Saturday, July 20, 2013

CERITAKU-CERITAMU (3)

JALAN MASIH PANJANG
Oleh : Oesman Doblank

TIGA


Kebanyakan pengemudi – entah angkutan umum atau mobil pribadi,  lebih ingin mendahului timbang didahului. Semua sepertinya hanya ingin cepat sampai di tujuan, timbang lebih baik saling mengalah atau sedikit bersabar.
Agaknya, jalan raya sudah dianggap tak pantas untuk mengaplikasikan kesabaran. Padahal, kesabaran harus mengejawantah dimana dan kapan saja. Bukan malah dianggap tak pantas diterapkan di jalan raya
Sepertinya  keinginan membangun budaya tertib dalam berlalu lintas justeru  sudah semakin ter singkir dari hati masyarakat pengguna jalan. Entah bagaimana cara meluruskan jika yang nampak melekat dengan begitu kokoh di jiwa para pengemudi, hanya egoisme. Ingin selalu berada di depan dan lebih dahulu dari yang lain
Padahal, sikap dan kepribadian yang malah semakin  menonjol ini, tak hanya merugikan banyak orang. Tapi juga sangat merugikan setiap pribadi. Terlebih, kecelakaan bisa terjadi kapan , di mana dan bisa menimpa siapa saja. Dan jika ujung ujungnya jalan raya jadi pusat kemacetan lalu lintas, entah berapa banyak BBM terbuang sia sia.
Komeng hanya bisa tersenyum saat seorang pengemudi motor terjatuh, karena menghindari mikrolet di depannya yang berhenti mendadak. Ketika orang-orang berhamburan – entah mau menolong atau malah ingin mencari peluang meraih keuntungan, Komeng lebih ingin masuk ke sebuah taksi yang ngetem di tepi jalan dan meminta sang pengemudi untuk segera meluncur.
“ Kemana pak? “ pengemudi taksi yang baru saja melarikan mobilnya mencoba menjalin rasa akrab.
“ Grogol, pak “ Komeng menyahut seperlunya.
Bukan tak ingin berakrab-akrab. Tapi Komeng tahu diri kalau ia sudah lelah. Capek. Bukan lantaran ia tak dimengerti oleh Badrun dan hanya ia yang paham tentang Badrun. Tapi, sejak pagi, ia sudah meninggalkan rumah. Setelah melaksanakan tugas rutinnya, bermain dan membimbing anak-anak jalanan di kawasan Kebayoran Lama, Komeng ke Blok M. Meski hampir sejam ia berada di Gramedia, selama di  sana hanya numpang membaca. Tak berarti tidak punya niat membeli buku. Dia hanya mampu membaca karena memang sedang bokek.
Uang di dompetnya  hanya cukup untuk ongkos. Kalaupun ia bersedia memenuhi ajakan Badrun yang ingin mendiskusikan soal PNS di sebuah tempat bergengsi, karena Badrun yang janji mentraktir. Jika tidak, ia pasti tidak naik taksi. Tapi, naik bus.
“ Saya prihatin, lho dik, dengan nasib pengendara motor
yang terjatuh karena ulah sopir mikrolet “
Sebenarnya, Komeng sudah ingin menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Tapi, saat melirik ia jelas melihat sopir taksi memperhatikan dari kaca spion dan sangat ingin berdialog, Komeng terpaksa menimpali.
“ Oh yaa ?”
“ Memangnya adik sama sekali tak prihatin ?”
“ Kalau bicara soal prihatin, keprihatinan saya jauh lebih dahsyat, pak ?”
“ Maksud adik ?” Sopir taksi menekan pedal gas lebih dalam.
“ Yaa, saya baru tidak prihatin jika para pengemudi kendaraan memilih berhati hati.Tidak ngebut seenaknya, dan selalu memikirkan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain “
Sopir taksi bukan tidak tersinggung. Tapi, tampaknya ia memilih berusaha menjinakkan ketersinggungannya. Dan, ia berhasil. Sebab, yang kemudian dilakukan olehnya terasa sangat melegakan Komeng. Terlebih, sang supir yang jelas berasal dari Sumatera, terlihat jelas dari tanda pengenalnya, lalu menurunkan laju kendaraannya.








Bersambung……

Friday, July 19, 2013

CERITAKU-CERITAMU (2)

JALAN MASIH PANJANG
Oleh : Oesman Doblank

DUA



            Mestinya, kalau menurut Badrun, rekannya, Komeng, terpikat untuk melakukan hal yang sama. Melakukan yang jutaan orang lain juga melakukan karena kenyataan menjelaskan kalau nyaris di semua instansi, tumbuh dan berkembang budaya menyusup dari jalan belakang. Budaya yang membuat mudah siapapun diterima menjadi PNS jika bersedia menyediakan dana sekian puluh juta sebagai konpensasi untuk menikmati kemudahan yang seperti sengaja disiapkan bagi siapa saja yang ingin menjadi PNS dengan cara yang diberlakukan tapi tanpa aturan tertulis
            Nyatanya ? Komeng malah menolak. Dia sama sekali tak tertarik untuk  memanfaatkan peluang yang ditawarkan. Dan peluang itu pasti mudah diraih dan mereka tak akan tertipu, karena seorang paman Badrun punya kedudukan yang strategis.
            Hanya, percuma Badrun memaksa, karena ia tahu persis siapa Komeng. Dan, kalau pun ia mencoba membujuk agar mengikuti jejaknya, Badrun jadi sangat maklum Komeng menyatakan tak berminat
            “ Yaa, apa boleh buat jika kau malah bersikeras menolak. Tapi, kau jangan tersinggung jika aku menga takan kau tidak akan lulus “
            Komeng malah menanggapi peringatan Badrun dengan senyum. Malah lagi, tertawa terkekeh kekeh. Sepertinya, yang dikatakan oleh Badrun adalah hal lucu. Padahal, Badrun yang tak pernah melawak, paling menolak jika diajak ke panggung untuk melucu
Terlebih Badrun tak saja menjelaskan dengan serius. Tapi juga sangat yakin, siapa pun tak akan bisa lulus dan tak mungkin diterima jadi PNS, bila cara menempuhnya justeru dengan cara berbeda. Pasalnya, kenyataan semakin menjelaskan, mereka yang mela wan arus dan tetap bertahan di jalan lurus, dijamin pas ti hanya bakal tergerus. Sebab, yang dijami lulus hanya  khusus untuk mereka yang siap, berani dan rela menyuap.
“ Aku tetap menghargai prinsipmu, Meng.
Sekarang, ijinkan aku pamit “
Tapi, Badrun yang sudah berdiri dan siap meni nggalkan Komeng, tak bisa bergegas melangkah kare na Komeng meraih tangannya.
“ Kau tidak tersinggung jika aku mengatakan satu hal? “
Badrun tidak menyahut. Tapi gelengan kepala nya, sangat dimengerti Komeng.
“Aku hanya ingin mengingatkan. Yang menyo gok dan yang disogok, sama-sama menjadi penghuni neraka “
Badrun sempat kaget. Tapi, ia lebih ingin mene pis tangan sahabatnya. Komeng tak berusaha memper tahankan posisi tangannya. .
“ Kupikir kau mau bilang siap bergabung.
Tapi kau memang lebih pantas jadi ustadz, friend. Aku pamit “
Badrun segera beranjak. Komeng tak merasa di tinggalkan. Ia menyeruput sisa kopinya. Menghela na fas. Menatap jalan raya, yang semakin padat dengan berbagai jenis kendaraan. Komeng jelas melihat, masi ng-masing pengemudi lebih menonjolkan kepribadian mereka yang hanya dipenuhi oleh egoisme pribadi









Bersambung….

Thursday, July 18, 2013

PANTUN : KERUSAKAN PANTURA

oleh : Oesman Doblank


Gimana bisa sorak sorak bergembiRA
Kalau keanehan selalu jadi realiTA
Saat mudik banyak yang lewat pantuRA
Tapi nasib jalan di sana selalu menderiTA

Padahal di tengah jalan gak ada pabrik biHUN
Kok saat mudik, lewat pantura jalan tersenDAT
Bukan nggak setuju diperbaiki setiap taHUN
Kan kualitas jalan bisa dibuat sepuluh taHUN 

Mestinya malam minggu enak wakunCAR
Cuma batal lantaran hujan begitu deRAS
Kalau pas mudik lebaran pantura lanCAR
Kan waktu dan biaya gak habis terkuRAS

Kalau tugas malam nggak usah bergiDIK
Toh setan justeru takut kepada manuSIA
Saat lebaran jutaan orang kan pada muDIK
Kalau pantura rusak, waktu terbuang sia SIA

Mestinya bisa bebas sorak sorak bergembiRA
Kalau kerusakan jalan gak selalu beruLAH
Mestinya sepanjang tahun pantura terpelihaRA
Supaya pas lebaran gak selalu jadi masaLAH   






















Wednesday, July 17, 2013

NGGAK MAU IKUTAN LEBARAN

oleh : Oesman Doblank


           Kayaknye, lebaran udeh makinan deket, deh. Pusat perbelanjaan, bukan mulai rame. Tapi udeh mulai makin rame. Makin banyak yang berdatengan makin banyak juga nyang ditawarkan. Soalnya, selain datang ke pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan Lebaran, juga banyak yang datang khusus untuk berbuka puasa. Cuma, jangan harap ada yang datang ke sana khusus untuk buka baju dan plorotin celana. Kalau hal itu dilakukan di muka umum dan bukan di toilet, petugas keamanan pasti ditangkap, eh, menangkap alias mengamankan. Setelah diinterogasi sejenak, langsung di eksport ke Rumah Sakit Jiwa.
          Cuma, tak seorang pun satpam di pusat perbelanjaan yang berani membawa HARGA ke rumah sakit jiwa, baik ke RSJ yang terdekat - Grogol, maupun yang tidak dekat tapi hanya cukup jauh - Bogor. Padahal, jauh jauh hari, HARGA sudah mengumumkan dengan blak blakan kalau dirinya hanya memeriahkan, mengeruk sebanyak banyaknya keuntungan, membangun fenomena tapi sangat tidak menikmati ikut apalagi memeriahkan dan menikmati lebaran
          "Kenapa lo gak mau ikut Lebaran?" Tanya si MAHAL hal yang belum tahu apakah dia benar bertanya seperti itu sedangkan dirinya belum memutuskan ikut atau tidak menikmati lebaran
          Setelah memperhatikan seorang ibu yang kayaknya sedih karena duitnya nggak cukup untuk membeli barang yang diinginkan, HARGA menjawab dengan enteng        
          "Lhoo... aku kan nggak pernah puasa. Yang kutahu, orang yang tak pernah mau puasa di bulan Ramadhan, tidak termasuk orang beriman. Nah, namaku HARGA, tercatat di pasar pasar di seluruh dunia, bukan sebagai mahluk yang beriman. Tapi, sebagai mahluk yang oleh para produsen, pemilik modal dan pedagang dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan sepuas puasnya dan setinggi tingginya, justeru dengan dalih BBM kan Naik, Kan bulan Puasa, Kan Lebaran, Kan Natal dan Tahun Baru, kan Panen begini dan bnegitu.
          Jadi, jangan sedih yaa kalau aku tak ikutan lebaran," pinta harga kepada si MAHAL yang langsung menyahut, sampai mati tak akan mau bersedih, karena bersedih hanya untuk para mahluk yang memiliki kepekaan sosial.
          " Kalau aku, jangankan memiliki kepekaan sosial, kepekaan untuk menjadi murah saja, tidak ada tuh. Jadi, buat apa aku harus bersedih hanya lantaran kamu tidak ikutan lebaran. Jadi, kamu nggak usah geer lah," kata si MAHAL
         "Aku bukan geer," kilah si HARGA.
         " Sebab, bagaimana bisa geer kalau sampai di penghujung malam takbir, aku tetap bekerja keras. Semua pedagang memanfaatkan diriku untuk menjadikan lebaran sebagai momen membangun keserakahan dalam mengeruk keuntungan. Tapi, pas Lebaran aku tak mau ikut ikutan. Kayaknya, aku akan istirahan total, deh. Biarlah mereka yang berpuasa dengan ikhlas dan menang melawan hawa nafsu saja, yang menikmati Lebaran dengan jiwa bersih dan kepekaan sosial yang makin meninggi"
         "Aku mau lhoo, seperti itu. Cuma, aku yakin nggak bisa. Sebab, aku dilahirkan untuk sombong. Malah, kadang untuk membuat orang miskin jadi sedih, karena gak jadi beli bawang, cabe dan lain lain, karena aku selalu ikut campur. Jadi, aku selalu digunakan oleh para tengkulak untuk meningkatkan gengsi setiap komoditas. Sedangkan si MURAH, adik kembarku, malah disekap di ruang tertutup agar tidak bilang sebenarnya semua barang bisa dibeli dengan harga MURAH. Hanya, nafsu mengeruk untung sebesar besarnya membuat manusia - sadar atau tidak sadar, jadi serakah"
        " Yaa, aku sangat paham dengan apa yang kamu katakan. Sebab, aku yang dijadikan patokan, dan kamu yang dijadikan nilai tukar. Makanya, aku berharap kau pun tidak usah ikut lebaran. AKu yakin, jika kau tak ikutan, di hari raya si MURAH bisa berhari raya sampai ke dusun dusun di berbagai perkampungan, agar mereka yang tak berduit bisa berhari Raya tanpa merasa malu karena uangnya tak cukup untuk membeli sesuatu," ungkap HARGA
       MAHAL hanya tersenyum. Karena ia sepakat untuk tidak ikutan lebaran, dia mengajak HARGA datang ke berbagai gudang. 
        " Kau lihat sendiri, kan? Semua ada dan selalu ada. Tapi, para pendulang keuntungan kerap bilang barang tak ada, langka atau panen begini dan begitu. Nyatanya? " Kata si MAHAL
        " Yaa.. makanya aku merasa makin tak pantas ikutan lebaran. Sebab, aku tak pernah puasa dan tidak dikategorikan sebagai mahluk yang beriman," ujar HARGA sambil mencolek si MAHAL dan mereka menatap seorang boss yang kepusingan menghitung tumpukan uang di depan matanya yang tinggi menjulang
        "Menurutmu," kata HARGA " Apa yang saat ini sedang kita saksikan?" 
        Harga tersenyum. Baru menjawab
        "Kita sedang menyaksikan manusia yang diperbudak hawa nafsu sedang mengumpulkan keserakahan yang membuatnya tak sadar, suatu saat pasti mati dan dia tak bawa bekal apapun ke alam kubur, karena di dunia hanya semangat menumpuk harta tapi malas membangun kebaikan dan bersedekah"
        MAHAL menepuk nepuk pundak HARGA sambil mengurai senyumnya








Tuesday, July 16, 2013

PANTUN NUNGGU LEBARAN

oleh : Oesman Doblank

Ada gusuran buat kepentingan pelebaRAN
Kalau warga ikhlas jalan bakalan aWET
Kayaknye anak gue semangat nunggu lebaRAN
Untung.. puasanye lancar mulutnye gak cereWET

Bukan lantaran gue udeh bisa ngejelaSIN
Tapi, meski masih bocah anak gue ngerTI
Cuma, tetep aje gue terus menerus dikeleSIN
Soalnye, die kepengen beli baju begambar aTI

Die bilang, kan tiap tahun dituntut naik keLAS
Jadi, wajar kalo permintaannye dikabulKAN
Gue siap ngebelin kalau puasanye terus ikhLAS
Sebagai babe, begitulah yang mesti gue lakuKAN

Duuh.. siape tuh yang metik kembang melaTI
Kan kalau gak pamit bisa dituding pencuRI
Kate pak guru, ngedidik anak mesti pakai haTI
Kalau pake sikap kasar malah bisa belok kiRI

Yang jelas, sebagai babe gue gak keleleRAN
Meski banting tulang siap nyenengin aNAK
Semangan anak gue nunggu datang lebaRAN
Kalo gak menuhi permintaan rasanya gak eNAK

Untungnye, anak gue nggak banyak laGA
Dibilangin orangtue didenger dan dilaksanaKAN
Puasanye sih gak sebatas nahan laper dan dahaGA
Sebab, die belajar hawa nafsunya dijinakKAN

Be.. kata die, puasa kan gak bikin aye keleleRAN
Malah, rasanya badan makin hari makin seHAT
Gue bilang, pokoknye lo berhak nikmati lebaRAN
Sebab, diajarin soal agama, di hati si bocah terpaHAT








   

MUDIK APA NGGAK USAH MUDIK YA (2)

oleh : Oesman Doblank


       TARIKAN nafas Bejo yang panjang menandakan kebingungannya makin meningkat.
Emon bukan tidak iba. Hanya, meski ibanya diterang-jelaskan sehingga kadarnya mencapai seratus prosen dan ikhlas, tetap saja hanya sebatas iba. Pasalnya, Emon yakin kalau dirinya tidak bisa membantu. 
       Memang, meski nganggur, Emon tetap mencari uang dengan memanfaatkan sepeda motor kreditannya yang bulan depan lunas. Cuma, penghasilan dari ngojek nggak pernah bisa dipastikan. Saking banyaknya pengojek, setiap operasional, paling banyak Emon mengantongi tujuh puluh ribu rupiah. Itu pun kotor. Karena setelahnya harus kembali mengisi premium, yang harganya sudah disesuaikan menurut sudut pandang pemnerintah. 
      Kalau saja harga BBM disesuaikan menurut kepentingan dan kebutuhan masyarakat, mesti harganya memang sudah harus disesuaikan, tapi harganya tidak lebih tinggi. Tapi, malah lebih rendah. Setidaknya, dari empat ribu lima ratus jadi empat ribu saja. Jika seperti itu, layak dikatakan masyarakat sudah mendapatkan subsidi
      Cuma, kata Emon dalam hati, mengapa harus premium yang dikaitkan dengan duka nestapa Bejo, yang meskipun lebaran masih cukup lama tapi pusingnya sudah diaplikasikan saat ini. 
      " Kamu sendir, yakin lebaran nanti harus pulang?" Tanya Emon
      " Wah.. kamu pikir soal mudik lebaran harus diaplikasikan berdasarkan keyakinan? Emon.. Emon... kamu tuh sangat besar dalam kekeliruan dan sangat keliru dalam kebesaran. Sebab, tanpa keyakinan setiap perantau itu selalu mudik saat lebaran dan budaya mudik tidak mungkin bisa dilenyapkan, meski setiap tahun jalan di pantura nggak pernah beres dan membuat para pemudik selalu dipersembahkan ketidaknyamanan dalam perjalanan," tutur Bejo, yang meski belum bebas dari bingung tapi tetap bisa bicara panjang lebar
      " Begini saja," tukas Emon yang baru saja manggut manggut
      "Begini bagaimana?" Tanya Bejo yang berubah jadi optimis karena mengira Emon sudah punya solusi
      Dengan cepat Emon menyahut
      " Bagaimana kalau lebaran kali ini, kamu tidak usah mudik. Pertimbangannya, kan jelas, Kamu tidak punya uang, " kata Emon tanpa bermaksud menghalangi niat Bejo
      Tentu saja Bejo langsung tercengang
      "Jadi kamu punya niat untuk tidak mempertemukanku dengan keluarga dan kampung halaman yang kamu bilang boleh jadi merindukanku?" Kata Bejo, yang nampaknya menahan kesal, karena tak suka dengan opsi yang baru saja dikatakan Emon
      " Maksudku bukan begitu, Jo," Emon berusaha ingin menjelaskan lebih lanjut agar Bejo mengerti maksud sebenarnya
      " Maksud kamu, tidak berniat menghalangiku mudik lebaran ke kampung?"
      "Pasti seperti itu, Jo, Hanya, marilah kita berpikir secara rasional. Artinya, mudik itu kan, tak hanya butuh biaya. Tapi juga butuh mental dan kesehatan yang mantap. Sebab, bukan tak mungkin terhambat macet panjang yang makan waktu berjam jam dan membuat kamu bisa kesal karena mau cepat sampai tapi malah dihambat oleh jalan yang tidak pernah bagus dan kemacetan total yang tak bisa dihindari"
      " Emoooon... Emooon.. justeru di situlah indahnya mudik ke kampung halaman saat lebaran. Kalau jalan tidak rusak di saat arus mudik berlangsung, sama artinya kita tidak tinggal di Indonesia, Mon. Ini Indonesia, Mon. Bagaimana pun ini negeri kita dan wajar kalau jalanan rusak, karena proyek pembuatan dan pemeliharaan jalan itu dananya cukup besar. Kalau jalan dibuat bagus menurut standar biaya yang dianggarkan, kan daya tahannya bisa sepuluh tahun. Lantas, apa yang akan dikerjakan oleh mereka yang selalu berharap jalan rusak agar bisa diperbaiki?"
     " Oooh... begitu, Jo"
     " Yaa... begitu. Kalau tidak begitu, nggak mungkin jadi pemberitaan media. Sebab, jika perjalanan mudik lebaran lancar, justeru jadi tidak menarik untuk diberitakan. Soalnya, tidak ada masalah. Makanya selalu diberitakan, kan macet dan jalan rusak selalu jadi masalah. Hanya, buat apa memikirkan masalah klasik, Mon. Bukankah masalahku belum bisa di atasi?" Kata Bejo
     Emon garuk garuk kepalanya yang memang gatal karena berketombe.
     " Mon... kamu kan temanku. Tolong aku Mon... Ingat Mon, menolong teman yang sedang dalam kesulitan pahalanya itu besar, Mon, dan bisa dijadikan bekal untuk ke surga" Bejo kembali berkicau karena Emon malah garuk garuk kepalanya yang berketombe
     Lantaran Emon kepingin banget membantu Bejo yang rindu kampung halaman, ia pun terpaksa memberanikan diri mengatakan hal ini
     " Jo...," ujar Emon
     " Nanti, jika jelang kamu mudik tetap tak punya uang, kita gadaikan motorku. Nah, jika bisa dapat lima juta, uangnya kita bagi dua. Hanya, setelah hari raya kamu harus mengembalikan agar aku bisa nebus motorku kembali dan tetap bisa ngojek. Kamu setuju, kan?" 
     Bejo tercengang. Tak menyangka kalau Emon mau mengambil keputusan seperti itu.
     Dan, sejenak kemudian, Bejo langsung merangkul Emon sambil menangis sesenggukan karena dia merasa terharu. Bejo tak menyangka jika Emon, rela menggadaikan sepeda motornya untuk biaya mudik lebaran yang dirindukan Bejo.
     Sembari sesenggukan, Bejo yang masih memeluk Emon, mengatakan, setelah ia kembali ke Jakarta akan segera membayar agar Emon bisa  menebus motornya yang digadaikan dan bisa kembali ngojek.
    Hanya, Bejo tak menyebutkan, kalau di kampungnya dia punya dua ekor sapi. Rencananya, Bejo akan menjual seekor sapinya karena kebaikan dan perhatian Emon harus dibalas dengan hal yang sama. Bukankah elok jika bisa membalas kebaikan dengan hal yang sama?









Sunday, July 14, 2013

MUDIK APA NGGAK MUDIK YAA?

oleh : Oesman Doblank


           KALAU ngeliat Bejo lagi bingung ples pusing, kasiiiiiiiiiiian banget. Soalnye, gak disapa kuatir dibilang sombong dan nggak punya kepedulian sama friend. Tapi, kalau disapa, biasanya dia malah ngambek. Nah, kalau Bejo udeh ngambek, kayaknye ngerepotin. Soalnya, die pasti langsung nraktir. Semisal lagi nggak punya doku, Bejo rela ngejual ape aje supaya bisa mengekpresikan ngambeknye dengan mentraktir.
          Terakhir, Bejo ngejual BBnya karena waktu die ngambek, Emon nyang lagi lapar sengaja negor. eeeeh. meski kepengen makan, Emon jadi malah repot. Soalnye, traktiran Bejo juga ngerepotin. Gimane nggak ngerepotin kalo semua yang die beli mesti diembat abis. Kalau nggak diabisin, die ngancem, nggak akan mau ngambek lagi dan itu berarti Bejo nggak bersedia nraktir lagi.
         Tapi, sekarang eni, Emon malah bingung. Soalnya, Bejo kelihatan bingun lantaran pusing bukan di bada Maghrib. Tapi, pas baru Dzuhur. Syet, dah, nggak mungkin donk kalau lagi puasa mesti buka, lantaran kalau negor Bejo dia pasti nraktir dan die nggak peduli apakah di bulan Ramadan atau bukan bulan puasa.
         Makanya, Emon ambil keputusan kagak mau negor Bejo.
         Apa yang terjadi? Yaa, begitulah, tanpa tedeng aling aling Bejo nuding Emon sebagai seseorang yang somse sekali dan kagak punya kepedulian.
         " Sampeyan kalau nggak mau berkawan dengan saya, bilang aja terus terang," ujar Bejo
         " Siapa yang tidak mau berteman dengan kamu lagi," sahut Emon yang terpaksa nyetop langkah lantaran Bejo memperlihatkan hasrat memprotes dirinya
         " Buktinya, kamu sudah tidak negur saya lagi. Padahal, saya berdiri di sini dan kamu pasti melihat dengan jelas sosok saya. Jadi, salahkah kalau saya bilang kamu somse sekali?"
        " Yaa udah," kata Emon, yang nggak mau menyinggung perasaan Bejo yang mulai sensi
          "Sekarang, apa yang harus saya lakukan agar sampeyan tidak kelihatan bingung dan cepet cepet bebas dari pusing"
        " Saya ini, kan punya kampung halaman. Meski di kampung, rumah saya nggak punya halaman, kan kampung halaman nggak boleh dilupakan. Jadi, bagaimana caranya agar saya bisa tidak pulang tapi bisa bebas dari keinginan ketemu sama orangtua dan keluarga saya?"
       Mendengar hal ini, Emon jelas kaget
       "Heii biasanya kan kamu pulang. Hari raya kali ini pun harus menjenguk kampung halaman. Bagaimana coba, kalau yang rindu sama kamu selain orangtua dan keluarga kamu, juga kampung halaman kamu. Memangnya kamu tidak iba pada kampung halaman yang merindukan kamu." tukas Emon
      "Iyaa.. tapi saya sedang belum punya duit. Bulan ini juga belum tentu gajian, lantaran perusahaan tempat saya bekerja sedang jatuh pailit. Sedangkan kalau saya berleberan di kampung, nggak mungkin bisa hepi kalau bokek"
       "Jadi?" Emon Tercengang.
       "Kamu sedang tidak punya duit tapi kepingin lebaran di kampung dan untuk itu hari gini kamu sudah bingung?"
      " Lhooo... kapan lagi saya harus bingung? Kalau bingungnya pas dekat dengan lebaran, kan makin membingungkan karena makin sulit cari jalan ke luar. Jadi, saya sudah memutuskan untuk bingung sekarang. Pertama, agar kamu bersedia membantu. Kedua, agar kamu memberi solusi supaya di saat hari raya saya bisa berlebaran di kampung, bersama sanak saudara dan kerabat di sana"
      " Hadddduuuuuuuh...Bejooo.. Bejoooo... Saya ini bukan motivator atau pemberi solusi terbaik. Lagian, kamu kan tau, saya sudah tiga bulan nganggur, dan selama nganggur cuma ngojek. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa membantu," Emon terpaksa harus berterus terang
      Bejo menarik nafas.
      Penulis menarik kesimpulan untuk berlanjut di bagian dua   










Thursday, July 11, 2013

BALLADA SANG HARGA

oleh : Oesman Doblank

       Bagaimana mungkin jengkol nggak kaget. Saat sedang menari riang, musik yang semula berdentam mendadak koit. Begitu sang Jengkol menoleh ke pusat suara, sesosok mahluk yang kayaknya baru mematikan tape recorder, berdiri dan memandang dirinya dengan sinis.
       " Siapa anda dan mengapa datang tak memberi salam tapi berani mematikan musik kegemaran saya?" Tanya Sang Jengkol, yang kalau semula kaget kini nampak kesal.
       " Jangan kamu teruskan tarian jika hanya untuk bersenang senang di atas penderitaan masyarakat," ujar sang mahluk yang setelah mengingatkan lantas menyebut siapa dirinya.
      " Lhoo.. aku mau menari  atau menangis pilu, bukan urusanmu. Dan, mengapa pula kau peduli dengan masyarakat?" Kata Jengkol
      " Bagaimana mungkin aku bisa cuwek, jika kau tiba tiba berulah? Bukankah kau memakai namaku tapi saat menaikkan peringkat tak kompromi lagi denganku?"
     " Wah..wah...wah... kamu jangan menyalahkan aku. Peringkatku naik menjadi enam sampai tujuh puluh ribu bukan karena keinginanku. Tapi, keinginan mereka yang menguasai areal pasar. Jadi, ketika mereka melakukannya, aku malah kecewa. Cuma, apa dayaku bila orang orang pasar sangat berkuasa dan memang selalu bertindak semaunya"
    " Jadi, ketika dinaikkan dan aku dikaitkan, kamu kecewa?"
    "Friend... bagaimana mungkin aku bisa gembira? Jika aku distabilkan, orang orang kecil berpenghasilan rendah, bisa dengan mudah menjamahku. Menikmatiku, dan aku sangat senang karena orang kecil leluasa menikmati rasaku, yang walaupun mereka dengan terus terang mengatakan aku bau, tapi tak pernah malu mengatakan suka makan jengkol.  Sebaliknya, aku tak suka pada mereka yang berlimpah uang, sebab, mereka selalu melecehkanku dan kerap sok tidak suka. Padahal, diam diam mereka tak hanya menikmatiku Sebab, saat peringkatku dinaikkan, hanya mereka yang dengan malu tapi hobi, mampu membeli dan menjamahku"
    " Bisa aku percaya apa yang baru saja kamu katakan?" Tanya Sang Harga
    Jengkol bahkan berani bersumpah dengan mengatakan rela dirinya disambar petir sehingga di masa penen berikutnya tak ada lagi tumbuh buah jengkol jika semua pohon jengkol tumbang atau terbakar.
    " Boleh kutahu mengapa yang lain, tanpa sepengetahuanku juga ikut menaikkan peringkatnya dan membuat masyarakat menjerit dan disaat seperti itu, selalu aku yang disalahkan. Bahkan, ada yang mengatakan aku sombong, karena jika sudah naik aku tak pernah bersedia turun. Padahal, aku bukan pejabat, dan juga bukan penguasa yang maunya naik tapi malas turun"
   Jengkol berpikir sejenak. Lalu, menarik nafas panjang. Baru kemudian dia menjelaskan.
   Menurutnya, yang lain ikutan naik karena pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM.
   " Saat itu aku justeru tidak setuju diriku dinaikkan," sahut sang Harga
   "Nyatanya, premium tetap naik dan kenaikan itu membuat yang lain punya alasan untuk menyesuaikan situasi dan kondisi karena angkutan jadi mahal," kata sang jengkol/
   " Aku tak suka alasan klasik seperti itu." sergah sang harga.
   " Kau boleh tak suka. Nyatanya, di awal Ramadhan rekan rekanku malah berlomba lomba menaikan peringkat. Daging sapi, misalnya. Juga ayam, di bulan suci, bukan mencari berkah dan hikmah malah berebut menaikkan peringkat. Aku juga dengar dan lihat, ibu ibu menjerit. hanya, apa dayaku, friend?"
  " Apakah hal ini juga diakibatkan oleh ulah orang pasar?"
 " Tak hanya mereka. Para tengkulak dan produsen, juga paling menentukan. Boleh jadi, mereka yang mengatur agar kenaikanmu seolah olah hal biasa, karena di bulan ramadhan, pemintaan terhadap bahan pokok dan tambahan melonjak tajam"
 " tapi kan tidak perlu sampai mencapai langit. Karena aku sendiri tak pernah bisa mencapai langit," keluh sang harga
 " Friend... siapa pun yang mengelola kami, jika nafsu meraup untung besarnya tak dikendalikan atau dibiarkan semakin liar, tak mungkin kami bisa mengubah hasrat mereka memperkaya diri"
 Sang Harga terdiam.
 Dia kesal, namun tak mampu mencegah keinginan liar para pencari keuntungan, yang di bulan Ramadhan dan di saat BBM disesuaikan, malah berlomba lomba membangun dunia perdagangan dengan menyetel volume dirinya sekehendak hati.
Alasan alasan mereka, jauh dari kepedulian terhadap mereka yang tak mampu. Hanya, harga sendiri juga bingung, sebab, saat semua harga semua kebutuhan melonjak, ibu ibu malah menyatakan maklum karena BBM naik dan Ramadhan tiba.
 Mestinya, ibu ibu atau siapapun yang ke pasar, menahan diri. Malah, mestinya, tak membeli dan tak berhasrat membeli apapun yang harganya mahal. Jika ibu ibu bisa dan mau melawan dengan cara tidak membeli sesuatu yang mahal, para pedagang pasti berpikir untuk menurunkan dirinya. Kenapa? Karena jika ibu ibu tak membeli, barang menjadi tidak laku. Jika tidak laku, bawang, cabe dan sejenisnya, yang akan busuk. Kalau busuk, barulah para orang pasar merasakan risiko menanggung kerugian akibat ulahnya yang menaikkan harga seenaknya.
" Akkh, kalau saja ibu ibu mau melakukan hal itu, diriku tak akan dilangitkan seenak bero oleh para pedagang, baik mereka yang hanya mengecer maupun pedagang besar yang selalu bertekad mencari keuntungan besar, tanpa mau berpartisipasi untuk mencari berkah agar orang orang miskin bisa tetap belanja." keluh sang harga, yang akhirnya hanya berharap agar ibu ibu melawan.
Tokh, tak makan daging sapi yang juga dikorupsi, tak makan ayam, tak makan barang yang harganya selangit, tak mati.
Berbuka puasa dengan makanan paling sederhana pun, tetap bermakna. Tokh bukan makan apa dan harganya berapa. Tapi, bagaimana bisa berpusa lahir dan batin agar hasrat bertaqwa direaliasikan dengan benar dan tepat sehingga sampai ke areal ibadah berdimensi taqwa.







.    

Tuesday, July 9, 2013

PANTUN : MULAI PUASA

oleh : Oesman Doblank


Jika hari ini disebut SelaSA
Esok, siapapun bilang RaBU
Jika esok kita mulai berpuaSA
Bersiaplah tuk menjaga kalBU

Puasa bukan untuk berlapar laPAR
Juga bukan untuk merasa dahaGA
Tak makan bukan untuk menggelePAR
Tapi tuk jinakan nafsu agar tak berlaGA

Jika nafsu terus berlaga dan tak henTI
Tentu saja setan bakalan jingkrak jingkRAK
Dalam haus dan lapar leluasa menjaga haTI
Agar dengan kebaikan tak lagi berjaRAK

Dengan membagi rasa kita maknai ibaDAH
Biasa makan saat berpuasa malah tak gunDAH
Jika hati bersih berbuat kebaikan itu muDAH
Tanpa berbuat buruk hidup jadi terasa inDAH

Ingat, jika tiba tiba lampu di rumah paDAM
Tak perlu gelisah apalagi merasa taKUT
Saat berbuka, jangan seperti balas denDAM
Kebanyak makan, setan malah minta iKUT

Saat berpuasa boleh saja ngebubuRIT
Hanya, nunggu magrib afdolnya bertadaRUS
Pengeluaran di bulan puasa harus lebih iRIT
Kalau semua dibeli cuma bikin dompet kuRUS

Timbang harus membeli aneka jenis masaKAN
Uangnya lebih baik digunakan untuk sedeKAH
Jika saat puasa nolong si miskin lebih diutamaKAN
Insya Allah, ibadah di Ramadhan berlimpah berKAH   









  

Sunday, July 7, 2013

PANTUN : BUKAN JENAKA

oleh : Oesman Doblank

Ketika dengar kicau burung di pagi hari
Cepatlah bangun dan segera shalat Subuh
Untuk apa ambil keputusan lakukan kawin lari
Jika merasa cinta tapi hanya dalam bentuk tubuh

Di senja berawan bolehlah siapkan payung
Agar tenang ketika pergi ke Pulogadung
Barusan bilang cinta, sekarang, kok bingung
Jangan-jangan, perut kamu sudah melendung

Ketika padi menguning menghiasi areal sawah
Sinar mentari tentu saja leluasa berkeliaran
Jika kuberi yang atas kamu minta yang bawah
Pantasnya, kubenamkan saja kamu ke comberan

Tataplah sang rembulan yang bersinar terang
Lalu nyanyikan lagu untuk bermanja manja
Kalau dulu kamu lembut sekarang jadi garang
Pasti karena aku sering mengurangi uang belanja

Di jalan tol, tak boleh mengemudi perlahan
Sampai di gerbang, tarif tol harus dibayar
Manalah mungkin rumah tangga bisa t’rus bertahan
Jika saat didera kemiskinan, kamu tak siap berlayar

Jangan sengaja berdiri di tepi jurang
Sebab, bisikan setan sangat membahayakan
Jika suami atau isteri suka licik dan curang
Percuma nikah jika di tengah jalan berantakan






Friday, July 5, 2013

CERITA BERSAMBUNG (61)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank

ENAM PULUH SATU


         Malah, ia yang diangkat sebagai Direktur Utama dan diberi kepercayaan oleh Bondan un tuk mengelola dan sekaligus mengawasi perusa haan yang telah maju dan berkembang pesat, ka rena keuletan suaminya yang sekaligus diizinkan oleh Allah meraih keberhasilan dibidang bisnis
       Hanya, untuk hal yang satu ini, Sumirah ti dak menerima dengan begitu saja tawaran dan sekaligus kepercayaan Bondan pada dirinya. Me mang,  yang diberikan kepadanya adalah jabatan paling strategis. Gaji besar dan fasilitas pun pa ling memadai. Ia yakin, jika ia langsung meneri ma tawaran dan amanah Bondan tanpa catatan dan atau permintaan, ia bebas seratus prosen dari beban ekonomi.
       Bukan berarti jika Bondan tak memenuhi permintaannya, ekonomi rumah tangganya full diwarnai kendala. Ia toh masih punya  simpanan uang di bank, juga perhiasan, yang jumlahnya lumayan besar, dan semua yang dimiliki telah jadi milik pribadinya. Semua dari suaminya dan selama perkawinannya, yang ia dapatkan dari pak Sadewa, memang untuk dan atas nama Sumi rah. Sama sekali tak ada kaitannya dengan harta yang diwasiatkan pak Sadewa kepada Bondan.
       Kini, yang akan dilakukan Sumirah hanya menunggu kabar dari Bondan. Ia yakin, Bondan dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Dan jika Bondan berhasil memecat lelaki yang tak lain adik iparnya, ia tak akan menyesal. Malah, itulah yang diharapkan. Dampaknya, bukan tak ada. Hanya, Sumirah yakin, ia dapat menyelamat kan Lasmini, adik kandungnya, yang belakangan hidupnya agak kacau, karena suaminya, setelah diangkat sebagai salah seorang Direktur di peru sahaan suaminya, telah berubah menjadi lelaki yang sangat gemar main wanita, dan juga gemar menyakiti isterinya.
       Sumirah sengaja tak mau menceritakan mengapa, Juneadi lebih baik dipecat dari kedudu kannya. Jika Bondan melakukan investigasi, ia akan bisa mengumpulkan data-data kebobrokan adik iparnya. Baik di perusahaan, mau pun di lu ar perusahaan.
       Sumirah hanya tak ingin menjadi seseorang yang mengungkap borok dan kebobrokan mental adik iparnya. Selain karena ia sangat iba pada na sib adiknya, juga tak ingin ia dituding sebagai penyebab, dicopot dan dikeluarkannya Junaedi dari jabatan dan dari perusahaan        
        Hanya, Sumirah, sangat kuatir jika Junaedi tetap bercokol. Terlebih, ia sudah merasa sebagai adik ipar dari pak Sadewa, dan ia sama sekali tak merasa almarhum suaminya sedang mempertim bangkan untuk memecatnya. Dan pasca kematian pak Sadewa, bukan tak mungkin bila Junaedi semakin berencana untuk lebih memantapkan cengkramannya. Jika hal ini dibiarkan, Sumirah yakin, perusahaan yang dibangun dan dikembang kan oleh suaminya dengan susah payah, akan hancur di situasi yang sebenarnya bisa semakin berkembang.


Bersambung.........

Thursday, July 4, 2013

CERITA BERSAMBUNG (60)

MASIH ADA JALAN
Oleh: Oesman Doblank

ENAM PULUH


          Saat itu, Sumirah merasa lebih baik dengan tulus mengijinkan.  Bukan karena ia menyadari, tapi karena ketika itu, pernikahannya pun, nyaris sama. Malah boleh dibilang serupa.  Artinya, saat menikahinya status pak Sadewa juga bukan lajang dan bukan duda. Beliau sudah beristeri dengan satu orang anak.
         Hanya, saat menikahinya Pak Sadewa  melakukannya tanpa sepengetahuan isteri pertamanya. Bukan karena ia  tak ingin jujur atau sengaja tidak mau jujur. Tapi, kejujuran dalam bentuk apapun yang dipersembahkan kepada ibu kandung Bondan yang menjadi isteri pertamanya,  tak akan diapresiasi dengan pertimbangan yang bijak. Malah, kata Pak Sadewa, tak mungkin ia diijinkan menikah dengan wanita lain.
        Pak Sadewa yakin, isteri pertamanya yang tidak pernah menghargai, jauh dari menghormati suami, dan dinilai terlalu neko neko dalam me ngayuh biduk kehidupan rumah tangga bersama pak Sadewa yang ketika itu ekonominya mulai membaik, memilih tidak mengizinkan dan ia siap melakukan apa saja, asal pak Sadewa tidak meni kah dengan  wanita lain, .          
       Sedangkan yang paling mengesankan, dan hal ini yang tak akan mungkin bisa dilupakan oleh Sumirah, keleluasaan dan kemudahan mene rima dirinya dan juga adik tirinya. Bondan sama sekali tak melihat sosoknya yang patut dibenci. Juga tak menempatkan kedua adiknya sebagai sosok, yang mengganggu kehidupannya. Paling tidak, mengganggu kemutlakan Bondan dalam menikmati harta warisan.
       Dan, sama sekali Sumirah tidak mengira, ji ka rumah yang kini masih jadi tempat tinggal ia dan anaknya – meski suaminya belum lama wafat,  yang menjadi hak mutlak Bondan karena namanyalah yang tercantum sebagai pemilik di akte, tanpa pikir panjang atau berpikir rumit, diberikan kepada Andhika.
       Duh… tak percuma, Sumirah melaksanakan amanah suaminya, yang dengan sangat mewanti-wanti padanya, saat pak Sadewa menyerahkan surat wasiat dalam sebuah amplop coklat. Kala itu, ia malah diperkenankan untuk mengetahui isi surat wasiat yang dibuat suaminya. Tapi, Sumi rah malah baru membuka amplop dan membaca surat wasiat yang dititipkan padanya.
       Sumirah sama sekali tak kecewa, meski su rat wasiat yang dibuat suaminya sebelum beliau wafat, malah tak menyebut ia dan anaknya sedi kitpun. Artinya, hanya Bondan yang mendapat kan hak atas harta pak Sadewa. Memang, bersa maan dengan itu, pak Sadewa juga mewasiatkan pada Bondan, yang harus memikirkan nasibnya dan juga kedua anaknya.
       Duuh, tak sia-sia, Sumirah melenyapkan bisi kan-bisikan nakal dan sekaligus keji, yang kala itu sangat mengganggunya. Bisikan yang menga jak Sumirah untuk menyelewengkan amanah agar peninggalan almarhum suaminya dapat ia kuasai sendiri. Hasilnya, ternyata adalah kegem biraan dan kebahagiaan tak terhingga, seperti yang ia rasakan saat ini.

Bersambung………







CERITA BERSAMBUNG (59)

MASIH ADA JALAN
Oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH SEMBILAN


          Pada akhirnya, Bondan memutuskan untuk melakukan apa yang memang perlu dia lakukan. Dan, Sumarni tak hanya berharap. Ia juga dibuat terkejut. Sama sekali tak menyangka, jika Bon dan, lantas memintanya untuk segera ke notaris Sumirah diminta untuk mengurus proses balik na ma rumah yang kini ditinggalinya. Bondan berha rap, setelah nama pemiliknya berubah dari Bon dan menjadi Andhika – nama adik tirinya, mere ka akan lebih leluasa menempatinya.
         Jika tak segera membuat akte balik nama, Bondan malah kuatir, kelak pikirannya berubah dan malah berniat mengambilnya kembali. Un tuk itu, Bondan mendorong agar urusan mengu bah nama pemilik rumah dari Bondan ke An dhika, diurus secepatnya.   
         Sumirah sekali tak tersinggung apa lagi kecewa. Malah, saat Bondan mengatakan, se benarnya ia ingin nama pemilik rumah yang dihibahkan kepada Sumirah, dalam akte, dirubah dari Bondan ke Sumirah. Hanya, ia kuatir, suatu saat, Sumirah menikah lagi dengan pria lain. Jika hal itu terjadi, apapun risikonya, Bondan lebih berani menggugat untuk mengambil kembali rumahnya dari tangan Sumirah. Sebab, Bondan tak ingin, jika kekuatirannya terbukti, adik-adik tirinya jadi korban.
        Sebab, bisa saja, suami baru Sumirah, nantinya menguasai rumah itu, semisal di akte ke pemilikan rumah, nama yang tercantum sebagai pemilik, bukan Andhika. Tapi, Sumirah. 
       Sumirah malah tertawa.
       Ia suka, blak-blakan ala Bondan. Terbuka tapi tak menyakitkan. Blak-blakan tapi malah membuatnya segar. Sikap dan sifat yang tak jauh beda dengan suaminya. Dan, itu sebabnya, Sumi rah berkenan diajak ke pelaminan, meski untuk itu, ia mengawali perkawinannya dengan berma cam gangguan. Sebab,  isteri pak Sadewa yang tak lain ibu kandung Bondan, kerap menterornya
        Namun, dari situ pula, Sumirah makin pa ham, mengapa pak Sadewa memilih kawin lagi. Dan, beliau merasa sangat beruntung. Akhirnya, bertemu juga dengan wanita yang diinginkan Bukan berarti tak menginginkan isteri pertama nya. Hanya, ibu kandung Bondan, tak ingin kesederhanaan, terlebih merasa dijerat kemiski nan.
         Yang juga disukai Sumirah dari putra sema ta wayang suaminya dengan isteri pertama, ia tak sebatas bisa menerima semua yang terjadi dan sama sekali tak memperlihatkan rasa sakit hati, terlebih membenci. Malah, ketulusan Bondan me nerima kenyataan, terlihat sangat jelas. Seolah ketulusan yang bersemayam di hatinya, tanpa ti rai. Sedemikian transparan.
         Di dalamnya, tak nampak benang setipis apapun yang menyimbolkan kepura-puraan terle bih lebih dari itu. Merekayasa diri misalnya, Sumirah percaya, kalau Bondan, seolah-olah nrimo tapi lubuk hatinya menolak
       Sangat identik dengan pak Sadewa, almar hum suaminya. Menurut Sumirah, sifat dan sikap anak tirinya, tak lain foto copy dari ayahnya, yang juga seperti itu. Paling mengesankan saat pak Sadewa mengatakan dengan jujur kalau ia akan menikah lagi.
         Saat itu, Sumirah tak saja merasa, yang dikatakan suaminya – ingin menikah lagi, adalah kejujuran yang jarang melekat pada diri suami yang entah dengan alasan apa, berniat menikah lagi. Ia nyaris tak percaya, jika pada akhirnya, malah Sumirah sendiri yang datang, melamar. Meminang dan dengan lapang dada, Sumirah menyaksikan akad nikah suaminya dengan wani ta lain.

Bersambung…………..


Tuesday, July 2, 2013

CERITA BERSAMBUNG (58)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH DELAPAN


Hanya, Bondan merasa punya hak untuk tidak memperhatikan secara mendalam. Artinya, Bondan tidak akan memenuhi berbagai kebutu han – terlebih kemauan ibu tirinya, karena jika ibu tirinya memilih untuk menikah dengan lelaki lain, suaminyalah yang paling berhak bertang gung jawab, mulai dari memberi nafkah sampai ke berbagai kebutuhan lainnya
Jika sebaliknya, tentu saja yang akan dila kukan Bondan harus ia konkritkan. Bondan ikh las, rumah atas namanya – di balik nama dan diganti atas nama adik tirinya, sebagai pemilik. Lalu, rumah yang kini masih ditempati oleh ibu tiri dan dua adik tirinya, ia serahkan ke Sumirah, agar ibu tiri dan kedua adik tirinya merasa lebih nyaman tinggal di rumah itu.
Lalu, Bondan akan meminta agar ibu tiri nya yang dulu sekretaris pribadi ayahnya, kemba li ke perusahaan. Selain ia angkat dan tugaskan sebagai Direktur Utama, juga diberi kepercayaan penuh, mengelola perusahaan yang diwariskan oleh ayahnya, tanpa meninggalkan kewajiban membuat laporan lisan dan tertulis secara berkala dan priodik.
Bondan sendiri, tak kepincut untuk langsung mengambil alih PT Juwita Permai, yang ternyata berhasil membangun bisnis kelapa sawit, ekspor impor hasil bumi dan pemba ngunan perumahan. Bondan yakin, ibu tirinya yang mantan sekretaris di perusahaan dan masih secara intensif mengikuti perkembangan perusa haan, mampu melaksanakan tugas dan memang gul beban amanah yang diberikan kepadanya
Dan dengan jabatannya, ibu tirinya tak sebatas berpeluang dan bisa membangun, me ngembangkan dan membuatnya lebih maju lagi. Tapi, sekaligus bisa mengontrol dan menjadikan nya sebagai asset yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Hanya, Bondan tak menyangka jika Su mirah malah menolak diangkat jadi Dirut, kecu ali Bondan memecat salah seorang Direktur yang menurut Sumirah, lebih layak diberhentikan tim bang dipertahankan. Tapi Sumirah tak mengung kap mengapa orang tersebut harus diberhentikan dan kenapa Sumirah malah tidak mau terima jabatan, bila orang yang dimaksud tetap dibiar kan bekerja dan tetap ikut berperan mengembang kan perusahaan yang tak lain milik mereka juga
“Saya bukan tidak ingin mengungkap me ngapa dia harus diberhentikan. Hanya, saya tak akan sanggup melaksanakan tugas sebagai Direk tur Utama, jika yang bersangkutan masih tetap dipertahankan “
“Tapi memberhentikan seseorang, terlebih dia salah seorang direktur, harus ada dasar dan alasan yang kuat. Belum lagi, kita pun harus memikirkan dampaknya. Belum lagi dampak yang berkaitan langsung dengan nasib anak dan isterinya “
“Itu sebabnya saya menolak diangkat jadi Dirut. Jika saya menerima tanpa catatan, berarti saya tak memikirkan nasib isteri dan anak-anak nya “
Bondan tercenung. Tapi, sama sekali tidak bingung. Bondan justru berkesempatan mere nung dan ia yang akhirnya kepingin tahu, punya alasan yang kuat untuk mengungkap sejelas-je lasnya, mengapa Sumirah, bisa lebih rela tidak mendapatkan status dan atau jabatan sebagai Di rektur Utama, daripada ia harus selalu bertemu dan selalu bersama, seatap dengan orang itu di pe rusahaan.
“Ibu tidak keberatan jika sebelum me ngambil keputusan, saya mencari tahu terlebih dahulu semua hal yang perlu saya ketahui agar saya punya alasan kuat untuk memberhentikan seseorang dari perusahaan kita ?”
“Kalau menurutmu yang terbaik adalah melakukan hal yang ingin kamu ketahui, ibu kira kamu harus sesegera mungkin melakukannya. Ji ka tidak, dipaksapun dan dengan argumentasi seperti apapun, ibu memilih lebih baik melamar kerja di perusahaan lain “
“ Saya hanya berharap, tidak menemukan indikasi adanya permusuhan antara ibu dengan dia, atau hal lain yang bersifat pribadi. Bukan sa ya tak suka. Hanya, sulit bagi saya melakukan tindakan tegas, jika unsurnya tidak rasional”
“Ibu suka dengan cara berfikir dan prinsip kamu. Kenapa? Karena sifat ayah kamu juga be gitu. Hanya, almarhum tidak bisa mengambil ke putusan dengan cepat. Jadi, belum memecat su dah lebih dahulu wafat “
“Jadi, ayah juga tahu persoalan orang ini?”
“Bukan sekedar tahu. Bahkan, banyak yang beliau ketahui. Cuma, berpikir saat akan me ngambil keputusan, terlalu lama. Terlalu dalam menimbang “



Bersambung........


CERITA BERSAMBUNG (57)


MASIH ADA JALAN
oleh :Oesman Doblank


LIMA PULUH TUJUH


Tak saja tanah dan rumah yang saat ini ia jadikan tempat tinggal dan seluruh isinya. Ru mah yang sekarang dijadikan tempat tinggal oleh kedua ibu tirinya, kendaraan yang ada di sana dan juga yang lainnya, tak satu pun atas nama ayah dan kedua ibu tirinya. Sertifikat rumah, surat-surat kendaraan, dan juga deposito, yang tercantum sebagai pemilik bukan mereka. Tapi, Bondan.
Kenyataan yang benar-benar di luar dugaan Bahkan, di luar jangkauan pemikiran Bondan. Ternyata, pak Sadewa, ayahnya, sedemikian pe nuh perhatian. Boleh jadi sebagai konpensasi ka sih sayang seorang ayah, yang selama ini mene lantarkan anaknya. Boleh jadi komitmen pak Sa dewa, yang di satu sisi tak mampu memberi kebutuhan batiniah, tapi di sisi lain, berusaha me menuhi kebutuhan lahiriah anaknya.
Dan, bukan cuma itu isi surat wasiat yang sejak sepuluh tahun silam dibuat pak Sadewa. Dalam surat wasiat yang sengaja diserahkan Sumirah kepada Bondan, sang putra juga dijadi kan akhli waris paling utama. Dengan begitu, perusahaan yang dirintis, dibangun dan dikem bangkan dengan susah payah oleh pak Sadewa, otomatis menjadi milik Bondan.
Tentu Bondan bisa berbuat apa saja.
Terlebih, juga terlampir data perusahaan dan data neraca keuangan perusahaan milik ayah nya, yang assetnya berjumlah milyaran.
Apa yang tidak bisa dilakukan Bondan, yang selama ini kehilangan kasih sayang, ketika di tangannya tergenggam begitu banyak harta ke kayaan?.
Siapa yang berhak mencegah dan mengha langi, jika Bondan ingin melakukan apapun un tuk memuaskan dirinya. Tak seorang pun. Tapi Bondan malah berpikir tentang ibu tiri dan dua adiknya, yang harus ia jaga, perhatikan dan jika diperkenankan, ia didik dengan baik. Terlebih, sa at ini, mereka sangat membutuhkan tempat ting gal agar esok dan seterusnya, merasa tentram. Merasa hidup jadi lebih berarti karena tetap bisa sekolah, bisa melakoni kehidupan, leluasa mera ih mimpi yang diinginkan.
Menjadi manusia yang tak sebatas tahu mana benar mana salah. Mana hak dan mana ba til. Tapi juga tahu mengapa harus beribadah, apa manfaat ibadah dan mengapa dengan ibadah ma nusia leluasa menikmati indahnya hidup dan kehidupan.
Mengapa, manusia yang memilih ibadah sebagai jalan untuk meraih kasih sayang Rabb, lebih cenderung cinta akhirat timbang cinta pada dunia, bahkan, rela mengentuti dunia karena sa dar, dunia cenderung melenakan, menyesatkan dan gara-gara kepincut dunia, manusia lupa pa da Tuhan.
Meski begitu, Bondan tak ingin gegabah. Artinya, ia tak sebatas harus tahu kewajiban dan kepeduliannya. Bondan juga harus tahu, apa yang akan dilakukan ibu tirinya setelah ditinggal pergi selama-lamanya oleh ayahnya. Jika ia akan menikah lagi dan membawa kedua anaknya yang juga adik Bondan, tak ada hak untuk mencegah atau menghalanginya.


Bersambung........


Friday, June 28, 2013

CERITA BERSAMBUNG (56)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH ENAM


(11)

BONDAN harus bisa dan ikhlas memaklumi, segala sesuatu yang telah dan terlanjur terjadi. Baik untuk hal yang membuatnya pernah merasa kehilangan kasih sayang, maupun yang membuat dirinya harus kehilangan seorang ayah, dimana untuk keinginan pribadinya yang sebatas mengurus memandikan dan memakamkan jenazah almarhum, saja justeru tak mendapatkan peluang melaksanakannya.
Begitu pun hilangnya peluang untuk membuktikan kalau dirinya bisa menerima, memaklumi dan sekaligus mampu memenej kekecewaan menjadi hal berguna yang membuahkan kedamaian , ketenangan dan kebahagiaan. Bondan juga harus rela kehilangan peluang untuk membalas kebaikan ayahnya yang bagaimana pun konkritnya memperlakukan Bondan, tetap saja harus dihormati dan Bondan harus menganggapnya sebagai sosok yang bagaimana pun telah sangat berjasa, karena almarhum ayahnya sudah membesarkan putranya dengan cara dan dalam kondisi yang dihadapinya .
Ia pun benar-benar harus memaklumi, mengapa Sumirah, ibu tirinya, baru mengabarkan kematian ayahnya, setelah acara pemakaman dan bukan saat jenazah disemayamkan.
Bondan yakin, Sumirah bicara apa adanya dan memang begitu kondisinya. Artinya, Sumi rah yang sama sekali tak mengira suaminya me ninggal dunia, tak bisa berbuat banyak. Selain ka rena saat kejadian ia di rumah dan ayahnya se dang mengantar ibu tiri Bondan yang lain, saat peristiwa, juga ada yang memanfaatkan kesem patan dalam kesempitan.
Membuat pihak rumah sakit tak bisa me ngontak atau menghubungi keluarga korban, ka rena dompet semua penumpang sedan hilang. Ta ngan-tangan jahil yang tega memenggal orang yang dalam kondisi duka nestapa, membuat se mua korban kehilangan identitas. Kalau saja peristiwa tabrakan itu tak muncul di media cetak, Sumirah tak akan pernah tahu jika tak saja pak Sadewa yang wafat. Marina dan juga supir setia mereka, juga wafat.
Itu sebabnya, menurut Sumirah, ia tak bi sa berbuat banyak. Jangankan langung mengabar kan, membawa jenazah pulang untuk disemayam kan saja, Sumirah tak memiliki peluang. Saat dia datang ke rumah sakit, ketiga jenazah sudah siap dimakamkan. Sumirah hanya bisa meneteskan se senggukan. Akhirnya ia lebih memilih turut me ngantar jenazah ke pemakaman, timbang harus membawa pulang untuk disemayamkan, karena jenazah pak Sadewa, Marina dan supirnya, lebih pantas secepatnya dimakamkan timbang harus di bawa pulang ke rumah Sumirah untuk disema yamkan
Begitu pun untuk hal lainnya.
Bondan yakin, sekecil apapun tak akan datang dan tak akan menimpa dirinya jika bukan lantaran kehendak sang Khalik. Tapi lantaran telah diatur dan merupakah kehendak Illahi Rab bi, segala sesuatunya harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Ikhlas itu akan bermagma di jiwa, bila mau, bisa mengerti, bisa memahami dan sanggup menerima segala kehendak Sang Penga sih dan Penyayang,
Itu sebabnya Bondan tetap kuat, tegar dan ia sama sekali tidak shock
Dulu, berbagai peristiwa yang menimpa dirinya, selalu dianggap malapetaka. Bondan tak pernah bisa mengerti dan memahaminya. Malah, pernah mengira Tuhan tidak sayang padanya. Untuk itulah ia kecewa dan frustrasi. Larut da lam kekecewaan dan hanya melakukan hal yang dianggapnya menyenangkan.
Kini, Bondan yang pernah merasa kecewa dan frustrasi, justeru memahami mengapa semua bisa terjadi. Mengapa ia harus mengalami nasib malang dan mengapa semua yang datang dan menerpa dirinya, ia hadapi dan ia terima dengan lapang dada dan kebesaran jiwa.
Hikmah yang kemudian dapat ia petik dari sikapnya yang berubah total dan kedewasaannya yang mulai mengental, benar-benar dahsyat. Bondan sama sekali tak menyangka, jika ia sang at disayang ayahnya. Bondan baru tahu, jika ayahnya sangat memperhatikan. Tak mengira ji ka apapun yang dimiliki ayahnya – kecuali isteri, dijadikan sebagai milik Bondan.



Bersambung...............

Thursday, June 27, 2013

CERITA BERSAMBUNG (55)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH LIMA


Pada akhirnya, Sumirah benar-benar me rasakan betapa indahnya nikmat berdoa dan sela lu bersyukur pada Sang Khalik. Sumirah, kini sudah merasa lega dan ia bisa pasrah, karena te lah menyampaikan hal yang sebelumnya tak hanya tidak diketahui oleh Bondan. Tapi, juga hal lain yang tak sekedar untuk diketahui. Bon dan justeru harus mengapresiasi dengan sebaik baiknya. Bahkan, dengan kebijakan, kearifan dan kedewasaan berfikir, bersikap dan bertindak.
Dan, sejak segalanya diungkapkan, Su mirah hanya tinggal menunggu reaksi dan sekali gus apresiasi dari Bondan. Jika dari aspek perka winan ayahnya dengan dua wanita lain, dijadikan alasan kuat oleh Bondan untuk bersikap dan ber tindak tegas karena alasan itulah yang membuat diri nya menderita, dan atas penderitaannya selama ini, Bondan lantas ingin membalas sakit hatinya, tak seorang pun yang berhak mencegah Bondan untuk mengambil keputusan dalam bentuk apapun, meski dampaknya sangat tidak mengenakkan bagi Sumirah
Jika pun sebaliknya – dalam arti Bondan melupakan masa silam, dan akhirnya ia mengap resiasi soal warisan pak Sadewa yang semua dikhususkan untuknya dan untuk itu, Bondan yang diwasiatkan sebagai pemilik seluruh harta keka yaan pak Sadewa, bersikap arif dan bijak dalam mengambil keputusan, bukan berarti Sumi rah merasakan hal sebaliknya.
Bagi Sumirah, yang terpenting ia telah menjelaskan segalanya dan menyampaikan ama nah almarhum suaminya, Amanah paling penting yang harus ia sampaikan kepada Bondan, adalah target paling utama. Makanya setelah target dicapai, semua terasa melegakan Tak ada lagi beban. Selebihnya, benar-benar ia serahkan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dan keputusan serta kebijakan apapun yang setelah itu akan ditentukan oleh anak kan dung suaminya, yang oleh pak Sadewa ditempat kan sebagai akhli waris paling utama dan untuk itu, Bondan berhak atas berbagai jenis kekayaan milik pak Sadewa, Sumirah tak akan berusaha untuk mempengaruhi Bondan, agar dia diperha tikan dan anak-anaknya diberi bagian
Sumirah juga tak mau melakukan pro tes atau hal apapun. Sebab, jika hal itu ia laku kan, sama artinya ia bodoh. Mengapa? Jika ia protes, untuk apa ia melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Jelas tidak lucu, jika pasca penyampaian amanah, Sumirah malah protes karena merasa berhak atas kekayaan pak Sadewa.
Timbang setelah itu ia protes, kan jauh lebih baik amanah pak Sadewa ia selewengkan. Ia yakin, sangat mudah memanipulasi surat-surat berharga yang kesemuanya sudah ia serahkan dan kini sudah berada di tangan Bondan. Terlebih, saat ini, begitu banyak orang yang ber sedia membantu siapa pun – asal bayarannya sesuai dengan permintaan, meski harus melaku kan perbuatan yang melanggar hukum dunia dan hukum Allah
Tapi, buat apa jika malah mencelakakan dan hanya membuat jiwa yang tenang jadi nestapa. Jadi kehilangan magnit imani, yang selama ini melekat dengan begitu kuat dan dijaga sebaik-baiknya agar tidak cacat.
Sumirah yang sudah merasa sedemikian plong, merebahkan dirinya di kasur. Ia tatap kedua anaknya yang sudah sedemikian lelap dalam tidur. Setelah menciumi kedua anaknya, Sumirah yang selalu melakukan hal itu dikala anaknya sudah lelap dalam tidur, barulah Sumirah bangkit dan dari ranjang dan dia melangkah ke kamar mandi.
Sumirah yang meski pun merasa lelah, tetap bergegas berwudhu.
Dia berharap, malamnya habis untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik, yang teah memberinya kelapangan sehingga setelah bertemu dengan Bondan, dia merasa wajib bersyukur karena Sumirah yakin, yang dia dapatkan bisa terjadi karena izin dan pertolongan dariNYA.


Bersambung.......


Wednesday, June 26, 2013

CERITA BERSAMBUNG (54)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH EMPAT


Buktnya, Sumirah segera berdiri dari du duknya. Ia lebih dahulu melangkah ke luar rumah. Sumirah juga bertekad, dirinya tak saja ingin membuktikan siap menemani dan meman du Bondan ke pemakaman agar di sana tidak kesulitan mencari makam pak Sadewa. Tapi, juga siap menjelaskan berbagai hal dengan trans paran. Tentu saja tanpa keinginan memanfaat kan situasi untuk menggunting dalam lipatan
Artinya, jika sepanjang jalan pergi ke ma kam pak Sadewa, atau sekembalinya dari sana, ada momen yang baik untuk menjelaskan, Sumi rah akan segera memanfaatkan dengan sebaik-ba iknya. Sumirah akan bicara apa adanya. Dari A sampai Z.
Alhamdulillah.
Apa yang diinginkan Sumirah, terkabul. Saat kemacetan lalu lintas di Jakarta seperti ingin menghambat kepergian Bondan, saat itulah, Su mirah yang belum berani membuka pembicaraan karena merasa belum melihat dan belum punya peluang untuk menangkap momen yang pas, mendengar Bondan yang sejak berangkat dari rumah belum bersuara sepatah kata pun, setelah mengover kovling dan ngerem kendaraan yang dibawanya, bersuara
“ Dulu, saya sempat membenci ayah. Ta pi, kemudian saya sadar, yang terjadi adalah sebu ah lakon kehidupan yang harus dimengerti dan di pahami dengan sebaik-baiknya.
Kesiapan menerima semua yang terjadi de ngan terbuka dan dengan lapang dada, membuat saya sadar, percuma saya membenci. Untuk itu lah, saya hapus kebencian pada ayah, memaaf kan jika beliau bersalah pada anaknya, lalu meng ganti kebencian pada almarhum dengan berusaha untuk tetap menghormati karena bagaimana pun beliau adalah ayah saya.
Saya merasa lega. Karena sudah memaaf kan beliau sebelum wafat, dan saya lebih siap me nikmati kehidupan pribadi saya timbang berku tat dengan masalah yang bisa saja tak akan per nah kunjung selesai“
“Duh, Tuhan. Engkau memang segala nya. Kau telah membuka pintu hati putra suami ku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah mengabulkan doaku.”
Sumirah serasa ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
Sumirah juga menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
Itu sebabnya, Sumirah lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
“ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali apa adanya.
Sumirah tahu, Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
“ Ya, secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
Bondan spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal wanita sholehah
Sumirah yang di saat bersamaan sedang menatap ke arah Bondan, sangat tak menyangka jika perkataannya membuat Bondan menoleh se ketika dengan tatapan yang membuatnya terpera ngah. Meski Sumirah tahu, di dalamnya tak ada muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat Sumirah tak luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak. Mengingatkan Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga ayah kandung Bondan.
Untung Sumirah yang menyadari situasi tak ingin momen yang paling diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk menjinakkan hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak mengapresiasinya dengan keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah kuatir ia akan kehilangan peluang yang paling ditunggu.
Meski awalnya kendala terasa menyulitkan dan membuat Sumirah harus bersikap hati-hati, agar yang sudah direncanakan tidak beranta kan, ujung-ujungnya, yang kemudian dirasakan Sumirah adalah kemudahan.
Sumirah akhirnya mendapat peluang dan ia bisa menjelaskan berbagai hal yang perlu dije laskan. Sumirah yang leluasa mengungkap per masalahan -- yang boleh jadi membuat Bondan merasa pengap karena sejauh ini Bondan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal yang menimpa keluarga mereka, bisa terjadi, me narik nafas lega .


Bersambung.....


Sunday, June 23, 2013

CERITA BERSAMBUNG (53)

MASIH ADA JALAN
oleh :Oesman Doblank


LIMA PULUH TIGA

“Saya lebih suka dipanggil bu. Sebab, saya isteri pak Sadewa. Tapi, terserah Bondan mau memanggil saya dengan sebutan apa. Yang jelas, saya datang bukan sebatas ingin mengabarkan tentang berita duka. Tapi, juga ingin membiarakan banyak hal. Saya akan menjelaskan semua, jika memang diberi kesempatan untuk melakukannya “
Bondan menarik nafas. Memandang sesaat ke Sumirah. Tanpa bermaksud menikmati paras cantik Sumirah, yang meski tertutup rapat namun siapapun akan mengatakan kalau Sumirah cantik. Sebagai wanita, sangat wajahnya dibalut kerudung, me mang sangat menawan, untuk maksud yang tidak baik. Bondan sadar, wanita cantik di depan mata nya, meski masih terbilang muda dan penuh peso na, adalah isteri ayahnya.
“ Bagaimana kalau ibu duduk dulu,” kata Bondan, yang mulai nampak tenang dan kuat..
Bondan sudah tidak gugup lagi. Pipinya pun sudah kering dari air mata yang sempat mem basahi pipinya. Bondan sudah menyeka air mata duka. Dan, Bondan yang sudah melihat Sumirah, ibu tirinya, duduk di sofa sambil sesekali mena tap ke arah Bondan, kembali bersuara
“Saat ini, saya hanya ingin melakukan sa tu hal, pergi berkunjung ke makam ayah. Jika ibu bersedia mengantar, terima kasih. Tapi, jika ibu lelah atau tidak bersedia karena hal lain, tolong berikan alamat makam tempat ayah saya dikebu mikan, karena saya ingin secepatnya ke sana“
Sumirah sadar, ia tidak boleh kecewa karena Bondan yang ingin diajaknya membicarakan masalaj keluarga, malah minta alamat dan akan ziarah ke makam ayahnya. Berarti Sumirah harus bersa bar. Namun, Sumirah yang belum melihat peluang untuk menjelaskan permasalahan.tetap yakin, ia akan memperoleh kesempatan untuk menjelaskan permasalahan dan semua hal yang perlu dia ungkapkan agar Bondan mengerti dan memahami semuanya.
Selain agar Bondan tidak lagi berteka-teki, mengapa ayahnya menikah lagi dengan Sumirah dan seorang wanita lainnya yang sudah wafat beberapa hari silam bersama pak Sadewa, juga agar bisa menyelesaikan permasalahan yang harus siap dihadapi oleh keluarga pak Sadewa, pasca wafatnya beliau akibat kecelakaan lalu lintas
Banyak yang akan dijelaskan, tapi harus menanti dengan sabar, memang membuat Sumi rah harus menghadapinya dengan hati berdebar. Dikatakan demikian, karena kesempatan untuk menjelaskan, bisa saja malah tidak diperolehnya. Dan jika hal itu yang terjadi, Sumirah belum da pat menentukan apa yang harus dilakukan, agar tetap dapat peluang untuk menjelaskan.
Dan Sumirah yang mau tak mau harus memilih lebih baik bersabar, segera memberita nama, alamat pemakaman dan sekaligus letak makam pak Sadewa yang telah beristirahat deng an tenang di tempat peristirahatan terakhirnya
“Jika memang Bondan butuh teman, Ibu bersedia kok, mengantarkan, “ tambah Sumirah
“Tapi, hanya jika ibu tidak lelah. Jika ca pek, silahkan istirahat dan nanti kita bicara pan jang lebar “
“ Ibu memang perlu istirahat. Tapi, bukan berarti lelah,” jawab Sumirah
Ibu tiri Bondan, tak sekedar mem perlihat kan semangat menemani Bondan pergi ke pema kaman, tapi juga memperlihatkan sikapnya yang diwarnai keikhlasan. .


Bersambung...........


CERITA BERSAMBUNG (52)

MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank


LIMA PULUH DUA


Setelah menyeka air mata di sudut matanya, Sumirah kembali meneruskan kalimatnya
“Mestinya, kabar itu saya sampaikan ketika bapak wafat atau sebelum dimakamkan. Hanya, tak mungkin saya lakukan, karena saya sendiri baru tahu kalau bapak sudah pergi menjelang almarhum dikebumikan.
Ssetelah mendapat kabar dari rumah sakit, saya tak tak tahu harus berbuat apa. Sebab, pihak rumah sakit yang baru bisa menghubungi saya, menjelaskan, jenazah bapak sudah akan di makamkan, setelah dua hari disemayamkan dan pihak rumah sakit sebelumnya tak tahu kemana harus mengabarkan.
Apa sebab dan mengapa bisa terjadi se perti itu, baru saya ketahui setelah saya tiba di sana. Mereka menjelaskan, tak menemukan tanda pengenal korban. Saya yakin, dokumen bapak seperti ktp dan sim, tak mungkin tertinggal. Lebih mungkin diambil orang saat terjadi kecelakaan, “ tutur Sumirah, meski membiarkan air matanya menetes, tapi berusaha untuk tidak menangis, meski akhirnya ia tetap sesenggukan..
Dan, Sumirah tak mampu lagi menjelaskan lebih banyak, karena setelah itu ia terkulai lemas. Sumirah hanya bisa pasrah. Semisal Bondan menuding ia sengaja tidak mengabarkan karena punya maksud tertentu, Sumirah tak akan tersinggung atau marah. Ia ikhlas, karena tak salah jika Bondan yang sangat kecewa, berpendapat dan lalu dengan kesal atau sambil marah, menilai dirinya sebagai wanita brengsek, yang setelah merebut ayahnya, malah tak segera mengabarkan tentang ayahnya yang telah meninggal dunia
Tapi, sama sekali Sumirah tak menyangka, jika Bondan, yang mendengar dan menyimak penjelasan Sumirah, tak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Malah, melihat Sumirah lunglai, Bondan memanggil Mbok Sinem dan ia meminta tolong kepada mbok Sinem agar mengambilkan obat gosok atau minyak kayu putih
Begitu telatennya Bondan menggosok-gosokkan minyak kayu putih di atas bibir Sumirah. Apa yang dilakukan Bondan, membuat Sumirah yang sesungguhnya sedang dalam keadaan shock, membuat Sumirah tenang dan ia menjadi kuat nenangkannya. karena kepergiaan pak Sadewa yang terjadi dengan begitu saja sangat mengejutkannya, ditinggal pergi oleh pak Sadewa poermukaan membantu Su mirah agar ibu tirinya yang nampak begitu lemas karena keletihan, tidak lantas pingsan
Kenyataan yang nampak begitu jelas di pelupuk mata Sumirah, benar-benar di luar duga annya. Jadinya, tak saja membuat Sumirah lega. Tapi sekaligus membuatnya leluasa untuk bicara banyak hal. Sumirah mencoba memanfaatkan pe luang yang dianggapnya sangat terbuka. Tujuan Sumirah bukan untuk mengambil hati atau mera ih simpati. Sebatas menjelaskan dan berharap Bondan mengerti dan memahami apa yang se sungguhnya telah terjadi.
Boleh jadi, sampai saat ini Bondan masih membenci, tak saja pada ayahnya. Tapi juga membenci dirinya, atas tudingan merebut pak Sadewa dari sisi ibu Bondan. Juga boleh jadi, Bondan pun tidak simpatik pada isteri ketiga ayahnya yang telah tewas bersama pak Sadewa, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, beberapa hari silam.
“Di mana bapak dimakamkan, tante…eh, maksud saya, bu ?” tanya Bondan, yang tak bisa menyembunyikan kegugupan, karena ia memang baru pertama kali bertemu dan belum tahu, harus memanggil apa pada Sumirah.
Terlebih usia Sumirah, ibu tirinya hanya bertaut sekitar lima tahunan, dengan Bondan. Jadi, bisa dimaklumi jika Bondan gugup.




Bersambung.......

Friday, June 21, 2013

CERITA BERSAMBUNG (51)


MASIH ADA JALAN
oleh : Oesman Doblank

LIMA PULUH SATU


Si mbok Sinem, jadi lega. Karena Bondan tak menyalahkannya. Ia segera membantu mengangkat tubuh Bondan, yang masih dalam kondusi lunglai.
“ Den, ayo bangun, den. Temui isteri bapak den Bondan. Beliau menunggu sejak tadi pagi, den. Bersama kedua anaknya “
“ Jadi..isteri bapak saya ada di dalam, mbok?”
Mbok Sinem mengangguk. Ia lalu memapah Bondan, ke dalam rumah. Membawanya ke ruang keluarga. Di sana, isteri pak Sadewa, yang tengah duduk bersama duka, yang pipinya masih sembab, melihat mbok Sinem. Ia berdiri. Menatap mbok Sinem yang memapah Bondan, anak tirinya. Memang Sumirah, terlihat sangat kikuk. Tapi, sesaat kemudian, ia menghampiri Bondan, yang menatapnya dengan pandangan lesu.
Bondan menjawab ucapan salam ibu tirinya, yang tubuhnya tertutup rapat karena dia mengenakan busana muslim. Jilbabnya, panjang, sampai ke pinggul.
Tanpa ragu, Sumirah yang menguatkan diri, yang sudah berani datang ke rumah putra suaminya, menghampiri anak tirinya dan menyalami putra suaminya, Bondan.
Sumirah tak menyangka, jika Bondan tak hanya meraih tangannya. Tapi, juga mencium tangannya dengan takzim.
“Maafkan saya…saya tak mengurus pemakaman bapak, “ kata Bondan, sambil melepas genggaman tangan Sumirah
“ Saya yang harus berminat meminta maaf. Sebab, baru bisa datang, baru bisa menyam paikan kabar duka. Mestinya, tidak seperti ini. Hanya, saya sendiri tak tahu harus berbuat apa, ketika semua terjadi dengan begitu saja.
Saat kejadian, saya sedang di rumah. Sehari sebelumnya, bapak memang pamit dan pergi bersama supir, karena ditelpon oleh isterinya yang lain, dan bapak diminta untuk mengantarnya ke rumah sakit karena usia kandungannya yang sudah lebih dari sembilan bulan, sangat butuh perhatian bapak. Alasan itulah, bapak yang mestinya memenuhi jadwal bersama saya di rumah, bergegas meninggalkan rumah.
Saya hanya berpikir tak akan terjadi apa pun. Toh, mengantar isteri yang akan melahirkan merupakan hal yang lazim. Hal yang tak akan pernah terpikir oleh siapa pun, kalau dalam perjalanan ke rumah akit selalu ada resiko yang harus siap ditanggung, yaitu risiko kedatangan maut. Nyatanya, dalam perjalanan itulah, hal yang tak pernah diperkirakan terjadi, dan…,” Sumirah, yang berusaha menjelaskan dengan gamblang mengapa ia baru sempat datang pagi ini dan baru bisa mengabarkan langsung kepada Bondan, terdiam sejenak.


Bersambung.......