera, terlihat jelas dari tanda pengenalnya, lalu menurunkan laju
kendaraannya.
Bersambung……
0 komentar:
Post a Comment