MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH SEMBILAN
Pada akhirnya, Bondan memutuskan
untuk melakukan apa yang memang perlu dia lakukan. Dan, Sumarni tak hanya
berharap. Ia juga dibuat terkejut. Sama sekali tak menyangka, jika Bon dan,
lantas memintanya untuk segera ke notaris Sumirah diminta untuk mengurus proses
balik na ma rumah yang kini ditinggalinya. Bondan berha rap, setelah nama
pemiliknya berubah dari Bon dan menjadi Andhika – nama adik tirinya, mere ka
akan lebih leluasa menempatinya.
Jika tak segera membuat akte balik
nama, Bondan malah kuatir, kelak pikirannya berubah dan malah berniat
mengambilnya kembali. Un tuk itu, Bondan mendorong agar urusan mengu bah nama
pemilik rumah dari Bondan ke An dhika, diurus secepatnya.
Sumirah sekali tak tersinggung apa
lagi kecewa. Malah, saat Bondan mengatakan, se benarnya ia ingin nama pemilik
rumah yang dihibahkan kepada Sumirah, dalam akte, dirubah dari Bondan ke
Sumirah. Hanya, ia kuatir, suatu saat, Sumirah menikah lagi dengan pria lain.
Jika hal itu terjadi, apapun risikonya, Bondan lebih berani menggugat untuk
mengambil kembali rumahnya dari tangan Sumirah. Sebab, Bondan tak ingin, jika
kekuatirannya terbukti, adik-adik tirinya jadi korban.
Sebab, bisa saja, suami baru Sumirah, nantinya
menguasai rumah itu, semisal di akte ke pemilikan rumah, nama yang tercantum
sebagai pemilik, bukan Andhika. Tapi, Sumirah.
Sumirah malah tertawa.
Ia suka, blak-blakan ala Bondan. Terbuka
tapi tak menyakitkan. Blak-blakan tapi malah membuatnya segar. Sikap dan sifat
yang tak jauh beda dengan suaminya. Dan, itu sebabnya, Sumi rah berkenan diajak
ke pelaminan, meski untuk itu, ia mengawali perkawinannya dengan berma cam
gangguan. Sebab, isteri pak Sadewa yang
tak lain ibu kandung Bondan, kerap menterornya
Namun, dari situ pula, Sumirah makin pa
ham, mengapa pak Sadewa memilih kawin lagi. Dan, beliau merasa sangat
beruntung. Akhirnya, bertemu juga dengan wanita yang diinginkan Bukan berarti
tak menginginkan isteri pertama nya. Hanya, ibu kandung Bondan, tak ingin
kesederhanaan, terlebih merasa dijerat kemiski nan.
Yang
juga disukai Sumirah dari putra sema ta wayang suaminya dengan isteri pertama,
ia tak sebatas bisa menerima semua yang terjadi dan sama sekali tak
memperlihatkan rasa sakit hati, terlebih membenci. Malah, ketulusan Bondan me
nerima kenyataan, terlihat sangat jelas. Seolah ketulusan yang bersemayam di
hatinya, tanpa ti rai. Sedemikian transparan.
Di dalamnya, tak nampak benang setipis
apapun yang menyimbolkan kepura-puraan terle bih lebih dari itu. Merekayasa
diri misalnya, Sumirah percaya, kalau Bondan, seolah-olah nrimo tapi lubuk hatinya menolak
Sangat identik dengan pak Sadewa, almar hum
suaminya. Menurut Sumirah, sifat dan sikap anak tirinya, tak lain foto copy
dari ayahnya, yang juga seperti itu. Paling mengesankan saat pak Sadewa
mengatakan dengan jujur kalau ia akan menikah lagi.
Saat itu, Sumirah tak saja merasa,
yang dikatakan suaminya – ingin menikah lagi, adalah kejujuran yang jarang
melekat pada diri suami yang entah dengan alasan apa, berniat menikah lagi. Ia
nyaris tak percaya, jika pada akhirnya, malah Sumirah sendiri yang datang,
melamar. Meminang dan dengan lapang dada, Sumirah menyaksikan akad nikah
suaminya dengan wani ta lain.
Bersambung…………..
0 komentar:
Post a Comment